009 Kabut – Insan Kamil – Syaikh Abd. Karim al-Jaili

INSAN KAMIL
Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman

Karya: Syaikh Abd. Karim Ibnu Ibrahim al-Jaili

Penerjemah: Misbah El Majid. Lc.
Diterbitkan oleh: Pustaka Hikmah Perdana.

Bab 9

KABUT (al-‘Amā’)

 

Ketahuilah, kabut ‘ibārat inti segala hakekat yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat ketuhanan dan kemakhlukan, ia merupakan inti (dzāt) murni, karena tidak terkait dengan kedudukan-kedudukan (Marātib) ketuhanan dan kemakhlukan, ia juga tidak terkait dengan pelik nama dan sifat. Itulah sejatinya apa yang diisyaratkan Rasūlullāh s.a.w. dalam sabdanya: Sesungguhnya kabut itu di atasnya tidak ada udara, di bawahnya juga tidak berudara, yakni bukan al-Ḥaqq juga bukan makhluk (ciptaan). Dengan demikian kabut sepadan dengan Aḥadiyyah (ke-Esa-an). Seperti halnya Aḥadiyyah yang tidak terkait dengan pelik nama-nama dan sifat-sifat serta tidak ada sesuatupun yang tampak padanya, demikian pula dengan kabut, tidak ada satu pun yang berbasiskan penampakan darinya. Perbedaan antara Aḥadiyyah dengan Kabut, bahwa Aḥadiyyah terkait dengan hukum dzāt dalam dzāt, dengan kehendak ketinggian, ia merupakan basis penampakan ke-Esa-an inti (dzāt)-Nya. Sedangkan kabut terkait dengan hukum dzāt dengan kehendak mutlak, tidak ada satupun dari mereka-mereka yang berada di alam ketinggian dan kerendahan memahaminya, ia merupakan inti bāthin dzāt-Nya, ia sepadan dengan Aḥadiyyah yang merupakan kemurnian ketuhanan yang berdimensikan inti (dzāt)-Nya. Aḥadiyyah merupakan kemurnian inti (dzāt)-Nya dengan hukum tajallī (penampakan) sedang Kabut merupakan kemurnian inti (dzāt)-Nya dengan hukum Istitār (ketertutupan).

Adalah Allah, Tuhan Yang Maha Berkuasa untuk menutup diri-Nya dari tajallī, atau membuka diri-Nya dari ketertutupan. Dia berkuasa atas segala kehendak inti (dzāt)-Nya, baik yang berupa kehendak bermanifestasi maupun tidak bermanifestasi, kehendak lahir maupun bāthin, berikut kehendak lainnya semisal: keadaan, peruntutan, i‘tibār, penambahan, nama-nama dan sifat-sifat, semuanya tidak pernah beralih dan berubah. Dia tidak memakai sesuatu lalu menanggalkan sesuatu, atau melepas sesuatu lalu mengambil sesuatu. Hukum dzāt al-Ḥaqq adalah seperti sedia kala, tidak ada bongkar pasang, tidak pula ada pergantian, ia tetap seperti sedia kala, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Q.S. ar-Rūm 30:30) yakni sifat al-Ḥaqq yang ada pada ciptaan tersebut. Perubahan dan pergantian hanya terjadi pada etos pencitraan, tambahan dan i‘tibār, contohnya seperti hukum manifestasi-Nya pada diri-Nya dan yang tampak kepada kita. Al-Ḥaqq dengan diri-Nya adalah sama dengan Dia dengan segala tajallī-Nya yang tampak pada kita. Hukum manifestasi-Nya berlandaskan hukum ke-Esa-an-Nya. Dia merupakan kesatuan dari yang banyak, semua yang banyak itu sejatinya adalah satu, tidak berbilang. Dia memanifestasi diri-Nya dalam azaliyyah (zaman azali) sebagaimana Dia tertampakkan dalam abadiyyah (kekekalan abadi).

Tajallī Tunggal ini merupakan sentra tajallī yang tidak membiaskan manifestasi kepada selain Diri-Nya, para makhluk-Nya tidak memiliki nasib (bagian) sedikitpun dari tajallī tersebut. Tajallī ini tidak menerima i‘tibār, pembagian, penambahan, sifat-sifat dan segala sesuatu yang lain, jika dalam tajallī itu terdapat nisbat para makhluk-Nya, maka tajallī itu membutuhkan i‘tibār, sifat dan penisbatan pun sesuatu yang lain, kesemua itu sama sekali tidak terkait dengan hukum tajallī ini. Dalam hukum tajallī ini, Dia bertajallī dengan inti (dzāt)-Nya, sejak zaman azali hingga zaman abadi, tajallī ini juga selaras dengan tajalliyāt ketuhanan yang lain, baik yang berdimensi inti (dzāt)-Nya, Af‘āl (perbuatan-perbuatan)-Nya, asma’ (nama-nama)-Nya, sifat-sifatNya. Hakekat semua manifestasi tersebut tertampakkan pada para hamba-Nya. Kongklosinya tajallī tunggal yang berdimensikan inti (dzāt)-Nya berikut ragam manifestasi-Nya, tidak menutup kemungkinan melahirkan Tajalliyāt dengan yang lain, namun demikian hukum manifestasi dengan yang lain tersebut, tetap di bawah hukum manifestasi tunggal. Semantis logikanya seperti hukum bintang-bintang (planet-planet) matahari, kadang ada, kadang hilang, sejalan dengan hukum peredaran cahaya sinar matahari, cahaya bintang-bintang itu sendiri sejatinya adalah cahaya matahari, karena asal cahaya pada bintang-bintang tersebut berasal dari cahaya matahari. Demikian pula dengan wajah manifestasi ketuhanan lainnya, ia merupakan percikan tajallī tunggal ini, atau buliran setitik air dari samudera manifestasi tunggal ini, semua penampakan itu akan lenyap dengan hadirnya dominasi tajallī inti (dzāt)-Nya, yang Dia berhak atasnya bersasarkan ilmu Diri-Nya, sedang tajallī lahirnya juga berhak atas dirinya, namun berdasarkan ilmu yang lain. Pahami dengan seksama masalah ini. Dengan demikian jelas sekali, bahwa sejatinya kabut itu adalah ‘ibārat inti (dzāt)-Nya dengan i‘tibār mutlak, dalam bāthin (keghaiban) dan ketertutupan. Aḥadiyyah juga sepadan dengan kabut ini, dengan i‘tibār penampakan ketinggian dengan keharusan lengsernya i‘tibār di dalamnya. Adapun yang kami maksudkan dengan i‘tibār penampakan dan i‘tibār ketertutupan, semata-mata karena keterkaitan makna, guna memudahkan pemahaman bagi para penyimaknya, karena Dia berdasarkan hukum kabut merupakan i‘tibār (Bāthin), Dia berdasar hukum Aḥadiyyah merupakan i‘tibār (Zhāhir).

Ketahuilah, bahwasanya dalam dirimu terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya, pahamilah bahwasanya al-Ḥaqq telah membuat perumpamaan untuk dirimu, al-Ḥaqq memiliki Matsal-al-A‘lā (contoh ketinggihan) yang terwajahkan dalam kabut, dan kabut itu juga ada pada dirimu. Jika kamu tidak mampu menghadirkan dirimu secara mutlak, yakni universalitas ke-kamu-an dirimu, lebih-lebih jika kamu tidak mampu memahami kesejatian eksistensi dirimu, niscaya kabut itu akan menyelimuti dirimu. Dengan semantis logika seperti ini, sejatinya dirimu adalah ‘ibārat inti (dzāt) kabut, tidakkah kau tafakkuri dengan i‘tibār bahwa al-Ḥaqq adalah inti (dzāt) dirimu, dan hakekat ke-dia-an dirimu? Namun kau sering melalaikan bahkan menafikan hakekat yang merupakan inti kesejatian dirimu! Dia adalah inti (dzāt) kabut, dan kau inti (dzāt)-Nya, dengan i‘tibār seperti ini kau adalah inti (dzāt) kabut tersebut, kau dari sisi hakekatmu tidak akan terhijabkan dari-Nya, karena hukum penampakkan al-Ḥaqq tidak akan terhijabkan dari diri-Nya. Maka penampakanmu dalam bingkai hakekat dirimu dengan hukum penampakan al-Ḥaqq, adalah ibarat penampakan kabut dalam hukum penampakan-Nya, itu pula yang merupakan kesejatian Istitār (ketertutupan) hakekat dirimu dalam hukum makhluk (ciptaan). Karenanya jika nafsumu yang tertampakkan pada dirimu, Dia akan tertutup darimu, sebaliknya jika Dia dominan dalam dirimu nafsumu sirna, inilah contoh yang jama‘ kami wartakan kepada segenap insan, namun sedikit sekali dari mereka yang mau memperhatikan, dan jarang sekali orang yang mau mengoptimalkan akal pikirnya kecuali manusia-manusia yang berpengetahuan. Atas dasar ini pula tatkala Rasūl Muḥammad s.a.w. ditanya anak zamannya, Di manakah al-Ḥaqq berada, sebelum Dia menciptakan makhluk? Rasūl s.a.w. menjawab dengan tegas, Dia berada dalam kabut. Sebab manifestasi diri-Nya, harus sejalan dengan nama-Nya dan harus tidak ada Istitār (ketertutupan) sebelumnya, yang dimaksud dengan “sebelumnya” di sini adalah yang berlandaskan hukum (penciptaan), bukan “sebelumnya” yang bermaknakan waktu!

Al-Ḥaqq jalla jalāluh, antara diri-Nya dan makhluk-Nya terlepas (tersucikan) dari jarak dan ruang waktu, keterpisahan, dan ketersambungan, keharusan dan sebab-sebab lain yang lahir dari dimensi ruang dan waktu, al-Ḥaqq tersucikan dari semua itu. Ketahuilah keterpisahan, ketersambungan, keharusan adalah merupakan pelik kemakhlukan yang terkait dengan makhluk-Nya. Cobalah bersemantis logika bagaimana mungkin antara al-Ḥaqq dengan makhluk-Nya ada makhluk lain? Jika hal itu terjadi maka akan melahirkan Tasalsul (berturut-turut) dan ad-Daur (rotasi) keduanya adalah mustahil bagi al-Ḥaqq, dengan demikian Qabliyyah (sebelumnya) dan Ba‘diyyah (sesudahnya), awal dan akhir berdimensi hukum penta‘biran wacana serta penambahan, bukan ta‘bir zaman dan tempat. Para pegiat hakekat menandaskan: Adalah sebuah kemestian bagi al-Ḥaqq sebelum Dia menciptakan makhluk, berada dalam kabut, bahkan paska penciptaan makhluk Dia juga berada di dalamnya. Dengan semantis logika seperti ini dapat dipahami bahwasanya maksud daripada kabut sejatinya adalah hukum as-Sābiq (terdahulu) yang berdimensikan inti (dzāt)-Nya, dengan ketiadaan i‘tibār- i‘tibār. Penciptaan makhluk menghendaki penampakkan, dan tajallī merupakan hukum yang berkaitan dengan inti (dzāt) beserta wujud i‘tibār. Dengan begitu hukum as-Sābiq (terdahulu) adalah sama dengan hukum Qabliyyah (sebelumnya), hukum keterkaitan juga melahirkan hukum keterjauhan. Kabut bukan hanya melahirkan hukum sebelum atau sesudah, ia bahkan melahirkan hukum yang awal dan yang akhir. Hal yang mentakjubkan dalam masalah ini, bahwa manifestasi-Nya adalah juga inti bāthin-Nya yang sama sekali tidak terkait dengan wajah i‘tibār maupun intisāb (peruntutan), bahkan inti ini dan inti itu, awal-Nya adalah akhiran-Nya, sebelum-Nya adalah sesudah-Nya. Realita hakiki tersebut jelas menggoncangkan pikiran dan merupakan batu sandungan yang menghadang langkah para peniti jalan al-Ḥaqq untuk menggapai maqām ketersambungan (wushūl). Karena tataran logika manusia – siapapun orangnya – , tidak akan mampu menakarnya, mereka yang menuhankan akal jelas akan berkata, hal tersebut tidak logis! Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.S. al-Aḥzāb 33: 4)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *