Hati Senang

009-0 Perihal Mandi Wajib – Kifayat-ul-Akhyar (1/2)

KIFĀYAT-UL-AKHYĀR
(Kelengkapan Orang Shalih)
Oleh: Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhamamd al-Husaini


Bahagian Pertama
Penerjemah: K.H. Syarifuddin Anwar, K.H. Mishbah Mushthafa
Penerbit: BINA IMAN

[Fasal]

Perihal Mandi Wajib

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(فَصْلٌ: وَ فَرَائِضُ الْغُسْلِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ: النِّيَّةُ وَ إِزَالَةُ النَّجَاسَةِ إِنْ كَانَتْ عَلَى بَدَنِهِ.)

[Fardhunya mandi ada tiga perkara: Yaitu niat, menghilangkan najis jika pada badannya terdapat najis].

Niat mandi hukumnya wajib, sebagaimana dalam wudhu’. Sebab sabda Nabi Muḥammad s.a.w. yang bersifat umum:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Amal menjadi sah apabila disertai dengan niat.

Tempatnya niat ialah pada permulaan bagian tubuh yang dibasuh. Caranya, hendaknya orang yang junub berniat menghilangkan janabah atau menghilangkan hadats besar dari seluruh badan.

Andaikata orang itu berniat menghilangkan hadats tanpa menyebut janābah dan tidak menyebut lainnya, mandinya sah menurut qaul yang ashaḥḥ. Sebab yang dimaksud hadats itu adalah untuk mengatakan sesuatu yang mencegahnya dari shalat dan lain-lain dengan cara apa saja dikira-kirakan, padahal dia sudah berniat untuk itu.

Andaikata orang itu berniat menghilangkan hadats kecil dengan sengaja, tidak sah mandinya menurut qaul yang ashaḥḥ. Sebab ia telah mempermain-main.

Andaikata orang itu tersalah (tidak sengaja), dia menyangka hadatsnya kecil, janābah-nya tidak terangkat selain dari anggota wudhu’nya.

Dalam masalah anggota wudhu’ ini, ada dua wajah. Qaul yang rājiḥ, maka janābah-nya hanya terangkat dari muka, tangan dan kedua kaki. Sebab membasuh ketiga-tiga anggota tersebut hukumnya wajib dalam kedua hadats (besar dan kecil). Jadi apabila dia membasuh untuk kedua hadats tersebut, dengan niat membasuh yang diwajibkan, maka dianggap cukup, tetapi tidak termasuk kepala menurut qaul yang rājiḥ. Sebab yang diniati pada bagian kepala adalah mengusap. Sedangkan mengusap belum cukup untuk menjadi gantinya membasuh. Andaikata orang yang junub itu berniat mencari kewenangan suatu perkara yang bergantung kepada mandi, seperti shalat, tawaf membaca al-Qur’ān, mandinya dianggap cukup atau sah.

Andaikata orang yang junub itu berniat hendak memperoleh kewenangan suatu perkara yang disunnatkan mandi, seperti mandi Juma‘at dan lain sebagainya, mandinya tidak dianggap cukup bagi orang itu. Sebab dia tidak berniat sesuatu yang wajib bagi dirinya.

Andaikata orang yang junub itu berniat mandi yang diwajibkan atau berniat fardhunya mandi, mandinya dianggap cukup, tanpa ada khilāf. Demikian kata Imām Nawawī di dalam kitab ar-Raudhah.

Perempuan haidh hendaknya berniat menghilangkan hadats haidh. Jadi andaikata dia berniat untuk menghilangkan janābah-nya dengan disengaja, mandinya sah. Demikian keterangan Imām Nawawī di dalam Syarḥ-ul-Muhadzdzab.

Perempuan yang nifas hendaknya berniat menghilangkan hadats nifas. Andaikata perempuan yang nifas itu berniat menghilangkan hadats haidh, Ibnu Rif‘ah berkata: Tidak sah mandinya. Al-Asnā’ī berkata: Ada baiknya apabila mandinya dianggap sah.

Ketahuilah, bahwa mendahulukan menghilangkan najis itu menjadi syarat sahnya mandi. Jadi andaikata ada pada badan seseorang itu najis, lalu ia membasuh seluruh badannya dengan air dengan niat menghilangkan hadats najis, maka ia dianggap suci dari najis.

Apakah hadatsnya juga dianggap hilang? Terdapat khilāf. Qaul yang rājiḥ menurut Imām Rāfi‘ī, tidak hilang hadatsnya. Qaul yang rājiḥ di dalam tambahan kitab ar-Raudhah, hilang hadatsnya.

Asal timbulnya perbedaan ini adalah dalam masalah apakah air itu mempunyai kekuatan menghilangkan hadats dan najis sekaligus ataukah tidak? Kemudian Imām Nawawī di dalam Syarḥu Muslim sependapat dengan Imām Rāfi‘ī bahwa sekali basuhan itu tidak boleh mencukupi. Wallāhu a‘lam.

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ إِيْصَالُ الْمَاءِ إِلَى أُصُوْلِ الشَّعْرِ وَ الْبَشَرَةِ.)

[Dan menyampaikan air hingga ke pangkal-pangkal rambut dan kulit].

Di dalam mandi janābah, diwajibkan meratakan air dengan dibasuh hingga ke seluruh rambut dan kulit. Baik rambut yang sedikit maupun rambut yang banyak, rambut yang tipis maupun rambut yang tebal, rambut kepala maupun rambut yang ada di badan, baik pangkalnya rambut maupun rambut-rambut yang terurai.

Imām Rāfi‘ī berkata: Dalilnya ialah karena Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

تَحْتَ كُلِّ شَعْرَةٍ جَنَابَةٌ، فَبُلُّوا الشَّعُوْرَ وَ أَنْقُوا الْبَشَرَةَ.

Di bawah tiap-tiap rambut terdapat janābah. Untuk itu basahilah rambut-rambut itu dan bersihkanlah kulit badanmu.

Hadits ini dha‘īf dengan disepakati oleh para Ulama ahli Hadits yang hafal Hadits (ḥuffāzh). Di antaranya ialah Imām Syāfi‘ī, Imām Bukhārī, dan bahkan Imām Nawawī. Akan tetapi, bagi wajibnya membasuh pangkal rambut itu, sebagian Ulama ada menggunakan hujjah dari sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:

مَنْ تَرَكَ مَوْضِعَ شَعْرَةٍ مِنْ جَنَابَةٍ لَمْ يَغْسِلْهُ يُفْعَلُ بِهِ كَذَا وَ كَذَا مِنَ النَّارِ…. قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِيْ طَالِبٍ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ: فَمِنْ ثَمَّ عَادَيْتُ شَعْرَ رَأْسِيْ وَ كَانَ يَجُزُّ شَعَرَهُ.

Barang siapa yang meninggalkan tempat satu rambut saja dari janābah-nya, yang mana ia tidak membasuhnya, ia akan diperlakukan demikian dan demikian di neraka…. ‘Alī bin Abī Thālib k.w. berkata: Oleh karena itulah, aku selalu membasuh rambut kepalaku. Dan beliau memotong rambutnya.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abū Dāūd dan beliau menganggapnya dha‘īf. Jadi Hadits ini dilihat dari kaedahnya termasuk Hadits shaḥīḥ dan ḥasan. Imām Nawawī berkata: Hadits tersebut Hadits ḥasan. Al-Qurthubī berkata: Hadits tersebut Hadits shaḥīḥ.

Ketahuilah, bahwa perempuan yang menyanggul rambutnya, jika hendak mandi wajib melepaskan sanggulnya, apabila airnya tidak boleh tembus ke dalamnya tanpa dilepaskan. Dan tidak wajib melepaskan sanggulnya, apabila airnya boleh sampai (meratai) ke dalamnya.

Di dalam bab ini, ada sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah (istri Nabi). Hadits ini disebut di dalam kitab Shaḥīḥ Muslim. Ummu Salamah berkata: Aku mengutarakan perihalku, kataku: “Ya Rasūlullāh! Aku ini perempuan yang mengencangkan ikatan rambut kepalaku. Apakah aku harus melepaskan ikatan rambut itu untuk mandi janābah? Rasūlullāh menjawab: Cukuplah kamu menyiramkan air ke kepalamu sebanyak tiga cakupan, kemudian kamu ratakan air itu ke seluruh kepala untuk kamu menjadi suci.” Hadits ini diperkirakan oleh para Ulama bagi rambut-rambut yang tipis atau jarang, dan ikatannya itu tidak dapat mencegah datangnya air ke dalam ikatan dan kulitnya. Hal ini berdasarkan dari hasil kumpulan dalil-dalil.

Apakah rambut yang kusut di dalamnya dapat dimaafkan? Ada khilāf. Qaul yang rājiḥ menurut Imām Rāfi‘ī, dimaafkan karena sulitnya. Qaul yang rājiḥ menurut Imām Nawawī, tidak dapat dimaafkan. Sebab rambut yang kusut itu boleh dipotong tanpa menimbulkan bahaya dan tidak sakit. Imām Nawawī berkata: Pendapatku ini adalah penjelasan dari kata Imām asy-Syāfi‘ī dan Jumhur Ulama. Wallāhu a‘lam.

Adapun kata “basyarah” artinya kulit. Semua orang yang mandi janabah wajib membasuh seluruh bagian tubuh yang kelihatan, sehingga apa yang tampak pada lubang-lubang telinga secara mutlak, dan juga semua pecah-pecah pada kulit badan wajib dibasuh.

Juga wajib dibasuh, lipatan-lipatan kelamin bagi orang yang kulup kelaminnya. Demikian juga bahagian yang tampak (lahir) pada hidungnya orang yang dipotong hidungnya dan bahagian yang tampak pada farjinya perempuan janda ketik ia duduk menjongkok untuk berak, menurut qaul yang rājiḥ. Orang yang mandi janabah tidak wajib berkumur-kumur dan menghirup air dengan hidung menurut Qaul yang ashaḥḥ. Wallāhu a‘lam.

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ سُنَنُهُ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ: التَّسْمِيَةُ، وَ غَسْلُ الْيَدَيْنِ قَبْلَ إِدْخَالِهِمَا الْإِنَاءَ، وَ الْوُضُوْءُ قَبْلَهُ.)

[Sunnat-sunnatnya mandi itu ada lima. Yaitu membaca basmalah, membasuh kedua tangan sebelum dimasukkan ke dalam wadah air dan berwudhu’ sebelum mandi.]

Di dalam mandi janābah itu, terdapat amalan-amalan yang disunnatkan sebagaimana dalam wudhu’. Di antaranya ialah membaca basmalah (Bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm) dan membasuh tapak tangan sebelum dimasukkan ke dalam wadah air. Masalah ini sudah saya terangkan dengan jelas di dalam bab wudhu’. Mandi itu sama dengan wudhu’. Demikian kata Imām Nawawī di dalam kita ar-Raudhah.

Ketahuilah, bahwa kebanyakan sunnat-sunnat yang ada di dalam wudhu’, itu juga yang terdapat di dalam mandi. Di dalam satu wajah, membaca basmalah itu tidak disunnatkan di dalam mandi. Kalau wudhu’ sebelum mandi, apakah itu sunnat ataukah wajib? Ada khilāf. Masing-masing dicabangkan pada masalah: Apakah keluarnya air mani itu boleh merusak wudhu’ atau tidak? Apabila kita mengatakan bahwa keluar ari mani itu boleh membatalkan wudhu’, maka wudhu’ itu tidak termasuk ke dalam kesunnatannya mandi. Menurut qaul ini, wudhu’ boleh termasuk ke dalam mandi menurut madzhab yang kuat. Dan wudhu’ ini wajib diniati tersendiri. Imām Rāfi‘ī berkata: Sebabnya, tidak ada orang yang mengatakan bahwa orang itu harus berwudhu’ yang tersendiri dan kemudian berwudhu’ lagi untuk menjaga kesempurnaan mandinya.

Apabila kita mengatakan bahwa keluar air mani itu tidak merusak wudhu’, yaitu menurut qaul yang di-tarjīḥ-kan oleh Imām Rāfi‘ī dan Imām Nawawī, maka wudhu’ itu termasuk ke dalam kesunnatannya mandi. Dia tidak perlu diasingkan dengan niat yang tersendiri.

Kesunnatan wudhu’ dapat diperoleh dengan mendahulukan wudhu’nya daripada mandinya, ataupun mengkemudiankannya, atau dengan mendahulukan sebagian dari wudhu’ itu dan mengakhirkan sebagiannya. Manakah yang lebih utama? Ada dua qaul. Menurut qaul yang rājiḥ, lebih utama mendahulukan wudhu’ hingga sempurna. Karena kata Siti ‘Ā’isyah r.a.:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلَاةِ.

Adalah Rasūlullāh s.a.w. apabila mandi dari janabah, beliau berwudhu’ seperti wudhu’nya ketika hendak shalat.” (Riwayat Bukhārī dan Muslim).

Qaul yang lain, disunnatkan mengakhirkan membasuh tapak kaki hingga mandinya selesai. Sebab adanya Hadits yang diriwayatkan oleh Maimūnah r.a.:

كَانَ يُؤَخِّرُ غَسْلَ قَدَمَيْهِ.

Bawa Rasūlullāh s.a.w. selalu mengakhirkan membasuh kedua tapak kakinya.” (Riwayat Bukhārī).

Hadits ini diriwayatkan oleh Imām Bukhārī dengan sharīḥ (jelas), namun al-Qādhī Ḥusain berkata: Boleh memilih, karena kedua-duanya adalah riwayat yang shaḥīḥ.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.