01-3 Bab Sisa Air Dalam Bejana (Bagian 1) – Fikih Empat Madzhab

Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah

Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Bab: Sisa Air dalam Bejana.

(Bagian 1 dari 2)

24. Keempat imam madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa sisa air dalam bejana yang bekas diminum oleh binatang yang boleh dimakan dagingnya seperti binatang ternak hukumnya suci. (1021).

25. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang sisa air dalam bejana yang bekas diminum oleh binatang buas seperti singa, harimau dan sejenisnya.

Abū Ḥanīfah dan Aḥmad – dalam salah satu dari dua riwayatnya – berkata: “Hukumnya najis.”

Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad – dalam riwayat lain – berkata: “Hukumnya suci.” Hanya saja Imām Mālik mengecualikan binatang yang suka memakan najis. Menurutnya, sisa air dalam wadah tersebut najis. (1032).

26. Mereka juga berbeda pendapat tentang anjing dan babi.

Abū Ḥanīfah, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Keduanya najis, begitu pula sisa air dalam bejana yang bekas diminum oleh keduanya.”

Mālik berkata: “Anjing hukumnya suci dan sisa air minumnya juga suci, sedangkan babi hukumnya najis.”

Sementara tentang kesucian sisa air minumnya ada dua riwayat darinya. Berdasarkan hal ini maka sisa air minum anjing dan babi menurut riwayat yang mengatakan bahwa sisa air minumnya suci hukumnya adalah makruh.

Bejana yang dijilati anjing harus dicuci dengan air tujuh kali dengan niat ibadah, bukan karena kenajisannya. Dan dianjurkan agar airnya ditumpahkan. Sedangkan benda-benda cair lainnya yang dijilatinya tidak perlu ditumpahkan.

Berkenaan dengan cara mencuci bejana yang terkena jilatan anjing ada dua riwayat, sedangkan berkenaan dengan cara mencuci bejana yang terkena jilatan babi juga ada dua riwayat.

Pertama, caranya seperti mencuci bejana yang terkena jilatan anjing.

Kedua, tidak perlu dicuci, (1043).

27. Keempat imam madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa sisa air bekas dalam bejana yang diminum Baghal dan keledai hukumnya suci lagi mensucikan. Kecuali Abū Ḥanīfah yang ragu apakah ia mensucikan atau tidak. (1054).

Ibnu Jarīr (1065) meriwayatkan dari Mālik bahwa sisa air bekas Baghal dan keledai hukumnya makruh.

Adapun dari Aḥmad, ada beberapa riwayat yang berbeda. Diriwayatkan darinya bahwa dia ragu dalam masalah ini seperti Abū Ḥanīfah.

Faidahnya adalah, apabila seseorang tidak menemukan selain air tersebut maka dia boleh berwudhu’ dengannya lalu ditambah dengan Tayammum. Sedangkan bila dia menemukan air lain maka dia tidak perlu berwudhu’ dengan air tersebut. Diriwayatkan pula darinya bahwa sisa air keduanya hukumnya najis. Inilah pendapat yang didukung para pengikutnya (ulama Ḥanābilah). (1076).

28. Mereka berbeda pendapat tentang sisa air dalam bejana yang terkena anggota tubuh burung.

Abū Ḥanīfah, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad – dalam salah satu dari dua riwayatnya – berkata: “Hukumnya suci.” Hanya saja Abū Ḥanīfah menganggapnya makruhnya meskipun hukumnya suci menurutnya.

Aḥmad berkata dalam riwayat lain: “Hukumnya najis.”

Mālik berkata: “Apabila burung tersebut biasa memakan najis maka hukumnya najis, sedangkan bila ia tidak biasa memakan najis maka hukumnya suci.” (1087).

29. Mereka sepakat bahwa sisa air dalam bejana yang bekas diminum kucing atau binatang yang serupa dengannya hukumnya suci. Kecuali Abū Ḥanīfah yang menganggapnya makruh. (1098).

30. Mereka juga sepakat bahwa apabila binatang yang tidak memiliki darah mengalir seperti lalat dan sejenisnya mati dalam air yang sedikit maka air tersebut tidak menjadi najis. Kecuali menurut salah satu dari dua pendapat asy-Syāfi‘ī yang menyatakan bahwa hukumnya najis. Sedangkan menurut pendapat lainnya hukumnya tidak najis. Inilah pendapat yang lebih kuat (dari dua atau beberapa pendapatnya). (1109).

31. Mereka berbeda pendapat tentang pensyaratan jumlah bilangan dalam menghilangkan najis.

Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Tidak disyaratkan adanya jumlah tertentu dan tidaka pula diwajibkan.” Hanya saja Mālik menganjurkan agar bejana yang airnya bekas diminum anjing dicuci tujuh kali, sebagaimana yang telah kami uraikan di atas. (11110).

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Tidak wajib dengan jumlah bilangan tertentu kecuali pada bejana yang dijilati anjing dan babi atau anak keduanya atau salah satu dari keduanya. Begitu pula bila yang dijilat tanah.”

Ibn-ul-Qāsh (11211) meriwayatkan Qaul Qadīm dari asy-Syāfi‘ī bahwa bejana yang terkena jilatan babi cukup dicuci dengan air satu kali. Akan tetapi yang sah dalam madzhab-nya adalah bahwa hukumnya seperti hukum anjing, sebagaimana yang terdapat dalam teks perkataannya dalam al-Umm. (11312).

Adapun riwayat dari Aḥmad tentang masalah ini adalah berbeda-beda. Yaitu bahwa najis ada di tempat selain tanah, karena tidak ada riwayat yang berbeda darinya bahwa tidak ada syarat jumlah bila najisnya ada di tanah. Menurut riwayat yang masyhur darinya, wajib membasuh 7 kali dalam mencuci seluruh najis, baik yang berasal dari Qubul (kemaluan) dan dubur atau dari selain keduanya.

Ada pula riwayat kedua darinya bahwa wajib mencuci seluruh najis 3 kali baik yang berasal dari dua jalan atau selain keduanya.

Ada pula riwayat ketiga darinya, yaitu bila najisnya berasal dari dua jalan (Qubul dan dubur) maka dicuci 3 kali, sedangkan bila berasal dari selain dua jalan maka dicuci tiga kali.

Sedangkan riwayat keempat darinya adalah bahwa apabila najis tersebut berasal dari dua jalan atau dari sesuatu selain tubuh maka wajib mencucinya dengan jumlah bilangan tertentu yaitu tujuh kali. Sedangkan bila najis tersebut berasal dari tubuhnya maka lebih mudah.” Akan tetapi al-Khallāl (11413) menilai salah orang yang meriwayatkannya.

Riwayat kelima darinya adalah menggugurkan jumlah bilangan untuk selain anjing dan babi. (11514).

32. Mereka berbeda pendapat tentang kotoran binatang yang dagingnya boleh dimakan dan air kencingnya boleh diminum.

Mālik dan Aḥmad berkata – dalam riwayat yang masyhur darinya – “Hukumnya suci.” (11615).

Abū Ḥanīfah berkata: “Kotoran burung merpati (11716) dan burung pipit hukumnya suci, sedangkan kotoran binatang lainnya hukumnya najis.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Hukumnya najis secara mutlak.” (11817).

33. Mereka sepakat bahwa kotoran binatang yang dagingnya tidak boleh dimakan hukumnya najis. Kecuali Abū Ḥanīfah yang berpendapat bahwa kotoran burung buas seperti elang dan rajawali hukumnya suci. (11918).

Catatan:


  1. 102). Lih. Ijmā‘ (12) & al-Ausath karya Ibn-ul-Mundzir (1/299), al-Mughnī (1/73). 
  2. 103). Lih. al-Mabsūth (1/155), Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/231), al-Majmū‘ (1/225), dan al-Mughnī (1/71). 
  3. 104). Lih. al-Majmū‘ (1/225), al-Mabsūth (1/154), al-Mughnī (1/70), al-Muḥallā (1/132), dan Raḥmat-ul-Ummah (17). 
  4. 105). Lih. Syarḥu Fatḥ-il-Qadīr (1/117), al-Mabsūth (1/157), Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/233). 
  5. 106). Beliau adalah Muḥammad bin Jābir bin Yazīd bin Katsīr Abū Ja‘far ath-Thabarī, seorang Imām panutan, ahli Tafsīr, Sejarawan. Beliau wafat pada tahun 310 Hijriyyah. Lih. Al-Bidāyatu wan-Nihāyah (11/155). 
  6. 107). Lih. al-Mughnī (1/70), al-Muḥallā (1/133), dan al-Majmū‘ (2/607). 
  7. 108). Lih. Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/231), al-Mughnī (1/71), al-Muḥallā (1/132), dan Raḥmat-ul-Ummah (19). 
  8. 109). Imām as-Sarkhasī berkata dalam al-Mabsūth (1/59): “Adapun sisa air yang bekas diminum binatang sejenis kucing, dalam kitab al-Mabsūth dikatakan: “Apabila seseorang berwudhu’ dengan air lain maka ini lebih aku sukai.” Sedangkan dalam al-Jāmi‘-ush-Shaghīr dikatakan: “hukumnya makruh”. Abū Yūsuf berkata (ح): “Tidak apa-apa sisa air tersebut.” Lih. ), Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/233), dan Syarḥu Fatḥ-il-Qadīr (1/115). 
  9. 110). Ibnu Qudamah berkata (1/68): Ibn-ul-Mundzir berkata: “Sejauh yang aku ketahui tidak ada perselisihan pendapat dalam hal ini, kecuali menurut salah satu dari dua pendapat asy-Syāfi‘ī.” An-Nawawī berkata dalam al-Majmū‘ (1/181): “Ibn-ul-Mundzir berkata dalam kitab al-Ijma‘.” Lih. al-Mabsūth (1/59), dan Raḥmat-ul-Ummah (18). 
  10. 111). Imām al-Kasanī berkata dalam Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/290): “Adapun najis hakiki, bila ia tidak terlihat seperti air kencing dan sejenisnya, menurut zahir riwayat hukumnya tidak suci kecuali bila dicuci tiga kali….. Sedangkan bila ia terlihat seperti darah dan sejenisnya maka cara mensucikannya adalah dengan menghilangkan najis tersebut tanpa mempedulikan jumlah bilangannya (dalam mencucinya).” Lih. Syarḥu Fatḥ-il-Qadīr (1/210). Al-Qādhī ‘Abd-ul-Wahhāb berkata dalam at-Talqīn (58): “Bejana yang dijilati anjing harus dicuci dengan air tujuh kali dengan cara disiram, sedangkan benda cair lainnya yang dijilati anjing tidak perlu disiramkan airnya. Dan berkenaan dengan mencuci bejana yang terkena najis tersebut ada dua riwayat darinya. 
  11. 112). Dia adalah Abul-‘Abbās Aḥmad bin Aḥmad ath-Thabarī yang terkenal dengan panggilan “Ibn-ul-Qāsh.” Dia belajar fikih kepada Ibnu Suraij. Murid-muridnya adalah orang-orang Thabaristān. Di antara karya-karyanya adalah at-Talkhīsh, al-Miftāḥ, Ādāb-ul-Qadhā’. Dia wafat pada tahun 335 Hijriyyah. Lih. Thabaqāt-usy-Syāfi‘iyyah karya al-Isnawī (2/146). 
  12. 113). Lih. al-Umm (2/13), dan al-Majmū‘ (2/611). 
  13. 114). Dia adalah Abū Bakar Aḥmad bin Muḥammad bin Hārūn yang terkenal dengan panggilan al-Khallāl. Di antara karya-karyanya adalah al-Jāmi‘, al-‘Ilal, as-Sunnah. Para ulama madzhab mengakui kemuliaan dan keutamaannya. Dia wafat pada tahun 311 Hijriyyah. Lih. Thabaqāt-Ḥanābilah (1/11). 
  14. 115). Lih. al-Mughnī karya Ibnu Qudamah (1/75), dan al-Majmū‘ (2/611). 
  15. 116). Lih. al-‘Iddatu Syarḥ-ul-‘Umdah (1/12) dan at-Taḥqīq (1/142). 
  16. 117). Burung ada dua jenis. Burung yang tidak terbang di udara seperti ayam dan itik. Kotoran keduanya hukumnya najis. Akan tetapi ada riwayat dari Abū Yūsuf bahwa hukumnya tidak najis. Al-Ḥasan meriwayatkan darinya bahwa hukumnya najis. Kemudian burung yang terbang di udara. Burung kategori ini ada dua jenis; burung yang dagingnya boleh dimakan seperti burung merpati, pipit dan sejenisnya……, kotorannya hukumnya suci menurut kami. Sedangkan burung yang dagingnya tidak boleh dimakan seperti elang, rajawali dan sejenisnya….., kotorannya suci menurut Abū Ḥanīfah dan Abū Yūsuf, sementara menurut Muhammad hukumnya najis Mughallazhah (najis berat). Lih. Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/223), dan al-Mabsūth (1/171) 
  17. 118). Asy-Syāfi‘ī berkata dalam al-Umm (2/13): “Seluruh kotoran burung baik yang dagingnya dimakan maupun yang dagingnya tidak dimakan apabila bercampur dengan air menjadikan air tersebut najis, karena ia ikut menjadi basah ketika bercampur dengan air tersebut.” Lih. al-Majmū‘ (2/567). 
  18. 119). Lih. Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/223), Al-Bidāyat-ul-Mujtahid (1/154), dan Raḥmat-ul-Ummah (19). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *