Bab: Haidh.
138. Keempat imam madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa salah satu hadats pada perempuan adalah haidh. (2611).
Para ahli bahasa (2622) berkata: “Haidh adalah keluarnya darah dari rahim perempuan pada waktu-waktu tertentu.”
139. Mereka sepakat bahwa kewajiban shalat gugur dari wanita haidh selama masa haidhnya dan dia tidak wajib mengqadha’ shalat. (2633).
140. Mereka sepakat bahwa kewajiban puasa tidak gugur dari wanita haidh selama masa haidhnya. Hanya saja dia haram berpuasa dalam masa haidhnya dan wajib meng-qadha’-nya (2644).
141. Mereka sepakat bahwa wanita haidh diharamkan Thawaf mengelilingi Ka‘bah. (2655).
142. Mereka sepakat bahwa wanita haidh juga diharamkan berdiam diri di dalam masjid. (2666).
143. Mereka sepakat bahwa seorang suami diharamkan menyetubuhi istrinya yang sedang haidh di kemaluannya sampai haidhnya selesai. (2677).
144. Mereka berbeda pendapat hukum menyetubuhi wanita haidh yang telah suci namun belum mandi.
Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila haidhnya habis dalam waktu maksimal seperti 10 hari maka suami boleh menyetubuhinya. Sedangkan bila haidhnya habis dalam waktu minimal maka suami tidak boleh menyetubuhinya sampai dia mandi atau sampai berlalu akhir waktu shalat sehingga dia wajib menunaikan shalat. Hal ini bila dia baru pertama kali menjalani haidh yang masa awalnya seperti biasanya dan masa akhirnya seperti biasanya (sebagaimana umumnya wanita yang haidh). Bila haidhnya berakhir tidak seperti biasanya maka suami tidak boleh menyetubuhinya meskipun dia telah mandi dan shalat sampai dia menyempurnakan masa haidhnya seperti biasanya sebagai sikap hati-hati.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Suami tidak boleh menyetubuhinya sampai istrinya mandi.” (2688).
145. Mereka berbeda pendapat tentang bagian tubuh wanita haidh yang boleh dinikmati.
Abū Ḥanīfah, Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Boleh menyentuh bagian tubuh di atas kain sarung dan haram menyentuh bagian antara pusar dan lutut.”
Aḥmad berkata: “Boleh menggaulinya asalkan tidak memasukkan penis ke dalam vagina.”
Pendapatnya ini disetujui oleh Muḥammad bin al-Ḥasan, Ashbāgh bin al-Faraj – salah satu murid senior Imām Mālik – dan sebagian ulama madzhab Syāfi‘ī dalam riwayat yang terkenal darinya.” (2699).
146. Mereka berbeda pendapat tentang wanita haidh yang haidhnya telah selesai tapi tidak menemukan air.
Abū Ḥanīfah dalam riwayat yang masyhur darinya berkata: “Tidak boleh menyetubuhinya sampai dia bertayammum lalu shalat.”
Mālik berkata: “Tidak boleh menyetubuhinya sampai dia mandi.”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Boleh menyetubuhinya bila dia telah bertayammum meskipun belum shalat.” (27010).
147. Mereka berbeda pendapat tentang usia minimal haidh bagi perempuan.
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Usia minimalnya adalah 9 tahun.” (27111).
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Wanita yang paling cepat haidh adalah wanita Tihamah. Mereka haidh saat berusia 9 tahun.” (27212).
Asy-Syāfi‘ī juga berkata dalam salah satu kitabnya: “Aku juga pernah melihat perempuan yang baru mengalami haidh saat berusia 21 tahun.” (27313).
148. Mereka berbeda pendapat tentang batas minimal haidh dan batas maksimalnya.
Abū Ḥanīfah berkata: “Batas minimalnya adalah 3 hari 3 malam, sedangkan batas maksimalnya adalah 10 hari.”
Mālik berkata: “Tidak ada batas minimalnya. Bila seorang wanita mengalami haidh hanya satu kali keluar darah maka ia merupakan haidh. Adapun batas maksimalnya adalah 15 hari.”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Batas minimalnya adalah sehari semalam.”
Diriwayatkan pula oleh keduanya: “Batas minimalnya adalah satu hari dan batas maksimalnya adalah 15 hari.” (27414).
149. Mereka berbeda pendapat tentang wanita yang baru pertama kali haidh yang masa haidhnya melebihi masa maksimal.
Abū Ḥanīfah berkata: “Dia harus duduk selama masa maksimal haidh.
Adapun dari Mālik ada tiga riwayat.
Pertama, dia duduk selama masa maksimal lalu menjalani masa Istiḥādhah. Ini adalah riwayat Ibn-ul-Qāsim dan lainnya.
Kedua, dia duduk seperti umumnya kaum wanita menjalani haidh. Ini adalah riwayat ‘Alī bin Ziyād. (27515).
Ketiga, dia menunggu suci selama 3 hari selama belum melebihi 15 hari. Ini adalah riwayat Ibnu Wahb dan lainnya.
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Apabila perempuan tersebut sudah Mumayyiz maka hukumnya kembali kepada perempuan Mumayyiz.”
Sedangkan bila dia belum Mumayyiz, dalam hal ini ada dua pendapat Imām asy-Syāfi‘ī.
Pertama, yang berlaku adalah batas minimal haidh.
Kedua, yang berlaku adalah umumnya wanita menjalani haidh.
Aḥmad, dalam hal ini memiliki empat riwayat:
Pertama, dia duduk selama masa minimal haidh. Pendapat ini dipilih oleh Abū Bakar.
Kedua, dia duduk selama 6 atau 7 hari, yaitu umumnya kaum wanita menjalani haidh. Pendapat ini dipilih oleh al-Khiraqī. (27616).
Ketiga, dia duduk selama masa maksimal haidh.
Keempat, dia duduk sebagaimana umumnya kaum wanita di daerahnya menjalani haidh. Ini berlaku bagi wanita yang baru pertama kali haidh. (27717).
Wanita Mumayyiz adalah yang bisa membedakan antara dua darah. Yaitu darah haidh dengan darah Istiḥādhah, baik dalam hal warna maupun bau (kadar haidh). Darah haidh berwarna hitam pekat dan bau, sementara darah Istiḥādhah berwarna merah encer dan tidak bau.
150. Mereka berbeda pendapat tentang wanita yang terkena Istiḥādhah (darah kotor).
Abū Ḥanīfah berkata: “Darah tersebut dikembalikan kepada kebiasaan haidhnya jika dia biasa menjalaninya dalam waktu tertentu. Sedangkan bila dia tidak memiliki kebiasaan haidh maka masalah Mumayyiz tidak dianggap berlaku dan dia harus duduk selama masa minimal haidh bila dia lupa kebiasaannya.”
Mālik berkata: “Kebiasaan tidak dijadikan acuan. Yang menjadi acuan adalah kemampuan untuk membedakan antara dua darah (Tamyīz). Bila si perempuan telah Mumayyiz maka dikembalikan kepadanya (untuk menjalaninya sesuai kebiasaannya). Sedangkan bila dia belum Mumayyiz maka dia belum haidh dan boleh shalat seterusnya pada bulan kedua dan ketiga. Pada bulan pertama, dalam hal ini ada dua riwayat dari Mālik.
Pertama, dia duduk selama masa maksimal haidh.
Kedua, dia duduk pada hari-harinya sebagaimana biasanya lalu menunggu suci setelah itu selama 3 hari lalu mandi dan shalat.
Menurut zhahir madzhab Syāfi‘ī, bila wanita tersebut telah Mumayyiz dan memiliki kebiasaan maka yang diutamakan adalah Mumayyiz. Sedangkan bila dia belum Mumayyiz maka dikembalikan kepada kebiasaan. Bila keduanya tidak ada maka dia dianggap baru menjalani haidh pertama kali dan masalah hukumnya telah dijelaskan sebelumnya.
Aḥmad berkata: “Apabila dia memiliki kebiasaan dan sudah Mumayyiz maka dikembalikan kepada kebiasaan, sedangkan bila dia tidak memiliki kebiasaan maka dikembalikan kepada Tamyīz.”
Bila keduanya tidak ada, dalam hal ini ada dua riwayat darinya.
Pertama, dia duduk selama masa minimal haidh.
Kedua, dia duduk selama masa umumnya kaum wanita menjalani haidh yaitu 6 atau 7 hari. (27818).
151. Mereka berbeda pendapat tentang wanita hamil, apakah dia juga mengalami haidh?
Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Dia tidak mengalami haidh.”
Mālik berkata: “Dia mengalami haidh.”
Adapun dari asy-Syāfi‘ī ada dua pendapat seperti dua madzhab di atas. (27919).
152. Mereka berbeda pendapat, apakah ada batas akhir berakhirnya haidh (menopause)?
Abū Ḥanīfah berkata dalam riwayat al-Ḥasan bin Ziyād darinya: “Batas akhirnya (menopause) adalah dari usia 55 tahun sampai 60 tahun.”
Muḥammad bin al-Ḥasan berkata tentang wanita Romawi: “Batas akhirnya adalah 55 tahun.” Sedangkan tentang wanita Indo dia berkata: “Batas akhirnya adalah 60 tahun.”
Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Tidak ada batasnya. Yang menjadi acuan adalah kebiasaan pada setiap negeri, karena setiap negeri itu berbeda-beda usia menopausenya. Terkadang di negeri yang iklimnya panas kaum wanitanya cepat mengalami menopause, sedangkan di negeri yang iklimnya dingin menopausenya lebih lama.”
Aḥmad berkata dalam salah satu riwayat: “Usia menopause adalah 50 tahun untuk wanita ‘Arab dan wanita non ‘Arab.”
Sedangkan dalam riwayat kedua dia berkata: “Usia menopause adalah 60 tahun.”
Dalam riwayat ketiga dia berkata: “Untuk wanita ‘Arab usia menopausenya 60 tahun, sedangkan untuk wanita Mesir dan ‘Ajam usia menopausenya 50 tahun.” (28020).
153. Mereka berbeda pendapat tentang hukum menyetubuhi wanita yang sedang mengalami Istiḥādhah (darah kotor).
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Hukumnya mubah (boleh).”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad dalam salah satu dari dua riwayat darinya berkata: “Hukumnya makruh tapi tidak haram.”
Aḥmad berkata dalam riwayat lain: “Hukumnya haram, kecuali bila suami khawatir akan berbuat zina.” Pendapat ini dipilih oleh al-Khiraqī. (28121).
Suci dari haidh yang kami maksud adalah bila wanita haidh melihat sobekan kain berwarna putih ketika haidhnya selesai. (28222).
Catatan: