01-1 Bab Menghilangkan Najis – Fikih Empat Madzhab

Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah

Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Bab: Menghilangkan Najis (781)

9. Keempat imam madzhab berbeda pendapat tentang bolehnya menghilangkan najis dengan benda cair selain air.

Abū Ḥanīfah berkata: “Boleh menghilangkan najis dengan semua benda cair suci yang bisa menghilangkan najis.”

Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Tidak boleh menghilangkan najis kecuali dengan air.”

Ada pula riwayat lain dari Aḥmad yang sama dengan pendapat Abū Ḥanīfah (792).

10. Mereka sepakat bahwa najis tidak bisa dihilangkan secara mutlak kecuali dengan air. (803).

11. Mereka juga sepakat bahwa apabila Khamer berubah menjadi cuka tanpa ada campur tangan dari manusia maka ia menjadi suci. (814).

12. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang bolehnya manusia memproses Khamer menjadi cuka, apakah ia menjadi suci bila dijadikan cuka (secara tidak alami)?

Abū Ḥanīfah berkata: “Boleh memproses Khamer (miras) menjadi cuka dan ia menjadi suci.”

Asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Tidak boleh memprosesnya menjadi cuka dan ia tidak menjadi suci bila diproses menjadi cuka.”

Adapun riwayat dari Mālik adalah seperti dua madzhab di atas. (825).

13. Mereka juga berbeda pendapat tentang kulit bangkai, apakah ia menjadi suci bila disamak?

Abū Ḥanīfah dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Kulit bangkai tersebut menjadi suci bila telah disamak.”

Akan tetapi Abū Ḥanīfah mengecualikan kulit babi. Dia berkata: “(Kulit babi) tidak suci meskipun sudah disamak. Seluruh kulit bisa suci bila disamak, berdasarkan sabda Nabi s.a.w.: (أَيُّهُمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ) “Kulit apa pun yang disamak maka menjadi suci.” (836) Kecuali kulit manusia dan kulit babi. Adapun kulit manusia bila disamak, ia menjadi suci, tapi ia haram dicincang dan disamak dan dimanfaatkan, sebagai penghormatan terhadapnya, sebagaimana kita juga tidak boleh memanfaatkan seluruh bagian dari tubuh manusia. Sedangkan babi, ia adalah najis ‘ain.”

Imām asy-Syāfi‘ī mengecualikan kulit anjing dan kulit babi, serta kulit anak yang lahir dari keduanya atau dari salah satu dari keduanya. Dia berkata: “Kulit tersebut tidak suci (bila disamak).”

Menurut Abū Yūsuf, apabila kulit babi disamak hukumnya menjadi suci. (847). Demikianlah yang dijelaskan dalam al-Khulāshah. Akan tetapi ada kutipan dari Syarḥ-ul-Majma‘ karya Ibnu Qadasyah, dia berkata: “Tidak suci.”

Adapun dari Mālik, dalam hal ini ada dua riwayat:

Pertama, tidak suci secara mutlak.

Kedua, yang suci bagian luarnya buka bagian dalamnya. (858).

Diriwayatkan dari Imām Aḥmad juga dua riwayat:

Pertama, seperti riwayat pertama dari Mālik. Inilah yang terkenal darinya.

Kedua, kulit bangkai tersebut menjadi suci dengan disamak bila binatang tersebut suci sebelum mati. Adapun teks perkataannya adalah bahwa dia pernah ditanya dengan hal tersebut lalu dia menjawab: “Aku berharap demikian (suci).” (869).

14. Keempat imam madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa kulit binatang yang dagingnya tidak dimakan tidak suci. Kecuali Abū Ḥanīfah yang berkata: “Suci”. (8710)

15. Mereka juga sepakat bahwa bulu bangkai dan rambutnya suci, kecuali dalam salah satu dari dua riwayat dari Aḥmad yang menyatakan najis, sebagaimana yang diucapkan dalam perkataannya, dan juga dalam salah satu dari dua pendapat asy-Syāfi‘ī yang menyatakan bahwa ia najis. Inilah pendapat yang paling kuat dari keduanya. (8811).

16. Mereka sepakat bahwa bulu anjing dan bulu babi hukumnya najis baik ketika masih hidup maupun ketika sudah mati. Kecuali Abū Ḥanīfah, dia berkata: “Hukumnya suci.” Pendapatnya ini disepakati oleh Mālik. Dia mengatakan bahwa bulu anjing itu suci baik ketika masih hidup maupun ketika sudah mati. (8912).

17. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang kebolehan menggunakannya (9013) dalam merjan (manik-manik) dan sejenisnya. Dalam hal ini Abū Ḥanīfah dan Mālik memberi dispensasi (membolehkan) dengan kelembaban yang ada di bawahnya. Sedangkan Imām asy-Syāfi‘ī melarangnya, sementara imam Aḥmad menganggapnya makruh. Dia (Aḥmad) berkata: “Membuat merjan dengan sabut lebih aku sukai.” ((9114).

18. Mereka juga berbeda pendapat tentang tulang gajah dan bangkai. Menurut Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad, hukumnya najis. Sedangkan menurut Abū Ḥanīfah hukumnya suci. Diriwayatkan pula hal yang sama dari Mālik dalam riwayat Ibnu Wahb darinya. (9215).

Catatan:


  1. 78). Judul ini hilang dari manuskrip “C”, tapi ia ada dalam naskah yang dicetak. 
  2. 79). Muḥammad dan Zufar sepakat dengan jumhur ulama Ḥanafiyyah. Kedua nya berkata: “Thahārah tidak sah dengan selain air.” Abū Yūsuf berkata: “Ia hanya sah pada pakaian, bukan tubuh.” Lih. Al-Mughnī (1/38), Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/279), al-Majmū‘ (1/142), dan at-Taḥqīq (1/52). 
  3. 80). Lih. al-Majmū‘ (1/139), al-Mughnī (1/37), dan Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/279). 
  4. 81). Lih. al- Mughnī (1/89), at-Taḥqīq (1/167), dan Raḥmat-ul-Ummah (17), dan al-Majmu‘ (2/592). 
  5. 82). Justru dari Mālik ada tiga riwayat. Yang paling sah adalah bahwa pemprosesan khamer menjadi cuka hukumnya haram tapi airnya suci. Sedangkan riwayat kedua mengatakan bahwa hukumnya haram dan tidak suci. Sementara riwayat ketiga mengatakan bahwa hukumnya halal dan suci. Lih. al- Mughnī (1/89), dan al-Majmu‘ (2/596). 
  6. 83). HR. Muslim (366), dan Abū Dāūd (4123). 
  7. 84). An-Nawawī berkata: “Al-Māwardī meriwayatkannya dari Yūsuf.” 
  8. 85). An-Nawawī berkata: “Ini adalah madzhab Mālik sebagaimana yang diriwayatkan oleh teman-teman kami darinya.” 
  9. 86). Lih. al-Majmū‘ (1/270), al-Mughnī (1/84), at-Taḥqīq (1/116), dan Bidāyat-ul-Mujtahid (1/151). 
  10. 87). Lih. al-Majmū‘ (1/301), al-Mughnī (1/87), dan Raḥmat-ul-Ummah (18). 
  11. 88). Lih. al-Majmū‘ (1/291), al-Mughnī (1/95), at-Taḥqīq (1/133), Syarḥu Fatḥ-il-Qadīr (1/96), dan Raḥmat-ul-Ummah (18). 
  12. 89). Lih. At-Talqīn (64), al-Muḥalla (1/122), al-Majmū‘ (1/291), Raḥmat-ul-Ummah (18), al-Mughnī (1/95), dan Ḥāsyiyatu Ibni ‘Ābidīn (1/222). 
  13. 90). Yakni menggunakan bulu babi. 
  14. 91). Lih. al-Mughnī (1/97), al-Majmū‘ (1/291), Raḥmat-ul-Ummah (18), dan Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/227). 
  15. 92). Menurut madzhab Mālik, apabila gajah tersebut telah disembelih maka tulangnya suci, tapi bila tidak, maka hukumnya najis. Hal ini berdasarkan pada riwayat darinya bahwa gajah boleh dimakan. Lih. Al-Umm (2/30), al-Mughnī (1/89), al-Majmū‘ (1/298), dan Syarḥu Fatḥ-il-Qadīr (1/100). Ibn Wahb adalah ‘Abdullāh bin Wahb bin Muslim al-Fihr-il-Qaraysī Abū Muḥammad al-Bashrī al-Mīliki. Di antara karya-karyanya adalah Aḥwāl-ul-Qiyāmah, Tafsīr-ul-Qur’ān, al-Muwaththa’-ush-Shaghīru fil-Ḥadīts. Beliau lahir pada tahun 125 Hijriyyah dan wafat pada tahun 197 Hijriyyah. Lih. Hadiyyat-ul-‘Ārifīn (1/438), al-Fihrist (1/199). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *