1-1-0 Sa‘id bin al-Musayyab (Bagian 1) – Kisah Para Tabi’in

KISAH PARA TĀBI‘ĪN
Judul Asli: ‘Ashr-ut-Tābi‘īn
Penulis Abdul-Mun‘im al-Hasyimi

Alih Bahasa: Faqih Fatwa
Penerbit: UMMUL QURA

Rangkaian Pos: 001 Sa‘id bin al-Musayyab - Kisah Para Tabi'in

Tujuh Ahli Fikih Madīnah

SA‘ĪD BIN AL-MUSAYYAB

(Pembesar Para Tābi‘īn)

 

Pendahuluan

Lelaki ini adalah salah satu dari para ulama ahli fikih yang tujuh di Madīnah, dia termasuk dalam jajaran Kubbār-ut-Tābi‘īn (tabi‘in senior), dia meriwayatkan dari para sahabat yang mulia. Sa‘īd bin al-Musayyab ini salah satu dari ketujuh ahli fikih yang hidup di Madīnah, mereka semua menyatukan antara kecermatan periwayatan dan kebenarannya.

Sa‘īd bin al-Musayyab diunggulkan dengan kecakapannya yang luar biasa dalam bidang takhrij hadits dan pemberian fatwa berdasarkan logika (ra’yu). Dia juga terkenal dengan keberaniannya dalam memberikan fatwa. Bahkan sebagian orang yang hidup sezaman dengannya mengatakan: “Aku pernah melihat seorang laki-laki pada zaman itu, dia datang untuk bertanya tentang suatu perkara, lalu orang-orang melemparkannya dari satu majelis ke majelis yang lainnya sehingga dia terlempar ke majelis Sa‘īd bin al-Musayyab karena ketidaksenangan mereka untuk memberikan fatwa, dan mereka memanggilnya dengan sebutan Sa‘īd bin al-Musayyab al-Jarī‘ (yang pemberani).” (11)

Sa‘īd bin al-Musayyab adalah salah satu ahli fikih ra’yu yang menjadi unggulan kota Madīnah pada zamannya. Murid-muridnya pun telah berhasil menyampaikan ilmu kepada para imam ahli ijtihad dalam Islam, seperti Imām Mālik bin Anas r.h.

Beliau muncul sebagai salah satu dari para ahli fikih yang tujuh pada masa Daulah Bani Umayyah ketika Madinah menjadi negeri yang aman bagi setiap ulama. Setiap orang yang tinggal di dalamnya maka amanlah dirinya, ilmunya, hartanya, dan juga harga dirinya. Oleh karenanya, ilmu dan fikih dapat berkembang. Sa‘īd bin al-Musayyab pun memiliki peran penting dalam menjaga validitas periwayatan, selamatnya penyampaian, dan kecermatan dalam pemberian fatwa. Dia adalah pemilik ra’yu yang senantiasa mendengarkan, meneliti, dan membolak-balikkan berbagai perkara pada semua sisinya. Dia tidak merasa takut dalam kebenaran akan kecaman orang-orang yang suka mencela, karena dia adalah seorang mufti (pemberi fatwa) yang pemberani. Keberaniannya itu bukanlah sekadar semangat dan gelora dari seorang ahli ilmu yang tertipu, akan tetapi ia adalah keberanian orang yang bersemangat dalam agamanya. Inilah gambaran umum dan bingkai yang sempurna yang akan kami sertai dengan rincian dari perjalanan hidup Sa‘īd bin al-Musayyab pada lembaran-lembaran berikutnya, in syā’ Allāh.

 

Kelahiran dan Nasabnya

Kakek Sa‘īd bin al-Musayyab datang kepada Nabi s.a.w., pada saat itu namanya adalah Ḥazn, lalu Nabi s.a.w. bertanya kepadanya: “Siapakah namamu?” Laki-laki itu menjawab: “Ḥazn (kesedihan)” Maka Nabi s.a.w. bersabda: “Akan tetapi engkau adalah Sahl (kemudahan).” Lalu laki-laki itu berkata: “Wahai Rasūlullāh, itu adalah nama yang diberikan oleh kedua orang tuaku dan aku telah dikenal di antara orang-orang dengan nama itu.” Maka Nabi s.a..w pun diam.

Lalu Sa‘īd bin al-Musayyab mengomentari hal tersebut dengan mengatakan: “Dan kami pun tetap mengenal al-Ḥazūnah di dalam keluarga (yakni: kesulitan dan kesukaran).

Demikianlah menurut riwayat ini yang diriwayatkan oleh Sa‘īd sendiri mengenai kakeknya, bahwasanya kakeknya Sa‘īd bin al-Musayyab hidup sezaman dengan Rasūlullāh s.a.w. Jadi, siapakah Sa‘īd bin al-Musayyab itu?

Dia adalah Sa‘īd bin al-Musayyab bin Ḥazn bin Abī Wahab bin ‘Amr, sampai nasabnya berakhir pada Bani Makhzūm yang merupakan bagian dari kaum Quraisy. Jadi, Sa‘īd adalah orang Quraisy Bani Makhzūm.

Sa‘īd dilahirkan pada masa kekhalifahan ‘Umar bin al-Khaththāb r.a. Dikatakan juga bahwa dia dilahirkan setelah empat tahun ‘Umar menjabat sebagai Khalīfah. Dalam riwayat lainnya disebutkan: Dia dilahirkan dua tahun sebelum wafatnya ‘Umar.

Sa‘īd bin al-Musayyab pun pernah berkata mengenai hal tersebut: “Aku dilahirkan dua tahun setelah ‘Umar menjabat sebagai Khalīfah, sedangkan masa kekhalifahannya adalah sepuluh tahun empat bulan.”

 

Ilmu dan Fikihnya

Telah disebutkan di dalam berbagai kitab Sīrah bahwa Sa‘īd bin al-Musayyab pernah meriwayatkan dari ‘Umar, akan tetapi kita mengira bahwa dia meriwayatkan dari seorang rawi yang meriwayatkan dari ‘Umar dan dia tidak mendengar langsung dari ‘Umar, karena menurut riwayat yang telah disebutkan sebelumnya ‘Umar telah meninggal dunia delapan tahun empat bulan setelah kelahiran Sa‘īd. Akan tetapi nanti kita akan melihat bahwa Sa‘īd bin al-Musayyab sendiri mengatakan: “Tidak tersisa seorang pun yang lebih mengetahui tentang seluruh hukum yang diputuskan oleh Rasūlullāh s.a.w., Abū Bakar maupun ‘Umar, daripada aku.” Bahkan dia pernah mengatakan: “Dan (tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui) seluruh hukum yang diputuskan oleh ‘Umar daripada aku.”

Sa‘īd bin al-Musayyab dianggap orang yang paling pandai di antara para ulama Madinah pada zamannya. Dia mengambil ilmunya itu dari para sahabat Rasūlullāh s.a.w. yang senior baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Mengenai hal tersebut, dia mengatakan: “Aku mengambil ilmuku ini dari Zaid bin Tsābit.”

Sa‘īd bin al-Musayyab juga mengambil ilmunya dari majelis-majelis para sahabat senior, dia pernah menghadiri majelis Sa‘ad bin Abī Waqqāsh, Ibnu ‘Abbās, dan ‘Abdullāh bin ‘Umar.

Dia juga mendatangi rumah istri-istri Nabi s.a.w. seperti ‘Ā’isyah Umm-ul-Mu’minīn, lalu mempelajari fikih serta ilmu darinya, sebab dia memandang pertanda baik dari sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Ambillah agama kalian dari Ḥumairā’ ini (maksudnya adalah ‘Ā’isyah).” Juga Ummu Salamah istri Nabi s.a.w.

Sa‘īd bin al-Musayyab juga meriwayatkan dari ‘Utsmān bin ‘Affān, ‘Alī, Shuhaib, dan Muḥammad bin Maslamah. Dikatakan pula dari Sa‘īd bin al-Musayyab bahwa dia adalah orang yang paling banyak meriwayatkan dari ‘Umar r.a.; karena dialah orang yang paling hafal tentang seluruh hukum dan keputusannya.

Dari sekian banyaknya para ulama ahli ra’yu dan ilmu, Sa‘īd bin al-Musayyab menjadi ahli fikih Madīnah yang pertama, dan dia termasuk yang paling terkenal di antara para ahli fikih yang tujuh di Madīnah; bahkan dia telah memberikan fatwa ketika para sahabat Rasūlullāh s.a.w. masih hidup. (22).

Salah seorang yang hidup sezaman dengannya berkata: “Pemimpin Madīnah pada masanya yang memberikan fatwa kepada mereka adalah Sa‘īd bin al-Musayyab.” (33).

Sa‘īd bin al-Musayyab r.h. adalah orang yang paling faqih di antara para ahli fikih, paling mengerti tentang atsar, dan paling faqih dalam pendapatnya. Sehingga, orang-orang pun berdatangan ke Madīnah lalu mereka bertanya tentang orang yang paling pandai di antara para ulama Madīnah dan paling faqih di antara para ahli fikihnya, maka orang-orang (penduduk Madīnah) pun menunjukkan mereka kepada Sa‘īd bin al-Musayyab untuk bertanya dan meminta fatwa kepadanya.

Sa‘īd bin al-Musayyab pun memiliki kedudukan yang mulia di sisi ‘Umar bin ‘Abd-il-‘Azīz karena ilmu dan ketaqwaan yang ia miliki, serta sehatnya pendapat, dan ijtihad seorang yang berilmu. Sampai-sampai ‘Umar bin ‘Abd-il-‘Azīz tidak akan memutuskan suatu hukum sebelum dia bertanya kepada Sa‘īd bin al-Musayyab. ‘Umar bin ‘Abd-il-‘Azīz juga berkata tentangnya: “Di Madīnah ini tidak ada seorang ulama pun kecuali dia akan datang kepadaku dengan membawa ilmunya, dan aku telah diberi apa yang dimiliki oleh Sa‘īd bin al-Musayyab.”

Pada suatu hari, ‘Umar bin ‘Abd-il-‘Azīz mengirimkan seorang utusan kepada Sa‘īd bin al-Musayyab untuk bertanya kepadanya mengenai suatu permasalahan fikih, maka Sa‘īd pun datang bersama utusan tersebut sehingga dia bertemu muka dengan ‘Umar bin ‘Abd-il-‘Azīz. Maka ‘Umar pun berkata seraya tersenyum: “Utusan itu telah salah, wahai Sa‘īd. Sesungguhnya kami mengutusnya untuk bertanya kepadamu di majelismu.”

Demikianlah ‘Umar bin ‘Abd-il-‘Azīz memuliakan orang yang berilmu ini, dan senantiasa menyanjung ilmu dan fikihnya.

Derajat keilmuan ini bisa dimiliki oleh Sa‘īd bin al-Musayyab karena ingatannya yang senantiasa terpelihara dan terjaga, dan yang tampak nyata di atasnya adalah kecerdasan yang jernih. Dia berkata kepada salah seorang sahabatnya: “Ayahmu pernah datang kepadaku pada masa kekhalifahan Mu‘āwiyah, lalu dia bertanya kepadaku tentang ini dan itu, maka aku pun berkata kepadanya begini dan begitu.” (44).

‘Umrān bin ‘Abdullāh al-Khuzā‘ī yang hidup sezaman dengannya pun pernah berkata tentangnya: “Demi Allah, aku tidak pernah melihatnya sama sekali ketika ada sesuatu yang melewati telinganya, kecuali hatinya pasti dapat menangkap dan memahaminya.”

Demikianlah kesaksian orang-orang yang hidup sezaman dengannya mengenai ingatan dan hafalannya, dan sungguh pada masanya itu ilmu hanya bergantung pada hafalan, tidak ada tulisan maupun buku yang dapat dibaca. Satu-satunya sumber ilmu hanyalah majelis-majelis ilmu dan melakukan perjalanan kepada para pemilik ilmu dan fikih, lalu memperoleh periwayatan dan ilmu mereka. Setelah itu tumbuhlah ra’yu, ijtihad, dan qiyas. Semuanya itu dikuatkan dengan ijma‘, kecermatan periwayatan, dan kejujuran seorang rawi.

Catatan:


  1. 1). A‘lām-ul-Mauqi‘īn, I/18. 
  2. 2). A‘lām-ul-Mauqi‘īn, I. 
  3. 3). Thabaqātu Ibni Sa‘ad: V/121. 
  4. 4). Thabaqātu Ibni Sa‘ad: V/122. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *