01-3 Akal dan Penemuan – Rahasia Allah Di Balik Hakikat Alam Semesta

Rahasia
اللهُ
Di Balik Hakikat Alam Semesta

Diterjemahkan dari: Nihāyat-ul-‘Alam
Karya DR. M. Mutawalli asy-Sya‘rawi

Penerjemah: Amir Hamzah Fachrudin
Penerbit: PUSTAKA HIDAYAH

1-3

Akal dan Penemuan

 

Gaya gravitasi telah berlaku semenjak Allah menciptakan alam ini dan tidak diketahui manusia kecuali akhir-akhir ini. Kendati demikian, gaya tersebut tetap melaksanakan fungsinya, demikian juga gelombang udara yang dapat mengantar suara dan lain sebagainya. Semuanya tetap menjalankan fungsinya untuk manusia tanpa sepengetahuan manusia itu sendiri.

Contoh yang lebih mudah diraba adalah ketika kita mengatakan kepada seorang yang ummi (buta huruf): “Jika anda ingin mendapatkan cahaya listrik untuk menerangi tempat anda, maka tekanlah tombol ini, dan jika anda ingin memilih acarah televisi, maka putarlah tombol ini.” Apakah ketidaktahuan orang tersebut telah menghalanginya untuk memperoleh cahaya listrik atau menghalanginya untuk memilih acara-acara televisi? Tentu tidak, sebab jika ia ingin menyalakan listrik ia tinggal menekan tombolnya, begitu pula jika ia ingin memilih acara televisi, tinggal memutar tombolnya.

Jadi ketidaktahuan seseorang tentang rahasia-rahasia listrik dan kaidah-kaidahnya, atau ketidaktahuannya tentang rahasia pemindahan acara-acara televisi dan ketidaktahuannya tentang proses-proses tersebut tidak menghalanginya untuk memanfaatkannya.

Demikian pula semua yang ada di alam ini, dan itu akan tetap demikian. Setiap kali kemampuan manusia untuk mengolah alam ini mengalami peningkatan dan setiap kali Allah membukakan kepada mereka rahasia-rahasia alam ini, maka setiap kali itu pula meningkatlah pemanfaatan alam ini. Semuanya untuk manusia tanpa membedakan antara yang menemukan lebih dahulu dan yang memanfaatkan kemudian.

Banyak hal yang dahulu membutuhkan usaha keras dan waktu yang tidak sebentar untuk dapat memanfaatkannya, namun sekarang sudah berubah, hanya dengan sedikit tenaga dan dalam waktu yang singkat, sangat efektif dan efisien. Dulu orang mengangkat beberapa sukatan biji-bijian di atas punggungnya atau pundaknya agar dapat memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini menjadi motivasi bagi manusia untuk menemukan roda. Tidak lama kemudian evolusi itu semakin cepat bergerak yang akhirnya manusia dapat menciptakan gerobak yang dapat ditarik dengan tangan. Selanjutnya kemajuan ilmu manusia melahirkan penemuan-penemuan baru dalam dunia teknologi yang lebih efektif dan efisien serta simpel.

Namun apakah kemajuan teknologi dan lahirnya berbagai penemuan baru dapat menciptakan bahan-bahan seperti yang terkandung di bumi ini? Tentu tidak. Hanya Allah s.w.t. yang menghadirkan itu semua sejak permulaan diciptakannya alam ini hingga hari kiamat nanti. Sebenarnya, setiap kali manusia mengalami kemajuan dalam peradabannya, mereka mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah yang dapat memberikan kemegahan bagi kehidupan mereka, firman Allah:

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا

Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. (QS. al-Baqarah: 29).

Kekuasaan Allah di tengah-tengah kelemahan makhluk-Nya setiap hari kita saksikan. Walaupun manusia telah mengalami kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan evolusi akalnya, dan Allah pun telah membukakan bagi mereka hal-hal yang dahulu tidak diketahuinya, namun mereka tidak dapat menciptakan sesuatu pun yang baru dari benda-benda bumi. Sayangnya, ada beberapa hal yang manusia merasa berjasa telah menghadirkannya. Seperti reboisasi dan pencangkokan pada tanaman dan penemuan-penemuan baru lainnya yang sangat bermanfaat bagi manusia; kemampuannya membuat pesawat terbang dan pesawat luar angkasa, atau mendarat di permukaan bulan. Sebenarnya semua itu bukan baru terjadi, dari dahulu pun sudah ada. Hanya saja baru diketemukan sekarang.

Untuk dapat membuat roket, maka manusia mempelajari lapisan-lapisan udara dan atmosfer serta kekuatan-kekuatan yang dibutuhkan oleh roket. Apakah norma-norma dalam lapisan udara dan kekuatan-kekuatan (kaidah-kaidahnya) baru ada sekarang-sekarang ini? Tentu tidak, semua itu telah ada sejak dahulu kala, sudah ada sejak diciptakan Allah dengan perintah-Nya “Kun” (Jadilah!).

Sebenarnya seseorang tidak pantas mengaku – sekalipun ilmunya sangat tinggi – bahwa dirinya telah menciptakan lapisan udara yang baru bagi bumi, atau bahwa dirinya telah mengubah norma yang ada di dalam atmosfer sehingga ia dapat menerbangkan roket menembus luas angkasa, atau mengaku bahwa dirinya telah membuka pintu atmosfer sekitar bumi sehingga memungkinkan bagi manusia untuk keluar dari bumi dan bertolak ke bulan.

Tidak ada seorang pun yang pantas mengakui hal-hal semacam itu, hanya Allah-lah yang menciptakan dan menghadirkan semua itu kemudian dibukakan kepada manusia dan diberitahukan tentang cara menggunakan dan memanfaatkannya. Jadi, sudah selayaknya setiap kali manusia mengalami peningkatan dalam kehidupannya, bertambah pula pengetahuannya tentang kekuasaan-kekuasaan Allah pada alam ciptaan-Nya ini, karena itu Allah s.w.t. berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah yang berilmu. (QS. Fāthir: 28).

Mengapa ulama (para ilmuwan) yang seharusnya merasa lebih takut kepada Allah? Karena mereka yang lebih mengetahui tentang kekuasaan-kekuasaan Allah pada ciptaan-Nya. Tanda-tanda itulah yang menunjukkan keagungan Yang Maha Pencipta dan ketelitian ciptaan-Nya. Sayangnya, bukannya mereka sujud tunduk kepada keagungan Allah, malah mengaku bahwa mereka telah menemukan rahasia-rahasia dalam ciptaan ini, dan seakan-akan merekalah yang telah menghadirkannya.

Firman Allah dalam Kitab Suci-Nya:

سَنُرِيْهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَ فِيْ أَنْفُسِهِمْ حَتّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’ān itu adalah benar. Dan apakah Tuhan-mu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS. Fushshilat: 53).

Bersamaan dengan bergesernya zaman, kita baca ayat yang mulia ini, maka akan tampaklah tanda-tanda kekuasaan Allah s.w.t. pada setiap makhluk dan ciptaan-Nya hingga akhir kehidupan alam ini.

Kita amati lebih saksama agar kita dapat melihat bagaimana manhāj Allah diciptakan dengan sangat teliti untuk menuntun manusia kepada keimanan dan bahwasanya semua yang ada di alam ini diciptakan untuk mengabdi kepada keimanan dan kepada manhāj Allah.

Sesungguhnya Allah s.w.t. telah memilih manhāj kehidupan untuk makhluk-Nya yang disertai dengan dalil keimanan. Terkadang kita mendengar seseorang mengatakan: “Saya tidak mempercayai sesuatu kecuali yang dapat saya saksikan.” Kita katakan kepada orang yang seperti itu: “Jangan cepat-cepat menyimpulkan, sebab “keberadaan” merupakan suatu hal dan “mengetahui keberadaan” merupakan hal yang lain lagi.”

Kita ambil contoh kuman-kuman yang dapat menghancurkan dan merusak manusia. Bukankah kuman-kuman itu telah ada, sejak diciptakannya manusia? Tentu ya, kuman-kuman itu telah ada, namun karena bentuknya yang kecil kita tidak dapat melihatnya. Lebih dari itu, kuman-kuman itu mempunyai banyak norma yang tidak kita ketahui. Kemudian setelah teknologi manusia mengalami kemajuan dan perkembangan yang dapat melahirkan mikroskop untuk membesarkan benda-benda kecil hingga beberapa ratus atau bahkan beberapa ribu kali, barulah manusia dapat mengetahui kuman-kuman tersebut. Ternyata kuman-kuman itu berupa makhluk yang sangat kecil dan mempunyai kebiasaan-kebiasaan tersendiri dan dapat berkembang-biak; kuman bisa merusak kulit manusia tanpa terasa atau masuk ke dalam pembuluh-pembuluh darah tanpa dapat dirasakan, kemudian kuman itu pun ada masa inkubasinya tersendiri di dalam darah sehingga bertambah banyak jumlahnya dengan berkembang-biak. Dan terjadilah perlawanan oleh sel-sel darah putih, dan seterusnya seperti yang kita ketahui sekarang ini.

Yang dipertanyakan: apakah kuman-kuman tersebut diciptakan ketika kita dapat melihatnya? Tentu saja tidak. Kuman-kuman tersebut telah ada sejak awal diciptakannya makhluk-makhluk, tetapi dulu kita belum mengetahui keberadaannya. Demikian juga hal-hal lain dalam alam ini. Atmosfer dan gelombang udara yang dapat mengantarkan suara dan gambar ke seluruh pelosok dunia hanya dalam beberapa detik, yang dengan itu kita yang sedang berada di rumah dapat menyaksikan manusia mendarat di bulan dalam waktu yang bersamaan dengan kejadiannya, atau dapat menyaksikan suatu peristiwa sementara kita duduk di dalam kamar yang jaraknya dengan tempat terjadinya peristiwa itu ribuan mil jauhnya.

Pertanyaannya: apakah manusia telah menambahkan suatu partikel pada lapisan udara sehingga dapat mengirimkan gambar dan suara ke seluruh pelosok dunia dalam beberapa detik? Jawabnya tentu saja tidak. Atmosfer sebagaimana diciptakan Allah s.w.t. adalah seperti itu dalam segala situasi dan kondisinya (norma-normanya), dan kita belum mengetahuinya kecuali pada akhir-akhir ini, sama halnya dengan udara yang baru kita ketahui sekarang-sekarang bahwa ia dapat menerbangkan pesawat yang bertubuh besar dan bobotnya yang berat.

Jadi semua partikel dan unsur-unsur yang terkandung di alam ini sudah ada sejak Allah menciptakannya, dan kita belum mengetahuinya kecuali setelah Allah mengizinkannya. Maka tampaklah bagi kita dan tahulah kita cara memanfaatkannya. Demikianlah segala sesuatu di alam ini menjadi perantara keimanan.

Jika ada seseorang yang bertanya: “Jika sesungguhnya Allah s.w.t. itu gaib, maka bagaimana kita mempercayai-Nya?” maka kita katakan bahwa sesungguhnya Allah telah memberikan banyak bukti pada alam ini yang dapat menjadikan kita meyakini keberadaan-Nya kendatipun kita tidak dapat melihat-Nya. Inti dari bukti-bukti tersebut adalah agar ilmu itu menjadi perantara kepada keimanan dan mendekatkan kita kepada Allah. Maka setiap kali Allah membukakan sesuatu yang belum kita ketahui, kita mengucapkan: “Maha Suci Allah Yang telah menciptakannya dan membentuknya.”

Sayangnya, tidak sedikit manusia yang tidak mau menggunakan ilmu untuk mendekatkan dirinya kepada keimanan. Malah sebaliknya berkeyakinan bahwa dirinya telah mencapai dan menemukan serta menciptakan hal-hal tersebut. Mereka menganggapnya bahwa itu semua datang dari dirinya dan bukan dari Penciptanya Yang Maha Agung. Akhirnya manusia menjadikan ilmu untuk menentang keimanan, padahal seharusnya ilmu menjadi pondasi yang mengukuhkan keimanan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *