01-10 Lafal Dzikir yang Paling Utama – Sabil-us-Salikin

Sabīl-us-Sālikīn – Jalan Para Sālik
Ensiklopedi Tharīqah/Tashawwuf

 
Tim Penyusun:
Santri Mbah KH. Munawir Kertosono Nganjuk
Santri KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan
 
Penerbit: Pondok Pesantren NGALAH

Rangkaian Pos: 001 Islam - Tashawwuf & Thariqah - Sabil-us-Salikin

Lafal Dzikir yang Paling Utama

Di dalam al-Qur’ān perintah berdzikir diungkapkan berkali-kali dan pada umumnya muncul dalam tiga redaksi, yaitu:

وَ اذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَ أَصِيْلًا، (ألإنسان :٢٥)

Sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang” (QS. al-Insān [76]: 25), atau

قَالَ رَبِّ اجْعَل لِّيَ آيَةً قَالَ آيَتُكَ أَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا رَمْزًا وَ اذْكُر رَّبَّكَ كَثِيْرًا وَ سَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَ الْإِبْكَارِ ، (آل عمران :٤١)

Berkata Zakariyyā: “Berilah aku suatu tanda (bahwa istriku telah mengandung)”. Allāh berfirman: “Tandanya bagimu, kamu tidak dapat berkata-kata dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari”. (QS. Āli ‘Imrān [3]: 41), atau

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا لَقِيْتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوْا وَ اذْكُرُوا اللهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلَحُوْنَ. (الأنفال: ٤٥)

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh). Maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allāh sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. al-Anfāl [8]: 45)

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوْا فِي الْأَرْضِ وَ ابْتَغُوْا مِن فَضْلِ اللهِ وَ اذْكُرُوا اللهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. (الجمعة:١٠)

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allāh dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. al-Jumu‘ah, 62:10).

Berdzikir dapat dilakukan dengan berbagai lafazh yang ma’tsūr dari beberapa Hadits Nabi s.a.w. seperti subḥānallāh, alḥamdulillāh, Allāhu akbar, lā ilāha illallāh, istighfār, shalawāt, al-asmā’-ul-ḥusnā, membaca ayat-ayat suci al-Qur’ān, dan lain sebagainya. Hanya saja, lafal dzikir yang paling utama dan paling agung adalah an-nafy wal-itsbāt (di-Indonesia-kan menjadi “nafi-isbat”), yaitu ungkapan lā ilāha illallāh (tidak ada Tuhan selain Allāh).

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ: أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ للهِ. قَالَ شُعَيْبُ الْأَرْنَؤُوْطِ: إسناده حسن

“Yang didasarkan pada hadits Nabi yang menyatakan: Bahwa dzikir yang paling utama adalah lā ilāha illallāh”, (Shaḥīḥ Ibn Ḥibbān, juz 3, halaman: 126, Sunan-ut-Tirmidzī, juz 5, halaman: 426 dan Sunan Ibn Mājah, juz 2, halaman: 1249).

(Catatan: Terjemahan Teks Bahasa ‘Arabnya: “Aku mendengar Nabi s.a.w. bersabda: “Dzikir yang paling utama adalah lā ilāha illallāh dan du‘a yang paling utama adalah al-ḥamdu lillāh.” Syu‘aib al-Arna’ūth berkata: Isnādnya Ḥasan – SH.).

Selanjutnya Nabi s.a.w. mengatakan:

قَالَ: (مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ). (صحيح البخاري، ج 1، ص: 59)

Allāh benar-benar mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan lā ilāha illallāh semata-mata mengharap ridha-Nya”. (Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, juz 1, halaman: 59, juz 5, halaman: 2063).

(Catatan: Terjemahan Teks Bahasa ‘Arabnya: “Tidak ada seorang pun yang besaksi bahwa lā ilāha illallāh dan (bahwa) Nabi Muḥammad s.a.w. adalah Rasūl Allah secara benar/jujur dari hatinya kecuali Allāh akan mengharamkan neraka baginya.” (Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, juz 1, halaman: 59) – SH.)

Di samping itu, keutamaan dzikir ini dapat dipahami dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imām Aḥmad dan Imām-imām Hadits lainnya:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ (لَقَدْ ظَنَنْتُ – يَا أَبَا هُرَيْرَةَ – أَنْ لَا تَسْأَلْنِيْ عَنْ هذَا الْحَدِيْثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيْثِ أَسْعَدَ النَّاسِ بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إله إِلَّا اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ). (صحيح البخاري ج 1، ص: 49)

Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku di hari kiamat kelak adalah orang yang berdzikir dengan lā ilāha illallāh secara murni dari qalbu atau jiwanya”. (Musnad Aḥmad, juz 2, halaman: 373, Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, juz 1, halaman: 49, juz 5, halaman: 2402, as-Sunan-ul-Kubrā, juz 3, halaman: 42).

Lafal dzikir nafi isbat (lā ilāha illallāh), dipilih dan dilazimkan oleh ahli tharīqah Naqsyābandiyyah sebagai lafal dzikir yang paling pokok.

Dalam Khulāshat-ut-Tashannif fit-Tashawwuf yang terhimpun dalam Majmū‘-ur-Rasā’il-il-Imām-i-Ghazālī, Imām al-Ghazālī menegaskan: “Penyucian jiwa yang paling efektif adalah dengan mengintensifkan dzikir tharīqah an-Naqsyābandiyyah, yaitu dzikir dengan ismu dzāt dan nafi isbat”, (Majmū‘-ur-Rasā’il-il-Imām-i-Ghazālī, halaman: 179).

Unsur-unsur pokok lainnya yang menjadi syarat dan rukun dalam tharīqah baik sebagai “teknik berdzikir efektif” maupun sebagai “cara pengamalan syarī‘ah” dan “jalan menuju ma‘rifah” adalah: mursyid (guru), wasīlah (alat), rābithah (proses), dan mujāhadah (sulūk/i‘tikāf) semuanya disajikan dalam buku ini.

Dzikir itu Wajib Bukan Sunnah

Pandangan umum yang dikenal orang selama ini mengenai hukum berdzikir adalah bahwa berdzikir itu sunnah. Pandangan ini tampaknya perlu digarisbawahi dan dikaji ulang. Dimaklumi bahwa sunnah berimplikasi “jika dikerjakan memperoleh pahala dan kalau ditinggalkan tidak apa-apa”, sedangkan wajib memiliki implikasi “apabila dikerjakan memproleh pahala dan kalau ditinggalkan ada sanksi, dosa atau siksa.”

Kalau berdzikir itu sunnah, maka konsekuensinya adalah bahwa orang yang tidak melakukan dzikir tidak dikenai sanksi apa pun, padahal Allāh berfirman:

وَ مَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَإِنَّ لَهُ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَ نَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى.

Barang siapa tidak mau berdzikir kepada-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thāhā [20]: 124).

لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ وَ مَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا.

Barang siapa berpaling (tidak mau) berdzikir kepada Tuhannya, niscaya Dia memasukkannya ke dalam siksa yang pedih.” (QS. al-Jinn [72]: 17).

Dengan menyimak ketiga (kedua ????? MS.) firman tersebut tidak diragukan lagi bahwa hukum berdzikir itu wajib, bukan sunnah.

Oleh karena itu pula, setelah turun firman Allāh:

إِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ اخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُوْلِي الْألْبَابِ. الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ قِيَامًا وَ قُعُوْدًا وَ عَلَى جُنُوْبِهِمْ وَ يَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّار.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (190). (yaitu) orang-orang yang mengingat Allāh sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka (191).” (Q.S. Āli ‘Imrān [3]: 190-191).

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: لَمَّا نَزَلَتْ هذِهِ الْآيَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَامَ يُصَلِّيْ فَأَتَاه بِلَالُ يُؤَذِّنُهُ بِالصَّلَاةِ فَرَآهُ يَبْكِيْ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتَبْكِيْ وَ قَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَ مَا تَأَخَّرَ! فَقَالَ: يَا بِلَالَ أَفَلَا أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا وَ لَقَدْ أَنْزَلَ اللهُ عَلَيَّ اللَيْلَةَ آيَةً { إِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ اخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُوْلِي الْأَلْبَابِ } ثم قال: وَيْلٌ لِمَنْ قَرَأَهَا وَ لَمْ يَتَفَكَّرْ فِيْهَا). (تفسير القرطبي ج 4، ص 300)

(Catatan: Terjemahan Teks Bahasa ‘Arabnya: “Dari ‘Ā’isyah r.a. ia berkata: “Ketika ayat ini turun kepada Nabi s.a.w. berdiri untuk shalat, Bilāl datang untuk mengumandangkan adzan, lalu dia (Bilāl) melihat beliau (Nabi s.a.w.) sedang menangis, lalu Bilāl menanyakan: “Wahai Rasūlulāh, mengapa engkau menangis, padahal Allāh telah mengampuni segala dosamu sebelum dan sesudah – SH.). Nabi s.a.w. melakukan shalat sambil terus-menerus menangis, dan ketika ditanya mengapa, beliau bersabda: “Telah turun kepadaku ayat inna fī khalq-is-samāwāti..(sesungguhnya dalam penciptaan langit …dst.); maka celakalah orang yang membacanya tetapi tidak merenungkan isinya.” (Shaḥīḥ Ibn Ḥibbān, juz 2, halaman: 386, Tafsīr-ul-Qurthubī, juz 4, halaman: 300, Tafsīr Ibn Katsīr, juz ?????, halaman: 441).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *