Bab: Istinja’. (1671)
69. Imām Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī berbeda pendapat tentang hukum menghadap qiblat dan membelakangi qiblat saat buang air kecil dan buang air besar.
Abū Ḥanīfah dan Aḥmad – dalam salah satu riwayat darinya – berkata: “Tidak boleh menghadap qiblat dan membelakanginya, baik di padang pasir maupun di dalam bangunan.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad – dalam riwayat kedua yang terkenal – berkata: “Tidak boleh melakukannya di padang pasir, tapi boleh melakukannya di dalam rumah.”
Ada pula riwayat ketiga dari Aḥmad bahwa boleh membelakangi qiblat, tapi menghadap qiblat tidak boleh saat buang air kecil dan buang air besar. Pendapat ini diriwayatkan oleh Bakar bin Muḥammad. (1682).
70. Mereka berbeda pendapat tentang wajibnya melakukan istinja’.
Abū Ḥanīfah berkata: “Hukumnya sunnah tapi tidak wajib.”
Adapun dari Mālik, terdapat riwayat yang berbeda-beda darinya. Diriwayatkan darinya bahwa hukumnya wajib. Ada pula riwayat darinya bahwa hukumnya tidak wajib dan hanya sunnah.
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Hukumnya wajib.” (1693).
71. Mereka berbeda pendapat, apakah isinja’ sah dengan menggunakan kotoran binatang dan tulang?
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Hukumnya sah.”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Hukumnya tidak sah.” (1704).
72. Mereka berbeda pendapat tentang wajibnya menggunakan batu dalam jumlah tertentu saat istinja’.
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Yang jadi acuan adalah sampai bersih. Apabila dengan menggunakan satu batu sudah bersih maka tidak perlu menambah lagi.”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Disamping yang menjadi acuan adalah sampai bersih, juga harus memperhatikan jumlahnya yaitu tiga batu, sehingga meskipun sudah bersih dengan kurang dari tiga batu maka hukumnya tidak sah sampai menggunakan tiga batu. Apabila dengan tiga batu belum bersih maka harus ditambah sampai bersih.”
73. Mereka yang mewajibkan jumlah batu tertentu berbeda pendapat tentang batu yang memiliki tiga cabang, apakah ia bisa menggantikan tiga batu?
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Ia dapat menggantikan tiga batu.”
Adapun riwayat dari Aḥmad tentang hal ini adalah berbeda-beda. Al-Marwazī meriwayatkan darinya tentang kebolehan hal tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh al-Khiraqī (1715) Sedangkan Ḥanbal (1726) mengutip darinya bahwa hukumnya tidak sah. (1737).
Tata Cara Istinja’:
Istinjā’ dimulai dengan batu. Bila telah bersih maka disiram dengan air. Hendaknya dimulai dengan bagian depan setelah membersihkan sisa-sisa kencing pada penis. Kemudian ketika membersihkan dubur (pantat [anus]), yang menjadi acuan adalah hilangnya lengket dan tampaknya bagian yang kasar. Apabila masih ada sisa-sisa kotoran dari perut yang masih menempel di anus ma ka boleh dibersihkan dengan jari-jemari. Adapun jumlah bilangannya adalah tujuh kali, kemudian setelah itu disiram dengan air untuk menghilangkan kebimbangan. Apabila seseorang beristinja’ dengan hanya menggunakan air tanpa menggunakan batu maka hal tersebut lebih utama daripada hanya menggunakan batu tanpa air. Dan menggabungkan antara batu dengan air lebih utama. (1748).
Catatan:
- 167). Istinjā’ secara bahasa diambil dari kalimat “Najaut-usy-Syajara wa Anjaituhā” yaitu bila aku memotongnya untuk menghilangkan kotoran darinya. Ibnu Qutaibah berkata: “Ia diambil dari kata “an-Najwah”, yaitu bagian tanah yang tinggi. Sedangkan menurut terminologi adalah menghilangkan sesuatu yang keluar dari dua jalan (Qubul dan Dubur) dari tempat keluarnya air dan batu. Lih. al-Majmū‘ (2/86). Judul ini hilang dari naskah yang dicetak. ↩
- 168). Lih. al-Majmū‘ (2/93), al-Mughnī (1/184), Ḥāsyiyat-ubni ‘Ābidīn (1/369). dan Raḥmat-ul-Ummah (22). Bakar bin Muḥammad adalah Abū Aḥmad an-Nasā’ī al-Baghdādī. Al-Khallāl berkata: “‘Abdullāh memuliakannya dan menghormatinya.” Lih. Thabaqāt-ul-Ḥanābilah (1/112). ↩
- 169). Lih. at-Taḥqīq (1/181), Ḥāsyiyat-ubni ‘Ābidīn (1/365), al-Majmū‘ (2/111), dan Raḥmat-ul-Ummah (22). ↩
- 170). Lih. al-Hidāyah (1/40), al-Majmū‘ (2/135), al-Mughnī (1/179), dan Bidāyat-ul-Mujtahid (1/159). ↩
- 171). Lih. Mukhtashar-ul-Khiraqī (13). Ini adalah masalah keenam yang terjadi perbedaan pendapat antara al-Khiraqī dengan Abū Bakar ‘Abd-ul-‘Azīz. Lih. Thabaqāt-ul-Ḥanābilah (2/66). ↩
- 172). Dia adalah Ḥanbal bin Isḥāq bin Ḥanbal Abū ‘Alī asy-Syaibānī, putra paman Imām Aḥmad. Dia seorang ulama yang tsiqah shadūq. Dia wafat pada tahun 273 Hijriyyah di Wāsith. Lih. Thabaqāt-ul-Ḥanābilah (1/134). ↩
- 173). Lih. al-Hidāyah (1/39), at-Talqīn (61), al-Majmū‘ (2/120), al-Mughnī (1/180), dan Raḥmat-ul-Ummah (22). ↩
- 174). Ada tiga cara istinjā’. Lih. al-Majmū‘ (2/123), al-Mughnī (1/177). ↩