KITĀB THAHĀRAH (571)
1. Keempat imam Madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa shalat tidak sah kecuali dengan Thahārah, bila ditemukan jalan untuk melakukan Thahārah. (582)
Hal ini berdasarkan firman Allah s.w.t.:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَ امْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَ إِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا وَ إِنْ كُنْتُمْ مَّرْضى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مَّنْكُمْ مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَ أَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَ لكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَ لِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Hai orang-orang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih), lalu sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapai dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. al-Mā’idah [5]: 6).
2. Mereka juga sepakat bahwa fardhu wudhu’ ada empat, yaitu:
(a). Membasuh muka;
(b). Membasuh dua tangan sampai siku;
(c). Mengusap kepala; dan
(d). Membasuh dua kaki sampai dua mata kaki. (593).
3. Mereka berbeda pendapat tentang yang lebih dari empat rukun di atas. Menurut Abū Ḥanīfah, hukumnya sunah atau mustahab, tidak fardhu (604). Sementara menurut asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad, niat dan tertib merupakan fardhu wudhu’. (615).
Malik berpendapat: “Niat dan berturut-turut (Muwālāt) adalah fardhu wudhu’, sedangkan tertib bukan fardhu.” (626).
Ini yang diriwayatkan oleh Muḥammad bin ‘Abd-il-‘Azīz al-Warrāq al-Lakhamī dalam kitab al-Jam‘u wal-Khilāf. (637).
[Dan] (648) para ahli bahasa berkata: (659) Thahūr artinya adalah yang menjadikan suci sesuatu yang lain, sebagaimana dikatakan Qatūl.
Tsa‘lab berkata: (6610): “Thahūr adalah sesuatu yang dirinya suci lagi mensucikan yang lain.”
Definisi ini tidak ada yang menyelisihinya selain beberapa pengikut Abū Ḥanīfah. Mereka berkata: “Thahūr adalah sesuatu yang suci secara berlebihan.” (6711).
4. Mereka juga sepakat bahwa Thahārah wajib menggunakan air bagi siapa saja yang wajib menunaikan shalat ketika ada air. Bila tidak ada air maka gantinya adalah tanah yang suci. Hal ini berdasarkan firman Allah s.w.t.:
النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَ أَيْدِيْكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا
“Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (suci) lalu basuhlah wajah dan tangan kamu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. an-Nisā’ [4]: 43).
Juga firman-Nya:
وَ يُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً لِّيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu.” (QS. al-Anfāl [8]: 11) (6812).
Para ahli bahasa berkata: (6913) “Thahārah adalah membersihkan diri dari kotoran dan najis.”
5. Mereka juga sepakat bahwa apabila air berubah dari asalnya (bentuknya) karena sesuatu yang suci yang mendominasi bagian-bagiannya yang secara umum air tersebut tidak butuh terhadapnya maka tidak boleh berwudhu’ dengannya (7014). Kecuali Abū Ḥanīfah yang membolekan berwudhu’ dengan air yang berubah karena bercampur dengan Za‘farān dan sejenisnya. (7115).
6. Mereka sepakat bahwa apabila air berubah karena terkena najis maka hukumnya najis, baik airnya sedikit maupun banyak. (7216).
7. Mereka berbeda pendapat tentang air yang kurang dari 2 Qullah (7317) yang bercampur dengan najis.
Ukuran 2 Qullah sama dengan 500 Rithl ‘Irāq. Menurut Abū Ḥanīfah, asy-Syāfi‘ī dab Aḥmad – dalam salah satu dari dua riwayatnya – , hukumnya najis. Sedangkan menurut Mālik dan Aḥmad – dalam riwayat lain – . hukumya tidak najis (tetap suci) selama airnya tidak berubah. (7418).
8. Mereka juga sepakat bahwa tidak boleh berwudhu’ dengan air rendaman buah (Nabīdz) secara mutlak. Kecuali Abū Ḥanīfah, karena ada beberapa riwayat yang berbeda darinya.
Diriwayatkan darinya bahwa hukumnya tidak dibolehkan, seperti halnya pendapat jamā‘ah. Pendapat inilah yang dipilih oleh Abū Yūsuf. (7519). Ada pula riwayat darinya bahwa boleh berwudhu’ dengan air perasan kurma yang dimasak dalam perjalanan ketika tidak ada air. Juga ada riwayat darinya bahwa boleh berwudhu’ dengan air tersebut, hanya saja harus ditambah dengan Tayammum. Pendapat ini dipilih oleh Muḥammad bin al-Ḥasan (7620) r.h. (7721).
Catatan:
- 57). Thahārah secara bahasa adalah bersih dan suci dari kotoran. Sedangkan secara terminologi adalah menghilangkan hadats atau najis atau yang semakna dengan keduanya sesuai bentuk keduanya, atau bersih dari hadats dan najis. Lit. al-Majmū‘ (1/123), Ḥāsyiyatu Ibni ‘Ābidīn (1/90), dan al-Mughnī (1/34). ↩
- 58). Lih. Ijma‘ (8) & al-Ausath karya Ibn-ul-Mundzir (1/107), al-Muḥalla (1/72), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/30), Raḥmat-ul-Ummah (15). ↩
- 59). Masalah ini dan masalah-masalah sesudahnya tempatnya begini dalam manuskrip “C” Keduanya tidak ada dalam naskah yang sudah dicetak. Lih. Bidāyat-ul-Mujtahid (1/37, 38, 39, 45), al-Mughnī (1/126, 137, 141, 150), al-Majmū‘ (1/405, 417, 428, 447), dan Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/75). ↩
- 60). Lih. Ḥāsyiyatu Ibni ‘Ābidīn (1/110), Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/15), dan Syarḥu Fatḥ-il-Qadīr (1/16). ↩
- 61). Lih. al-Majmū‘ (1//355) & (1/369), al-Mughnī (1/126, 156), dan at-Taḥqīq (1/197, 271). ↩
- 62). Lih. At-Talqīn (38), al-Istidzkār (1/143), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/32, 47), dan Raḥmat-ul-Ummah (22). ↩
- 63). Biografi Muḥammad bin ‘Abd-il-‘Azīz al-Lakhamī al-Warrāq tidak kutemukan setelah sekian lama mencari. ↩
- 64). Tambahan dari manuskrip “C”. ↩
- 65). Lih. Al-Qāmūs-ul-Muḥīth (403), Mukhtar-ush-Shiḥāḥ (222), dan al-Mishbāḥ-ul-Munīr (226). ↩
- 66). Beliau adalah Aḥmad bin Yaḥyā bin Zaid bin Sayyār Abul-‘Abbās asy-Syaibānī, mantan budak Bani Syaibān yang bergelar Tsa‘lab. Beliau adalah Imām ilmu Nahwu dan bahasa di Kūfah yang terkenal Tsiqah, taat beragama, saleh, jujur, dan bagus hapalannya. Di antara karya-karyanya adalah al-Fasḥīḥ, Ikhtilāf-un-Naḥwiyyīn, dan Ma‘ān-il-Qur’ān. Beliau wafat pada tahun 291 Hijriyyah. Lit. Al-Bidāyatu wan-Nihāyah (11/104). ↩
- 67). Lih. Syarḥu Fatḥ-il-Qadīr (1/74), at-Taḥqīq (1/3), dan al-Mughnī (1/35). ↩
- 68). Lih. al-Mughnī (1/39), al-Istidzkār (1/33), dan Raḥmat-ul-Ummah (15). ↩
- 69). Lih. Al-Qāmūs-ul-Muḥīth (403), Mukhtar-ush-Shiḥāḥ (222), dan al-Mishbāḥ-ul-Munīr (226). ↩
- 70). Ini adalah madzhab Mālik dan asy-Syāfi‘ī. Tidak ada riwayat dari keduanya yang bertentangan dengan pendapat ini. Adapun madzhab Aḥmad, Ibnu Qudamah berkata: “Ada beberapa riwayat yang berbeda dari Imām kami. Diriwayatkan dari beliau bahwa Thahārah tidak sah dengan air tersebut. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Isḥāq. Al-Qādhī Abū Ya‘lā berkata: “Pendapat inilah yang paling sah. Inilah yang dipilih oleh teman-teman kami saat terjadi perbedaan riwayat.” Ada pula riwayat dari beberapa pengikut Imām Aḥmad darinya seperti Abul-Ḥārits, al-Maimūnī dan Isḥāq bin Manshūr tentang kebolehan berwudhu’ dengan air tersebut. Lih. al-Mughnī (1/40), al-Majmū‘ (1/153), dan At-Talqīn. ↩
- 71). Ini apabila perubahan tersebut terjadi tanpa dimasak. Adapun bila perubahannya karena dimasak maka tidak boleh bersuci dengannya. Lih. Syarḥu Fatḥ-il-Qadīr (1/77), Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/65), Ḥāsyiyatu Ibni ‘Ābidīn (1/196), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/62), dan Raḥmat-ul-Ummah (15). ↩
- 72). Lih. Ijma‘ (11) & al-Ausath karya Ibn-ul-Mundzir (1/260), al-Mughnī (1/53), al-Majmū‘ (1/160), Syarḥu Fatḥ-il-Qadīr (1/79), Bidāyat-ul-Mujtahid 1/57). ↩
- 73). Qullah adalah sebangsa guci. Yang dimaksud di sini adalah Qullah Ḥajar yang volumenya 5 Qirbah. Satu Qirbah sama dengann 100 Rithl ‘Irāq. Al-Qādhī Ḥusain berkata: “Ukuran dua Qullah di daerah yang tanahnya datar adalah 1.25 Dzirā‘ X 1,25 Dzirā‘ (p X l) dengan kedalaman 1,25 Dzirā‘.” Lih. al-Mughnī (1/52), al-Majmū‘ (1/175). ↩
- 74). Menurut madzhab asy-Syāfi‘ī dan riwayat yang terkenal dari Aḥmad adalah bahwa air yang kurang dari dua Qullah menjadi najis bila terkena najis, baik air tersebut berubah atau tidak berubah. Menurut Mālik dan riwayat kedua dari Aḥmad, yang jadi acuan berubah adalah sedikit atau banyaknya air. Sedangkan menurut madzhab Abū Ḥanīfah, apabila air terkena najis maka tidak boleh berwudhu’ dengannya baik airnya sedikit maupun banyak, kecuali bila air tersebut mencapai kadar yang menurut dugaan besar najis tidak sampai kepadanya. Batasan tersebut adalah bila salah satu dari kedua tepinya digerakkan tepi yang lainnya tidak bergerak, atau bila ia mencapai 10 Dzirā‘ X 10 Dzirā‘. Adapun bila ia kurang dari itu maka hukumnya najis meskipun mencapai 1000 Qullah. Lih. al-Mughnī (1/53) dst., al-Majmū‘ (1/162), Syarḥu Fatḥ-il-Qadīr (1/79), At-Talqīn, (55), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/58), dan Raḥmat-ul-Ummah (16). ↩
- 75). Beliau adalah Qādhī Abū Yūsuf Ya‘qūb bin Ibrāhīm bin Ḥabīb bin Sa‘ad, murid Abū Ḥanīfah yang paling senior. Dia-lah yang pertama kali diberi gelar “Qādhiy-al-Qudhāt (Hakim Agung)” dan orang yang pertama kali diangkat menjadi Qādhī (hakim). Beliau juga diberi gelar “Qādhiy-al-Qudhāt-id-Dunyā.” Di antara karya-karyanya adalah al-Kharaj. Beliau wafat pada tahun 182 Hijriyyah. Lih. Al-Bidāyatu wan-Nihāyah (10/194). ↩
- 76). Beliau adalah Abū ‘Abdillāh Muḥammad bin al-Ḥasan bin Zufār asy-Syaibānī, murid Abū Ḥanīfah. Imām asy-Syāfi‘ī menulis hadits darinya saat beliau berada di Baghdād. Ar-Rasyīd mengangkatnya menjadi hakim Raqqah lalu memberhentikannya. Imām asy-Syāfi‘ī memujinya dengan mengatakan: “Aku belum pernah melihat ulama besar yang seperti beliau dan juga belum pernah melihat ulama yang ruhnya lebih ringan darinya. Aku juga belum pernah melihat ulama yang lebih fasih dan lebih berakal darinya.” Beliau wafat pada tahun 189 Hijriyyah. Lih. Al-Bidāyatu wan-Nihāyah (10/218). ↩
- 77). Lih. Badā’i‘-ush-Shanā’i‘ (1/66), al-Majmū‘ (1/139), dan al-Mughnī (1/38). ↩