Bab: Hal-hal yang Membatalkan Wudhu’
74. Imām Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī sepakat bahwa tidur dengan berbaring dan bersandar membatalkan wudhu’ (1751).
75. Mereka berselisih pendapat tentang orang yang tidur seperti orang yang sedang shalat.
Abū Ḥanīfah berkata: “Wudhu’nya tidak batal meskipun tidurnya lama, bila tidurnya seperti orang yang shalat. Adapun bila dia tidur di atas sisi tubuhnya atau berbaring maka wudhu’nya batal.”
Mālik berkata: “Wudhu’nya batal bila posisinya ruku‘ dan sujud bila waktunya lama, sedangkan bila posisinya berdiri dan duduk maka tidak batal.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Bila dia duduk maka wudhu’nya tidak batal, sedangkan bila posisinya selain duduk maka wudhu’nya batal – menurut Qaul Jadīd –”. Sedangkan menurut Qaul Qadīm wudhu’nya tidak batal.
Adapun dari Aḥmad, dalam hal ini ada beberapa riwayat.
Pertama, bila tidurnya sebentar dengan posisi seperti orang shalat yaitu berdiri, duduk, ruku‘ dan sujud maka wudhu’nya tidak batal. Sedangkan bila tidurnya lama maka batal. Dalam riwayat ini dia juga berkata: “Apabila dia tidur dalam posisi ruku‘ atau sujud maka dia harus mengulangi raka‘at tersebut dan tidak perlu mengulangi wudhu’nya.”
Kedua, wudhu’nya tidak batal bila posisinya berdiri dan duduk, seperti madzhab Mālik. Pendapat ini dipilih oleh al-Khiraqī. (1762).
Ketiga, pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Abī Mūsā (1773) wudhu’nya tidak batal batal bila posisinya duduk, sedangkan selain itu wudhu’nya batal. (1784).
76. Mereka sepakat bahwa sesuatu yang keluar dari Qubul dan Dubur (kemaluan & anus) membatalkan wudhu’, baik yang keluarnya jarang maupun sering, sedikit maupun banyak, najis maupun suci. Kecuali Mālik yang berpendapat bahwa wudhu’ tidak batal yang keluar dari dua jalan sesuatu yang jarang seperti ulat cacing, kerikil dan lainnya. (1795).
77. Mereka berbeda pendapat tentang keluarnya najis dari selain dua jalan seperti muntah, darah bekam, plebotomi dan mimisan.
Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila muntahnya sedikit maka wudhu’nya tidak batal. Sedangkan bila yang keluarnya ulat cacing atau kerikil (batu empedu) atau potongan daging maka wudhu’nya batal. Bila yang keluar selain yang kami sebutkan tadi maka wudhu’nya batal meskipun hanya sedikit.”
Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Wudhu’nya tidak batal bila yang keluar itu semua.”
Aḥmad berkata: “Apabila yang keluar itu semua dan keluarnya banyak maka wudhu’nya batal (menurut satu riwayat)”
Sedangkan bila yang keluar sedikit maka ada dua riwayat (dari Aḥmad) yang diriwayatkan oleh Ibnu Abī Mūsā dalam al-Irsyād (1806). Pertama, wudhu’nya batal. Kedua, wudhu’nya tidak batal.” (1817).
78. Mereka berbeda pendapat tentang batalnya wudhu’ bila menyentuh perempuan.
Abū Ḥanīfah berkata: “Wudhu’nya tidak batal, kecuali bila terjadi kontak langsung dengannya selain memasukkan penis.”
Mālik berkata: “Apabila ketika bersentuhan dengannya ada syahwat maka wudhu’nya batal, sedangkan bila tidak ada syahwat maka wudhu’nya tidak batal, Kecuali mencium menurut riwayat Ashbagh bin al-Faraj (1828) bahwa ia membatalkan wudhu’ dalam kondisi apapun.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Apabila seorang laki-laki menyentuh perempuan yang bukan mahramnya tanpa adanya penghalang (kain dsb.) maka wudhu’nya batal.”
Sedangkan bila yang disentuh perempuan yang semahram, dalam hal ini ada dua pendapat imam asy-Syāfi‘ī.
Pertama, wudhu’nya batal.
Kedua, wudhu’nya tidak batal,
Menurut ulama Syāfi‘īyyah, ada dua pendapat di kalangan mereka berkenaan dengan kasus menyentuh perempuan yang masih kecil dan perempuan dewasa yang tidak diinginkan (tidak menimbulkan nafsu bila dilihat).
Sedangkan dari Aḥmad ada tiga riwayat:
Pertama, wudhu’nya tidak batal.
Kedua, wudhu’nya batal.
Ketiga, wudhu’nya batal bila bersentuhan dengan syahwat, sedangkan bila tidak dengan syahwat maka wudhu’nya tidak batal seperti madzhab Mālik (1839). Pendapat inilah yang kuat menurutku. (18410).
79. Mereka berbeda pendapat tentang menyentuh kemaluan orang lain.
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Wudhu’ orang yang menyentuh kemaluan batal, baik yang disentuh masih kecil atau sudah dewasa, baik masih hidup maupun sudah meninggal.”
Mālik berkata: “Wudhu’nya batal, kecuali bila yang disentuh masih kecil.”
Abū Ḥanīfah berkata: “Wudhu’nya tidak batal.” (18511).
80. Mereka berbeda pendapat tentang wudhu’ orang yang kemaluannya disentuh orang lain, apakah wudhu’nya juga batal?
Imām Mālik menganggapnya sama dengan orang yang menyentuhnya. Sedangkan dari Imām asy-Syāfi‘ī ada dua pendapat. Yang paling kuat adalah bahwa wudhu’ orang yang dipegang kemuluannya tidak batal. Sedangkan pendapat dari Imām Aḥmad ada dua riwayat berkenaan dengan hal ini. (18612).
81. Mereka sepakat bahwa orang yang menyentuh kemaluannya dengan anggota tubuhnya selain tangannya tidak membatalkan wudhu’nya. (18713).
82. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang menyentuh kemaluannya dengan bagian dalam telapak tangannya.
Abū Ḥanīfah berkata: “Wudhu’nya tidak batal.”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad – dalam riwayat yang masyhur darinya – berkata: “Wudhu’nya batal.”
Ada pula riwayat lain dari Aḥmad bahwa wudhu’nya tidak batal.
Mālik dalam riwayat orang-orang Mesir juga mengatakan hal yang sama. (18814). Sementara dalam riwayat orang-orang ‘Irāq (18915) disebutkan bahwa yang menjadi acuan adalah perasaan nikmat. Apabila ada rasa nikmat maka wudhu’nya batal. Sedangkan bila tidak ada rasa nikmat maka wudhu’nya tidak batal, seperti menyentuh perempuan. Pendapat inilah yang dipilih oleh para pengikutnya. (19016).
83. Mereka yang berpendapat wudhu’nya batal sepakat bahwa yang dimaksud adalah bila penyentuhan tersebut terjadi tanpa penghalang, namun bila ada penghalangnya maka wudhu’nya tidak batal. Kecuali Mālik, karena menurutnya tidak ada bedanya antara yang ada penghalangnya atau yang tidak ada penghalangnya bila bukan kulit bagian dalam yang menghalangi rasa nikmat menurutnya. Bila seseorang menyentuhnya dengan bagian luar telapak tangannya maka wudhu’nya tidak batal menurut asy-Syāfi‘ī menurut satu pendapatnya. (19117).
Apabila seseorang menyentuh kemaluannya dengan jari tambahan (selain lima jari) atau ujung telapak tangannya atau dengan sesuatu yang ada di antara telapak tangannya, dalam hal ini ada dua Wajh (pendapat) di kalangan fuqahā’ Syāfi‘īyyah (19218). Yang paling sah dari keduanya adalah bahwa wudhu’nya tidak batal.
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Wudhu’nya tidak batal.”
Aḥmad berkata dalam riwayat yang masyhur darinya: “Wudhu’nya batal.” (19319)
84. Mereka sepakat bahwa orang yang memegang buah pelirnya tidak perlu berwudhu’ baik dengan penghalang atau tanpa penghalang. (19420).
85. Mereka sepakat bahwa menyentuh remaja belia yang rupawan (Amrād) (19521) tidak membatalkan wudhu’ bila tidak disertai syahwat. Kecuali Mālik yang mengatakan bahwa wudhu’nya batal. Pendapatnya ini disetujui oleh Abū Sa‘īd al-Ishthakhrī (19622) dari kalangan fuqahā’ Syāfi‘īyyah.
86. Mereka berbeda pendapat tentang perempuan yang memegang kemaluannya, apakah wudhu’nya batal?
Abū Ḥanīfah (19723) dan Mālik berkata: “Wudhu’nya tidak batal.”
Ada pula dari kalangan fuqaha’ Mālikiyyah yang menganggapnya batal bila menyentuhnya dengan syahwat,
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Wudhu’nya batal.”
Aḥmad, dalam hal ini memiliki dua riwayat. Pertama, diriwayatkan oleh al-Marwazī bahwa dia ditanya tentang perempuan yang menyentuh kemaluannya, apakah dia harus berwudhu’ sebagaimana halnya laki-laki?” Ia menjawab: “Aku tidak mendengar apapun berkenaan dengan hal ini. Yang aku dengar hanyalah tentang kasus laki-laki yang menyentuh kemaluannya.”
Secara zhahir, jawaban ini menunjukkan bahwa perempuan tersebut tidak perlu berwudhu’. Sedangkan menurut riwayat lain wudhu’nya batal. (19824).
87. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang memegang lingkaran dubur (pantat).
Abū Ḥanīfah, Mālik dan Aḥmad dalam salah satu dari dua riwayat darinya berkata: “Wudhu’nya tidak batal.”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad dalam riwayat lain berkata: “Wudhu’nya batal.”
Asy-Syāfi‘ī juga mengatakan dalam pendapatnya yang lain: “Wudhu’nya tidak batal.” Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibn-ul-Qāsh darinya. (19925).
88. Mereka sepakat bahwa memakan daging onta, murtad, dan memandikan mayat tidak membatalkan wudhu’. Kecuali Aḥmad yang berpendapat bahwa semua itu membatalkan wudhu’.
Asy-Syāfi‘ī berkata dalam Qaul Qadīm-nya: “Makan daging onta membatalkan wudhu’.” Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibn-ul-Qāsh darinya. (20026).
89. Mereka sepakat bahwa tertawa terbahak-bahak saat melaksanakan shalat membatalkan shalat. (20127)
90. Mereka berbeda pendapat tentang batalnya wudhu’ karena tertawa terbahak-bahak.
Mereka mengatakan: “Wudhu’nya tidak batal.” Kecuali Abū Ḥanīfah yang berkata: “Wudhu’nya juga batal bila shalatnya ada ruku‘ dan sujudnya.” (20228).
91. Mereka sepakat bahwa orang yang yakin telah bersuci dan ragu apakah terkena hadats atau tidak, hukum yang berlaku adalah bahwa dia dalam kondisi suci. Kecuali Mālik yang mengatakan: “Dia dianggap berhadats dan harus berwudhu’.” Ada pula riwayat lain darinya yang seperti madzhab jamā‘ah. (20329).
Catatan: