لَمْ يَزَلْ بِأَسْمَائِهِ وَ صِفَاتِ ذَاتِهِ، .مَا دَلَّ عَلَيْهَا فِعْلُهُ مِنْ قُدْرَةٍ وَ عِلْمٍ وَ حَيَاةٍ وَ إِرَادَةٍ أَوِ التَّنْزِيْهُ عَنِ النَّقْصِ مِنْ سَمْعٍ وَ بَصَرٍ وَ كَلَامٍ وَ بَقَاءٍ.
Allah senantiasa menyandung asmā’-asmā’ dan sifat-sifat dzāt-Nya. Sifat-sifat dzāt Allah adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh perbuatan-Nya, yakni berupa sifat qudrah (Maha Kuasa), sifat ‘ilmu (Maha Mengetahui), sifat ḥayāt (Maha Hidup), sifat irādah (Maha Berkehendak); atau sifat dzāt-Nya adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh tanzīh (keterbebasan) dari sifat kekurangan, yakni berupa sifat sam‘ (Maha Mendengar), sifat bashar (Maha Melihat), sifat kalām (Maha Berfirman), sifat baqā’ (Maha Kekal).
ASMĀ’ DAN SHIFĀT ALLAH S.W.T.
Asmā’-asmā’ Allah yang menunjukkan atas dzāt dengan memandang sifatnya, seperti al-‘Alīm (Yang Maha Mengetahui) dan al-Khāliq (Yang Maha Menciptakan), itu azaliy. Yakni bahwa sifat-sifat Allah yang dzātiyyah itu azaliy, atau dahulu. Sifat-sifat itu terbagi dalam dua kategori.
1). Sifat-sifat yang ditunjukkan oleh perbuatan Allah (411), yakni berupa sifat irādah, sifat ‘ilmu, sifat ḥayāt dan sifat qudrah.
2). Sifat-sifat yang ditunjukkan oleh tanzīh (keterbebasan) Allah dari sifat kekurangan, yakni berupa sifat sam‘ (Maha Mendengar), sifat bashar (Maha Melihat), sifat kalām (Maha Berfirman), sifat baqā’ (Maka Kekal).
Berikut penjelasan singkat sifat-sifat Allah di atas:
‘Ilmu adalah sifat yang dengannya sesuatu akan tersingkap tatkala berkaitan dengan sifat tersebut.
Ḥayāt adalah sifat yang berkonsekuensi adanya sifat ‘ilmu bagi maushūf (yang disifati)nya.
Qudrah adalah sifat yang mempengaruhi dalam sesuatu tatkala berkaitan dengan sifat tersebut.
Sam‘ dan bashar adalah dua sifat yang dengan keduanya ketersingkapan sesuatu bertambah atas ketersingkapan dari sifat ‘ilmu.
Kalām adalah sifat yang berada pada dzāt Allah, yang diungkapkan dengan runtutan susunan yang disebut kalāmullāh, atau juga bisa disebut al-Qur’ān.
Baqā’ adalah keberlanjutan wujud.
Adapun sifat-sifat af‘āl seperti al-khalq (menciptakan), ar-rizq (menganugerahi rizqi), al-iḥyā’ (menghidupkan), dan al-imātah (mematikan), maka tidak termasuk sifat-sifat yang azaliyyah (dahulu) menurut kita, akan tetapi termasuk sifat-sifat yang ḥāditsah (baru), yakni yang terbarukan (mujaddidah). Karena sifat-sifat tersebut dihadapkan pada sifat qudrah, yakni keterkaitan qudrah dengan wujud dari maqdūrah (obyek terkuasai) pada waktu-waktu wujudnya. Dan tidak ada hal tercegah dengan menyifati Allah dengan idhāfah (penyandaran), seperti “keberadaan Allah sebelum alam”, atau “keberadaan Allah berbarengan dengan alam” “keberadaan Allah setelah alam”.
Dan telah lewat pembahasannya, bahwa asmā’-asmā’ Allah adalah azaliyyah secara mutlak, meski dikembalikan pada sifat af‘āl. Yakni dari sisi dikembalikannya pada qudrah, bukan pada perbuatan. Al-Khāliq (Yang Maha Menciptakan) misalnya, jika yang dikehendaki adalah “yang memiliki kelayakan menciptakan”, yakni “yang berkuasa untuk menciptakan” maka asmā’ Allah dengan makna ini adalah qadim, tanpa ada perbedaan pendapat di antara ulama’. Dan jika yang dikehendaki adalah “yang keluar darinya penciptaan”, maka keluarnya penciptaan bukanlah sesuatu yang azaliy menurut kita. Karena jika tidak demikian, pastilah akan berkonsekuensi qidam-nya penciptaan seperti qidam-nya Sang Pencipta.
Al-Baihaqī mengatakan bahwa para ulama’ muḥaqqiqīn menolak untuk dikatakan “Allah senantiasa menciptakan kita dan menganugerahi rizqi kita” akan tetapi mereka mengataka: “Allah senantiasa berkuasa untuk menciptakan dan menganugerahi rizqi”. Dan jika Allah dinamai dengan “Pencipta” setelah wujudnya penciptaan, maka hal tersebut tidaklah menyebabkan perubahan pada dzāt-Nya.
Ini adalah termasuk di antara permasalahan-permasalahan yang diperselisihkan antara penganut Imām al-Asy‘ariy dan ulama’ kalangan Ḥanafiyyah. Jumlahnya relatif sedikit, tidak sampai mencapai 20 masalah.
Catatan: