Mursyid – Unsur-unsur Tarekat – Sabil-us-Salikin

Sabīl-us-Sālikīn – Jalan Para Sālik
Ensiklopedi Tharīqah/Tashawwuf

 
Tim Penyusun:
Santri Mbah KH. Munawir Kertosono Nganjuk
Santri KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan
 
Penerbit: Pondok Pesantren NGALAH

Rangkaian Pos: Unsur-unsur Thariqah - Sabil-us-Salikin

Unsur-unsur Tharīqah

Mursyid

 

Kata mursyid berasal dari bahasa ‘Arab dan merupakan isim fā‘il (Inggris: present participle) dari kata kerja arsyada-yursyidu yang berarti membimbing, menunjuki (jalan yang lurus). Dari kata itu terbentuk kata rasyad (hal memperoleh petunjuk/kebenaran) atau rusyd dan rasyada (hal mengikuti jalan yang benar/lurus). (Lisān-ul-‘Arab, juz 3, halaman: 175-176).

Dengan demikian, makna mursyid adalah “(orang) yang membimbing atau menunjuki jalan yang lurus” Dalam wacana tashawwuf/tharīqah mursyid sering digunakan dengan kata ‘Arab Syaikh; kedua-duanya dapat diterjemahkan dengan “guru”.

Dalam al-Qur’ān kata mursyid muncul dalam konteks hidāyah (petunjuk) yang dioposisikan dengan dhalālah (kesesatan), dan ditampilkan untuk menyifati seorang wali yang oleh Tuhan dijadikan sebagai khalīfah-Nya untuk memberikan petunjuk kepada manusia:

وَ تَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَت تَّزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِيْنِ وَ إِذَا غَرَبَت تَّقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَ هُمْ فِيْ فَجْوَةٍ مِّنْهُ ذلِكَ مِنْ آيَاتِ اللهِ مَنْ يَهْدِ اللهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَ مَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُّرْشِدًا.

Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allāh, maka ia benar-benar mendapatkan petunjuk, dan barang siapa yang disesatkan, maka orang itu tidak akan pernah engkau dapati memiliki wali mursyid (pemimpin yang mampu memberi petunjuk).” (QS. al-Kahfi [18]: 17)

Kata wali (Awliyā’) sendiri menunjukan kepada beberapa makna, antara lain an-nāshir (penolong), (Lisān-ul-‘Arab, juz 15, halaman: 406), al-mawlā fid-dīn (pemimpin spiritual), (Lisān-ul-‘Arab, juz 15, halaman: 408), ash-shādiq (teman karib) dan al-tābi‘-ul-muḥibb (pengikut yang mencintai), (Lisān-ul-‘Arab, juz 15, halaman: 411). Semua makna ini berserikat dan secara simultan menjelaskan makna wali dalam ayat di atas, yaitu “orang yang mencintai dan dicintai Allāh sehingga layak menjadi pemimipin spiritual yang harus diikuti”.

Pengertian wali semacam ini digambarkan dalam sebuah Hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imām al-Bukhārī dan beberapa imam Hadits lainnya dengan redaksi:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ – قَالَ: قَالَ اللهُ – عَزَّ وَ جَلَّ – : مَنْ آَذَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدِ اسْتَحَقَّ مُحَارَبَتِيْ، وَ مَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِمِثْلِ أَدَاءِ فَرَائِضِيْ، وَ إِنَّهُ لَيَتْقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ رِجْلَهُ الَّتِيْ بِهَا يَمْشِيْ، وَ يَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَ لِسَانَهُ الَّذِيْ يَنْطِقُ بِهِ، وَ قَلْبَهُ الَّذِيْ يَعْقِلُ بِهِ، إِنْ سَأَلَنِيْ أَعْطَيْتُهُ، وَ إِنْ دَعَانِيْ أَجَبْتُهُ. (مسند أبي يعلى، ج 12، ص: 520(

Barang siapa memusuhi seorang wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai berupa ibadah-ibadah yang Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku itu terus menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, sehingga Aku pasti dengannya ia mendengar, (Akulah) kakinya yang dengannya ia berjalan, (Akulah) lisannya yang dengannya ia mengucapkan, dan (Akulah) hatinya yang dengannya ia berangan-angan. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku mengabulkannya.” (Musnad Abī Ya‘lā, juz 12, halaman: 520).

Menurut berbagai riwayat yang shaḥīḥ, wali-wali Allāh adalah hamba-hamba Allāh yang memiliki karakteristik utama “tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allāh” sebagaimana halnya Nabi s.a.w. yang oleh ‘Ā’isyah dengan “selalu berdzikir kepada Allāh dalam setiap detik yang beliau miliki” (kāna yadzkurullāha fī kulli aḥyānihi, (Musnad Abī Ya‘lā, juz 8, halaman: 355). Imām ath-Thabranī dalam al-Mu‘jam-ul-Kabīr-nya meriwayatkan dari ‘Abdullāh Ibn Mas‘ūd bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِنَّ مِنَ النَّاسِ مَفَاتِيْحَ لِذِكْرِ اللهِ إِذَا رَؤَوْا ذَكَرَ اللهَ، (المعجم الكبير ، ج10، ص: 205)

Sesungguhnya di antara manusia ada kunci-kunci dzikrullāh; apabila mereka dilihat orang maka (yang melihat) itu langsung berdzikir kepada Allāh.” (al-Mu‘jam al-Kabīr, juz 10, halaman: 205).

Maksud “kunci-kunci dzikrullāh” dalam riwayat tersebut adalah wali-wali Allāh s.w.t. sesuai dengan Hadits dalam riwayat Ibn Abbās yang menceritakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. ditanya: “Wahai Rasūlullāh, siapakah wali-wali Allāh itu? Beliau menjawab:

قال رجل: يَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: مَنْ أَوْلِيَاءِ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْنَ إِذَا رَؤَوْا ذَكَرَ اللهَ. (مسند البزار ،ج 2، ص: 187)

Orang-orang yang apabila mereka dilihat orang maka orang (yang melihat) itu berdzikir kepada Allāh karena melihat mereka.” (Mushannaf Ibn Abī Syaibah, juz 7, halaman: 79, Musnad al-Bazzār, juz 2, halaman: 187).

Imām as-Suyūthī mengutip sebuah riwayat yang menceritakan bahwa kaum Ḥawariyyūn bertanya kepada Nabi ‘Īsā a.s., “Siapa wali-wali Allāh yang tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih?” Nabi ‘Īsā menjawab: “Orang-orang yang memandang ḥaqīqah dunia sementara manusia memandang permukaannya, dan orang-orang yang memandang dunia yang abadi (akhirat) sementara manusia memandang dunia yang fanā’.” (Tafsīr-ud-Durr-il-Mantsūr, juz 4, halaman: 370).

Dalam sebuah Hadits shaḥīḥ diriwayatkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: ( إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ عُبَّادًا لَيْسُوْا بِأَنْبِيَاءٍ يَغْبِطُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ وَ الشُّهَدَاءُ قِيْلَ: مَنْ هُمْ لَعَلَّنَا نُحِبُّهُمْ؟ قَالَ: هُمْ قَوْمٌ تَحَابُوْا بِنُوْرِ اللهِ مِنْ غَيْرِ أَرْحَامٍ وَ لَا انْتِسَابٍ وُجُوْهُهُمْ نُوْرٌ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُوْرٍ لَا يَخَافُوْنَ إِذَا خَافَ النَّاسُ وَ لَا يَحْزَنُوْنَ إِذَا حَزَنَ النَّاسُ ثُمَّ قَرَأَ: { أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَ لَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ). (صحيح ابن حبان ج 2، ص: 332)

Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allāh terdapat orang-orang yang bukan nabi dan bukan pula syuhadā’ tetapi pada hari kiamat para Nabi dan syuhadā’ menginginkan seperti mereka karena kedudukan mereka di sisi Allāh ‘azza wa jalla.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasūlullāh, siapa mereka dan apa amal-amal mereka? Boleh jadi kami akan mencintai mereka.” Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Mereka adalah kaum yang saling mencintai dengan nūr Allāh tidak atas dasar hubungan darah antara mereka dan tidak pula atas dasar harta yang saling mereka berikan. Demi Allāh, wajah mereka adalah nūr (Allāh) dan mereka berada di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari nūr; mereka tidak takut ketika orang lain takut”. Kemudian Rasūlullāh membacakan ayat:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَ لَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ ﴿٦٢﴾

Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allāh tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih.” (QS. Yūnus [10]: 62).

Hadits tersebut dikutip oleh Imām al-Jauzī dari jalur ‘Umar bin al-Khaththāb r.a. dalam Zād-ul-Masīr-nya, (Zād-ul-Masīr, juz 4, halaman: 43-44), dan dikutip juga oleh Imām Ibn Ḥibbān dalam Shaḥīḥ-nya (Shaḥīḥ Ibn Ḥibbān, juz 2, halaman: 332), dan oleh Imām al-Baihaqī dalam al-Firdaus bi Ma’tsūr-il-Khithāb (al-Firdaus bi Ma’tsūr-il-Khithāb, juz 1, halaman: 134), dari jalur Abū Hurairah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *