Bab: Sisa Air dalam Bejana.
(Bagian 2 dari 2)
34. Mereka berbeda pendapat tentang air yang telah digunakan untuk menghilangkan hadats.
Abū Ḥanīfah berkata dalam satu dari riwayat-riwayat darinya: “Hukumnya sangat jelas yaitu najis.” Hanya saja dia berkata dalam riwayat ini: “Air yang telah digunakan untuk menghilangkan najis yang menciprati pakaian atau sapu tangan hukumnya suci. Yang dihukumi najis hanyalah yang jatuh ke tanah atau masuk ke dalam bejana.”
Ada pun riwayat kedua darinya mengatakan bahwa hukumnya najis ringan, seperti air kencing binatang yang dagingnya boleh dimakan. Najis ini tidak menghalangi kebolehan menunaikan shalat selama tidak mengenai seperempat pakaian.
Ada pula riwayat ketiga darinya yang mengatakan bahwa hukumnya suci tapi tidak mensucikan.
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Hukumnya suci.” Mālik menambahkan: “Dan mensucikan.” Diriwayatkan pula pendapat yang sama dari Aḥmad. (1201).
[…..] (1212).
35. Imām Mālik, Ḥanbalī dan asy-Syāfi‘ī madzhab sepakat bahwa laki-laki boleh berwudhu’ dengan sisa air wudhu’ istrinya meskipun air tersebut hanya dipakai oleh istrinya. Kecuali dalam salah satu dari dua riwayat dari Aḥmad, yang melarangnya. Dia berargumen dengan hadits yang tidak diriwayatkan dalam buku ini. Ada pula riwayat lain darinya bahwa dia berkata: “Aku menganggapnya makruh.” (1223).
36. Mereka sepakat bahwa orang yang terkena janabat, wanita haidh dan orang musyrik, apabila masing-masing dari mereka mencelupkan tangannya ke dalam bejana yang berisi sedikit air maka air tersebut suci. (1234).
37. Mereka berbeda pendapat tentang sumur yang keluar darinya bangkai tikus, sementara sumur tersebut telah digunakan oleh seseorang untuk berwudhu’.
Abū Ḥanīfah berkata: “Jika bangkai tersebut telah terpotong-potong maka orang tersebut harus mengulangi shalatnya selama 3 hari, sedangkan bila ia tidak terpotong-potong maka dia cukup mengulangi shalatnya sehari semalam.”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Apabila airnya sedikit maka dia harus mengulangi shalatnya, bila dia menduga kuat bahwa dia berwudhu’ dengan air sumur tersebut setelah kejatuhan tikus. Sedangkan bila arinya banyak dan tidak berubah maka dia tidak perlu mengulangi shalatnya. Bila ia berubah maka dia harus mengulang sejak waktu terjadinya perubahan tersebut.”
Menurut madzhab Mālik, apabila airnya hanya tertentu saja dan sifat-sifatnya tidak berubah maka hukumnya suci orang yang telah berwudhu’ dengannya tidak perlu mengulang shalatnya. Sedangkan bila airnya tidak tertentu, dalam hal ini ada dua riwayat. Yang pertama adalah bahwa harus memperhatikan perubahannya seperti pada air yang tertentu. Sedangkan yang kedua tidak perlu memperhatikan perubahannya.
Ibn-ul-Qāsim (1245) dari golongan pengikut Mālik berpendapat bahwa hukumnya najis secara mutlak. Sementara menurut ulama Mālikiyyah lainnya seperti ‘Abd-ul-Wahhāb (1256) dan lainnya, pendapat Ibn-ul-Qāsim hanya berdasarkan alasan untuk memperluas ibadah, dengan alasan bahwa shalat hanya diulang pada waktunya. Seandainya ia najis hakiki tentunya harus diulang pada waktu tersebut dan sesudahnya. (1267).
Catatan: