Hati Senang

01-5 Bab Wudhu’ – Fikih Empat Madzhab

Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah


Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Bab: Wudhu’. (1301)

41. Imam-imam madzhab sepakat bahwa wajib berniat ketika akan bersuci dari hadats dan mandi dari janabat, berdasarkan sabda Nabi s.a.w. (إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ) “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya.” (1312). Kecuali Abū Ḥanīfah yang mengatakan: “Tidak wajib berniat ketika akan melakukan kedua perbuatan tersebut dan hukumnya sah meskipun tidak diniatkan.”

Adapun tempat niat adalah dalam hati. Caranya adalah berniat menghilangkan hadats atau supaya boleh menunaikan shalat.

Sifatnya yang sempurna adalah mengucapkan dengan lidah sesuai yang diniatkan dalam hatinya agar lebih khusyuk. Kecuali Mālik yang menganggap makruh melafazhkan niat dengan lidah. (1323).

42. Mereka sepakat bahwa seandainya seseorang mencukupkan niat dengan hatinya maka hukumnya sah. Berbeda bila dia mengucapkan dengan lidahnya tapi tidak meniatkan dalam hatinya. (1334).

43. Mereka juga sepakat bahwa apabila seseorang berniat ketika berkumur dengan terus berniat sampai membasuh bagian pertama dari wajah, maka Thahārah-nya sah. (1345).

44. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang memulai niat ketika membasuh bagian pertama dari wajah, apakah hukumnya sah?

Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “hukumnya sah.”

Aḥmad berkata: “Thahārah-nya tidak sah.” (1356).

45. Mereka sepakat bahwa membaca Basmalah disunnahkan ketika akan bersuci dari hadats.

46. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang kewajibannya.

47. Mereka sepakat bahwa hukumnya tidak wajib. Kecuali Aḥmad dalam salah satu dari dua riwayat darinya. (1367).

48. Mereka sepakat bahwa tertib dan berturut-turut dalam Thahārah disyariatkan.

49. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang wajibnya melakukan keduanya.

Abū Ḥanīfah berkata: “Keduanya tidak wajib.”

Mālik berkata: “Berturut-turut wajib, sementara tertib tidak wajib.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Tertib hukumnya wajib.”

Adapun tentang berturut-turut, dalam hal ini ada dua pendapat imam asy-Syāfi‘ī. Pendapat lamanya (Qaul Qadīm) menyatakan bahwa hukumnya wajib, sedangkan pendapat barunya (Qaul Jadīd) menyatakan bahwa hukumnya tidak wajib.

Aḥmad berkata dalam riwayat yang masyhur darinya: “Keduanya wajib.”

Ada pula riwayat lain darinya tentang berturut-turut: “Hukumnya tidak wajib.” (1378).

50. Mereka sepakat bahwa membasuh kedua tangan saat bangun tidur sebanyak tiga kali hukumnya sunnah.

51. Akan tetapi mereka berbeda pendapat apakah ia wajib atau tidak?

Mereka mengatakan: “Hukumnya tidak wajib.” Kecuali Aḥmad dalam salah satu dari dua riwayat darinya yang mengatakan tidak wajib. (1389).

52. Mereka berbeda pendapat tentang memilih bejana-bejana yang ada kemungkinan bercampur di dalamnya antara yang suci dengan yang najis.

Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila yang paling banyak adalah yang suci maka perlu memilih, tapi bila sama antara keduanya atau yang suci lebih sedikit maka tidak perlu memilihnya.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Boleh memilih secara mutlak bila terjadi kesamaan antara air yang suci dengan air yang najis. Apabila bercampur di dalamnya air kencing maka tidak boleh memilihnya.”

Para ulama Mālikiyyah berbeda pendapat dalam masalah ini. Segolongan dari mereka berpendapat seperti Imām asy-Syāfi‘ī, sementara segolongan lainnya mengatakan bahwa tidak perlu dipilih dan boleh berwudhu’ dengan semua bejana yang ada lalu shalat sesuai jumlah bejana tersebut.

Aḥmad berkata: “Tidak perlu memilih bejana-bejana tersebut, tapi cukup bertayammum.”

Al-Khiraqī (13910) meriwayatkan darinya setelah dia mengatakan: “Airnya harus ditumpahkan.”

Diriwayatkan pula darinya riwayat lain: “Abū Bakar meriwayatkan bahwa dia harus bertayammum tanpa perlu meumpahkan airnya.” (14011).

53. Mereka sepakat bahwa wajib membasuh seluruh wajah, kedua tangan beserta siku, kedua kaki beserta kedua mata kaki, dan mengusap kepala. (14112).

54. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang ukuran yang sah ketika mengusap kepala.

Abū Ḥanīfah berkata dalam suatu riwayat darinya: “Setidaknya membasuh seperempat kepala, maka ini sudah sah.”

Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan: “Seukuran ubun-ubun (separuh kepala).”

Sementara dalam riwayat ketiga dikatakan: “Seukuran tiga jari atau jari-jari tangan.”

Mālik dan Aḥmad berkata dalam riwayat yang paling kuat dari keduanya: “Seluruh kepala harus diusap dan tidak sah bila tidak diusap seluruhnya.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Wajib mengusapnya, minimal dengan melakukan sesuatu yang dianggap mengusap (walaupun hanya dengan satu jari misalnya).” (1423).

55. Mereka berbeda pendapat tentang mengulang pengusapan kepala.

Abū Ḥanīfah dan Aḥmad dalam riwayat yang masyhur dari keduanya berkata: “Hukumnya tidak disunnahkan.”

Mālik berkata: “Hukumnya tidak disunnahkan.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Hukumnya disunnahkan.” (14313).

56. Mereka sepakat bahwa mengusap sorban penutup kepala tidak sah (sebagai pengganti mengusap rambut). Kecuali Aḥmad yang membolehkannya dengan syarat ada sesuatu dari sorban tersebut di bawah mulut (diikat dengan sesuatu). Demikianlah menurut satu riwayat.

Lalu apakah disyaratkan agar seseorang memakai sorban tersebut dalam kondisi suci? Dalam hal ini ada dua riwayat dari Aḥmad. Apabila sorban tersebut bulat dan tidak memiliki ujung maka tidak boleh mengusap bagian atasnya. Dan ada pula dua pendapat dari para ulama Ḥanābilah bekenaan dengan sorban yang memiliki ujung.

Adapun tentang mengusap tutup kepala perempuan yang bulat yang bagian bawahnya diikat, dalam hal ini riwayat yang berbeda-beda dari Aḥmad.

Diriwayatkan darinya bahwa boleh mengusapnya seperti bolehnya mengusap sorban kepala laki-laki yang bagian bawahnya diikat. Sedangkan menurut riwayat lain, dilarang mengusapnya untuk menjaga perempuan tersebut. (14414).

57. Mereka berbeda pendapat tentang berkumur dan menghirup air ke dalam hidung.

Abū Ḥanīfah berkata: “Keduanya wajib dalam Thahārah besar dan sunnah dalam Thahārah kecil.

Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Keduanya sunnah semuanya baik dalam Thahārah besar maupun kecil.”

Aḥmad berkata: “Keduanya wajib dalam Thahārah besar dan Thahārah kecil.” (14515).

Berkumur (Madhmadhah) adalah membersihkan bagian dalam mulut. Caranya adalah memasukkan air ke dalam mulut lalu menggoyang-goyangkannya di dalam mulut lalu mengluarkannya.

Sedangkan Istinsyāq adalah membersihkan bagian dalam hidung. Caranya adalah menghirup air ke dalam hidung dengan napas lalu mengeluarkannya. Dan disunnahkan menghirupnya dengan sungguh-sungguh (sampai ke dalam), kecuali bila sedang berpuasa. (14616).

58. Mereka sepakat bahwa mengusap bagian dalam telinga dan bagian luarnya merupakan salah satu sunnah wudhu’. Kecuali Aḥmad yang berpendapat bahwa mengusapnya wajib, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ḥarb (14717) darinya. Dia pernah ditanya tentang demikian lalu menjawab: “Dia harus mengulang shalatnya bila meninggalkannya.” (14818).

59. Mereka berbeda pendapat, apakah kedua telinga diusap dengan air yang telah dipakai untuk mengusap kepala atau harus menggunakan air baru?

Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Keduanya diusap dengan air yang habis dipakai untuk mengusap kepala karena keduanya termasuk bagian dari kepala.”

Al-Maimūnī (14919) dari golongan pengikut Aḥmad berkata: “Aku melihat Aḥmad mengusap keduanya bersamaan dengan mengusap kepala.”

Ada pula riwayat lain darinya bahwa disunnahkan mengambil air baru untuk mengusap kedua telinga. Pendapat inilah yang dipilih oleh al-Khiraqī. (15020).

Mālik berkata: “Keduanya termasuk bagian dari kepala dan disunnahkan agar mengambil air baru untuk mengusap keduanya.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Keduanya bukan bagian dari kepala dan bukan pula bagian dari wajah. Dan disunnahkan agar mengusap keduanya dengan air baru.” (15121).

60. Mereka berbeda pendapat tentang mengulangi mengusap kedua telinga.

Abū Ḥanīfah, Mālik, dan Aḥmad – dalam salah satu dari dua riwayat darinya – berkata: “Yang sunnah hanyalah satu kali.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Mengulanginya tiga kali adalah sunnah.”

Diriwayatkan pula dari Aḥmad pendapat yang sama dalam riwayat yang dianggap bagus tentang pengulangan mengusap kepala. (15222).

61. Mereka berbeda pendapat tentang mengusap leher.

Abū Ḥanīfah berkata: “Ia termasuk sunnah Wudhu’.”

Mālik berkata: “Ia bukan sunnah.”

Sebagian ulama Syāfi‘iyyah dan Aḥmad – dalam salah satu dari dua riwayat darinya – berkata: “Hukumnya sunnah.” Karena putra Aḥmad yaitu ‘Abdullāh (15323) berkata: “Aku melihat ayahku mengusap lehernya setelah mengusap kepala dan kedua telinganya.” (15424).

62. Mereka sepakat bahwa menyela-nyela jenggot lebat dan menyela-nyela jari jemari termasuk sunnah wudhu’ (15525).

63. Mereka berbeda pendapat, apakah wajib mengalirkan air ke jenggot yang terurai?

Diriwayatkan dari Mālik dan Aḥmad bahwa hukumnya wajib, sedangkan menurut asy-Syāfi‘ī ada dua pendapat.

Adapun menurut Abū Ḥanīfah, ada beberapa riwayat yang berbeda darinya. Diriwayatkan darinya bahwa hukumnya tidak wajib, dan diriwayatkan pula darinya bahwa hukumnya wajib. (15626).

64. Mereka sepakat bahwa tidak disunnahkan menyeka (mengeringkan dengan handuk) anggota wudhu’.

65. Kemudian mereka berbeda pendapat, apakah hukumnya makruh?

Dalam hal ini tidak ada yang menganggapnya makruh selain Aḥmad dalam salah satu dari dua riwayatnya. Akan tetapi riwayat yang sah darinya adalah bahwa hukumnya tidak makruh. (15727).

Ada riwayat yang berbeda-beda dari Aḥmad tentang kesunnahan memperbarui wudhu’ setiap kali hendak shalat. ‘Alī bin Sa‘īd (15828) meriwayatkan dari Aḥmad bahwa dia bertanya kepadanya berwudhu’ setiap kali akan shalat, apakah ada keutamaannya? Aḥmad menjawab: “Menurutku, ia tidak utama (tidak sunnah).”

Al-Marrūdzī (15929) mengutip dengan mengatakan: “Aku melihat Abū ‘Abdillāh berwudhu’ setiap kali hendak shalat seraya berkata: “Aku menganggapnya bagus bagi siapa saja yang mampu melakukannya”.” (16030).

66. Mereka sepakat bahwa orang yang terkena hadats tidak boleh menyentuh mushhaf. (16131).

67. Mereka berbeda pendapat tentang membawa mushhaf dengan menggantungnya atau dengan memasukkannya dalam wadahnya.

Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad – dalam salah satu dari dua riwayat darinya – berkata: “Tidak boleh.”

Abū Ḥanīfah dan Aḥmad – dalam riwayatnya yang lain – berkata: “Hukumnya dibolehkan.” (16232).

68. Mereka sepakat bahwa orang yang terkena janabat dan wanita haidh tidak boleh membaca ayat secara sempurna, kecuali Imām Mālik yang mengatakan: “Orang yang terkena janabat boleh membaca 10 ayat pendek sebagai permintaan perlindungan.” (16333).

Ada beberapa riwayat yang berbeda dari Mālik tentang wanita haidh. Diriwayatkan bahwa hukumnya seperti orang yang terkena janabat. Ada pula riwayat yang mengatakan bahwa wanita haidh boleh membaca secara mutlak. Ada pula pendapat lain Imām asy-Syāfi‘ī bahwa wanita haidh boleh membaca al-Qur’ān. Pendapat ini diriwayatkan oleh Abū Tsaur (16434) darinya.

Pengarang asy-Syāmil (16535) berkata: “Para pengikutnya tidak mengetahui pendapat ini.” (16636).

Catatan:


  1. 130). Wudhu’ secara bahasa berasal dari kata al-Wadha’ah, yaitu bersih dan berseri-seri. Sedangkan secara terminology adalah perbuatan-perbuatan khusus yang dimulai dengan niat. Lih. al-Iqnā‘u fī Ḥallī AlfāzhiAbī Syujā‘ (1/45). Judul ini hilang daam naskah yang telah ditelak. 
  2. 131). HR. al-Bukhārī (1) dan Muslim (1907). 
  3. 132). Lih. al-Mughnī (1/121), al-Majmū‘ (1/355), Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/74), Al-Bidāyat-ul-Mujtahid (1/95), dan Raḥmat-ul-Ummah (23). 
  4. 133). Lih. al-Majmū‘ (1/358), al-Mughnī (1/122), dan Raḥmat-ul-Ummah (23). 
  5. 134). Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughnī (1/124): “Disunnahkan terus-menerus berniat sampai Thahārah selesai agar perbuatan-perbuatannya dibarengi dengan niat.” Lih. al-Majmū‘ (1/360). 
  6. 135). Lih. al-Majmū‘ (1/360). 
  7. 136). Lih. at-Taḥqīq (1/201), al-Majmū‘ (1/387), al-Hidāyatu Syarḥ-ul-Bidāyah (1/13), dan Raḥmat-ul-Ummah (23). 
  8. 137). Lih. al-Hidāyatu Syarḥ-ul-Bidāyah (1/14), al-Majmū‘ (1/471), (1/480), at-Taḥqīq (1/271), (1/281), dan Raḥmat-ul-Ummah (24), dan Bidāyat-ul-Mujtahid (1/47, 48). 
  9. 138). Lih al-Hidāyah (1/12), al-Mughnī (1/110), al-Majmū‘ (1/390), dan Bidāyat-ul-Mujtahid (1/33). 
  10. 139). Lih. Mukhtashar-ul-Khiraqī (12). Ini termasuk masalah-masalah yang terjadi perbedaan pendapat antara al-Khiraqī dengan Abū Bakar ‘Abd-ul-‘Azīz. Silahkan baca uraiannya dalam Thabaqāt-ul-Ḥanābilah (2/64). 
  11. 140). Lih. al-Majmū‘ (1/233), al-Mughnī (1/79), dan Raḥmat-ul-Ummah (20). 
  12. 141). Lih. Bidāyat-ul-Mujtahid (1/37), (1/38), (1/39), (1/45), al-Mughnī (1/126, 137, 141, 150), al-Majmū‘ (1/405, 417, 428, 447), dan Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/15). Masalah ini telah diuraikan sebelumnya. 
  13. 143). Lih. al-Hidāyah (1/14), al-Mughnī (1/144), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/41), dan al-Majmū‘ (1/462). 
  14. 144). Lih. al-Majmū‘ (1/438), al-Mughnī (1/340), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/42), dan Ḥāsyiyat-ubni ‘Ābidīn (1/293). 
  15. 145). Ada tiga riwayat dari Aḥmad tentang berkumur dan menghirup air ke dalam hidung. Pertama, ini adalah pendapat masyhur dalam madzhabnya bahwa keduanya wajib dalam dua Thahārah sekaligus. Kedua, memasukkan air ke dalam hidung hukumnya wajib, Ketiga, keduanya wajib dalam Thahārah besar, bukan Thahārah kecil, seperti pendapat Abū Ḥanīfah. Lih. al-Mughnī (1/132), al-Majmū‘ (1/400), al-Hidāyah (1/16), dan Bidāyat-ul-Mujtahid (1/36). 
  16. 146). Dalilnya adalah hadits riwayat Lāqith bin Shabrah r.a., dia berkata: Aku berkata: (يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَخْبِرْنِيْ عَنِ الْوُضُوْءِ. قَالَ: أَسْبِغِ الْوُضُوْءَ، وَ خَلِّلْ بَينَ الْأَصَابِعِ، وَ بَالِغْ فِي الْاِسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا.)Wahai Rasūlullāh, kabarkanlah kepadaku tentang wudhu’.” Beliau menjawab: “Sempurnakanlah wudhu’, basuhlah sela-sela jari-jemari, dan bersunggh-sungguhlah dalam memasukkan air ke dalam hidung, kecuali bila engkau dalam keadaan puasa.” (HR. Abū Dāūd, no. 142; at-Tirmidzī, no. 38; an-Nasā’ī no. 87; dan Ibnu Mājah, no. 448). 
  17. 147). Dia adalah Ḥarb bin Ismā‘īl bin Khalaf al-Ḥanzhalī al-Kirmānī Abū Muḥammad. Ada yang mengatakan “Abū ‘Abdillāh.” Orang yang meriwayatkan hadits darinya adalah Abū Bakar al-Marrūdzī. Dia adalah seorang ulama fikih bermadzhab Ḥanbalī. Lih. Thabaqāt-ul-Ḥanābilah (1/136). 
  18. 148). Ibnu Qudamah berkata: Al-Khallāl berkata: Semuanya meriwayatkan dari Abū ‘Abdillāh tentang orang yang tidak mengusap keduanya secara sengaja atau lupa bahwa hukumnya sah. Lih. al-Mughnī (1/149), al-Majmū‘ (1/443, 446), Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/97), dan Bidāyat-ul-Mujtahid (1/43). 
  19. 149). Dia adalah Maimūn bin al-Ashbāgh an-Nāshibī, salah seorang pengikut Imām Aḥmad. Lih. Thabaqāt-ul-Ḥanābilah (1/347). 
  20. 150). Lih. Mukhtashar-ul-Khiraqī (12). 
  21. 151). Lih. al-Mughnī (1/177), al-Majmū‘ (1/443), al-Mudawwamat-ul-Kubrā (1/133), dan Raḥmat-ul-Ummah (24). 
  22. 152). Lih. Syarḥu Fatḥ-il-Qadīr (1/27), al-Majmū‘ (1/462), Masā’il-ul-Imāmi Aḥmada Min Riwāyati Isḥāq (1/71), dan Raḥmat-ul-Ummah (24). 
  23. 153). Dia adalah Abū ‘Abd-ir-Raḥmān ‘Abdullāh bin Aḥmad bin Ḥanbal, seorang laki-laki saleh yang sangat jujur dan pemalu. Di antara karyanya yang terkenal adalah kitab as-Sunnah. Dia lahir pada tahun 213 Hijriyyah dan wafat pada tahun 290 Hijiriyyah. Lih. Thabaqāt-ul-Ḥanābilah (1/174). 
  24. 154). Ibnu Qudamah berkata: “Al-Khallāl menganggap lemah riwayat ini – riwayat ‘Abdullah dari ayahnya Imam Ahmad tentang mengusap leher – dan berkata: “Pendapat ini salah”.” Lih. al-Mughnī (1/118), dan al-Majmū‘ (1/478). Al-Kasanī berkata: “Adapun tentang mengusap leher, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Abū Bakar al-A‘masy berkata: “hukumnya Sunnah.” Abū Bakar al-Iskāf berkata: “Ia hanya sekedar adab.” Lih. Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/99). 
  25. 155). Lih. al-Majmū‘ (1/408), al-Mughnī (1/116), al-Hidāyah (1/13), dan Raḥmat-ul-Ummah (23). 
  26. 156). Lih. Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/18), al-Majmū‘ (1/414), al-Mughnī (1/130). 
  27. 157). Lih. al-Mudawwamah (1/135), al-Majmū‘ (1/486), Masā’il-ul-Imāmi Aḥmada Min Riwāyati Isḥāq (1/70), dan al-Mughnī (1/161). 
  28. 158). Dia adalah Abul-Ḥasan ‘Alī bin Sa‘īd bin Jarīr an-Naswī. Profilnya disebut oleh Abū Bakar al-Khallāl. Dia berkata: “Dia adalah ulama besar ahli hadits yang suka berdiskusi dengan Abū ‘Abdillāh. Diriwayatkan dari Abū ‘Abdillāh dua juz tentang masalah-masalah yang dibahasnya (bersamannya). Dia wafat pada tahun 257 Hijriyyah. Lih. Thabaqāt-ul-Ḥanābilah (1/212), ‘Ulamā’-ul-Ḥanābilah karya DR. Bakar Abū Zaid (71). 
  29. 159). Dia adalah Aḥmad bin Muḥammad bin al-Ḥajjāj bin ‘Abd-il-‘Azīz Abū Bakar al-Marrūdzī. Dia adalah ulama madzhab Ḥanbalī yang dianggap senior karena kewara‘an dan kemuliaannya. Dia-lah yang memejamkan kedua mata Imām Aḥmad saat beliau wafat dan juga yang memandikannya. Dia wafat pada tahun 275 Hijriyyah. Lih. Thabaqāt-ul-Ḥanābilah (1/57), ‘Ulamā’-ul-Ḥanābilah karya DR. Bakar Abū Zaid (71). 
  30. 160). Lih. al-Mughnī (1/163). 
  31. 161). Lih. al-Majmū‘ (2/79), al-Mughnī (1/228), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/87), dan Raḥmat-ul-Ummah (22). 
  32. 162). Lih. al-Mughnī (1/228), al-Majmū‘ (2/79), dan Raḥmat-ul-Ummah (22), dan Syarḥu Fatḥ-il-Qadīr (1/171). 
  33. 163). Lih. at-Taḥqīq (1/298), al-Majmū‘ (1/182), Syarḥu Fatḥ-il-Qadīr (1/169), dan Raḥmat-ul-Ummah (25). 
  34. 164). Dia adalah Ibrāhīm bin Khālid al-Kalbī al-Baghdādī, salah satu periwayat Qaul Qadīm Imām asy-Syāfi‘ī. Sebelumnya dia menganut madzhab Ḥanafī. Setelah asy-Syāfi‘ī datang ke Baghdad, dia menjadi pengikutnya dan membaca kitab-kitabnya, lalu menyebarkan ilmunya. Dia termasuk penganut madzhab independen dan pendapatnya yang menyendiri tidak dianggap sebagai pendapat ulama madzhab Syāfi‘ī. Dia wafat pada tahun 204 Hijriyyah. Lih. Thabaqāt-usy-Syāfi‘iyyah karya al-Isnawī (1/25). 
  35. 165). Dia adalah Abū Nashr ‘Abd-us-Sayyid bin Abī Zhāhir Muḥammad bin ‘Abd-il-Wāḥid bin Muḥammad al-Baghdādī yang terkenal dengan panggilan Ibn-ush-Shabbāgh. Dia belajar kepada al-Qādhī Abuth-Thayyib hingga menjadi ulama besar sampai menjadi ulama Tarjīḥ dalam madzhabnya dengan merujuk pendapat-pendapat Abū Isḥāq, Seorang ulama madzhab Syāfi‘ī. Dia wafat pada tahun 477 Hijriyyah. Lih. Thabaqāt-usy-Syāfi‘iyyah karya al-Isnawī (1/39). 
  36. 166). Lih. al-Majmū‘ (2/182), al-Mughnī (1/248), Raḥmat-ul-Ummah (25), dan Hidāyah (1/33). 
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.