008 Rububiyah (ke-Pengatur-an) – Insan Kamil – Syaikh Abd. Karim al-Jaili

INSAN KAMIL
Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman

Karya: Syaikh Abd. Karim Ibnu Ibrahim al-Jaili

Penerjemah: Misbah El Majid. Lc.
Diterbitkan oleh: Pustaka Hikmah Perdana.

Bab 8

RUBŪBIYYAH (ke-Pengatur-an)

 

Ar-Rubūbiyyah: Nama martabat yang mendefinisikan (menunjukkan) nama-nama yang dibutuhkan Maujūdāt (segala wujud). Nama Rubūbiyyah ini meliputi nama-namaNya: al-‘Alīm (Yang berpengetahuan), al-Qādir (Yang berkuasa), al-Murīd (Yang berkemauan), as-Samī‘ (Yang mendengar), al-Bashīr (Yang melihat), al-Mālik (Yang memiliki kekuasaan) dan lain sebagainya. Masing-masing dari nama-nama dan sifat-sifat tersebut melahirkan bias pengaruh dan pewacanaan sifat dan nama yang ada. Semisal al-‘Alīm melahirkan pengetahuan hingga ada yang bisa diketahui, al-Qādir (Yang berkuasa) melahirkan kekuasaan dan ada yang dikuasai pun dikuasakan, al-Murīd (Yang menghendaki) melahirkan sesuatu yang dikehendaki dan lain sebagainya. Ketahuilah bahwasanya nama-nama yang berada di bawah naungan nama-Nya (ar-Rabb), adalah nama-nama Musytarak (ambigu) di antara al-Ḥaqq dengan makhluk-Nya, serta merupakan nama Khāshsh (eksklusif) bagi makhluk-Nya dengan kekhususan pengaruh nama-nama ambigu (Musytarak) antara yang dikhususkan kepada al-Ḥaqq, dengan nama-namaNya yang diperuntukkan bagi makhluk-Nya, semisal nama-Nya al-‘Ālim – Yang mengetahui – , ia merupakan nama yang berdimensi Hawiyah (ke-Diri-an)-Nya, karenanya para pegiat hakikat menandaskan: Jika kau mengetahui diri-Nya, kau akan akan mengetahui ciptaan-Nya, jika kau mendengar diri-Nya, kau akan mendengar lainnya, juga kau melihat diri-Nya, kau akan melihat lainnya dan banyak lagi nama-nama yang Musytarak (ambigu) antara al-Ḥaqq dengan makhluk-Nya.

Pahamilah yang kami maksudkan dengan Musytarakah (ambiguitas) adalah bahwa isim (nama) tersebut memiliki dua wajah, pertama wajah yang berdimensikan ketuhanan, kedua wajah yang diperlihatkan oleh-Nya kepada segenap makhluk-Nya, seperti yang telah kita bahas pada pasal terdahulu. Adapun nama-nama yang dikhususkan untuk makhluk-Nya semisal nama-nama yang berdimensi al-Af‘āl (perbuatan-perbuatan) serta nama-Nya al-Qādir. Karenanya para pegiat hakekat menandaskan: Dia menciptakan segala wujud, bukan Dia menciptakan diri-Nya, Dia memberi rizki segala wujud, bukan memberi rizki diri-Nya, penciptaan, pemberian dan kekuasaan diperuntukkan untuk makhluk-Nya bukan untuk Diri-Nya. Semua itu wajah daripada Af‘āl (perbuatan-perbuatan)-Nya, bukan wajah daripada diri-Nya, kesemua itu benda di bawah isim-Nya (al-Mulk). Semantis logikanya seorang yang ditahbiskan menjadi raja pasti memiliki kerajaan, adapun perbedaan antara nama-Nya (al-Mulk) dengan nama-Nya (ar-Rabb), al-Mulk adalah isim (nama) untuk kedudukan (martabat) yang di bawahnya nama-nama yang berdimensikan Af‘āl (perbuatan-perbuatan), itulah isyarat ke-khusus-an keterkaitan antara Diri-Nya dengan makhluk-Nya. Sedangkan ar-Rabb, isim untuk martabat yang di bawahnya nama-nama yang berdimensi Musytarakah (ambiguitas) yang dikhususkan bagi makhluk-Nya.

Perbedaan antara ar-Rabb dengan ar-Raḥmān, bahwa ar-Raḥmān isim untuk kedudukan yang dikhususkan bagi segenap sifat-sifat ketinggian Ilāhiyyah, baik yang bersifat eksklusif inti (dzāt)-Nya semisal Maha Agung dan Maha Esa, atau sifat ambigu antara diri-Nya dan makhluk-Nya, semisal Agung dan Melihat, atau sifat eksklusif untuk segenap makhluk-Nya, semisal al-Khāliq (Sang Pencipta) atau ar-Razzāq (Sang Pemberi Rizki).

Perbedaan isim ar-Raḥmān dengan isim Allāh. Isim Allāh untuk martabat inti (dzāt)-Nya, yang mencakup hakekat segala wujud ketinggian (langit) dan kerendahan (bumi), isim ar-Raḥmān berada di bawah naungan nama (Allah), isim ar-Rabb di bawah naungan isim ar-Raḥmān, isim al-Mulk di bawah naungan isim ar-Rabb. Rubūbiyyah ‘ibārat ‘Arsy: yakni singgasana penampakkan-Nya, dengannya tertampakkan ar-Raḥmān pada segala wujud, ia juga merupakan centra penglihatan yang dengan-Nya ar-Raḥmān melihat segala wujud. Dengan martabat ini, penisbatan antara al-Ḥaqq dengan hamba-Nya sangatlah walid, tidakkah and pernah menyimak sabda Rasūl s.a.w.: “Sesungguhnya gapaian rahmat diambil melalui mediasi ar-Raḥmān, karena Rubūbiyyah demikian Raḥmāniyyah merupakan organiser (sentra mediasi) antara kekhususan al-Ḥaqq dengan apa-apa yang terkait dengan dimensi kemakhlukan dan kekhususan makhluk. Nama-nama Musytarak (ambigu) merupakan media perantara yang tidak lain merupakan singgasana Rubūbiyyah. Keterkaitan rahmat dengan ar-Raḥmān, adalah laksana keterikatan antara ar-Rabb (pengatur) dengan al-Marbūb (yang diatur). Maka tidak akan ada Rabb, melainkan Dia memiliki Marbūb (yang diatur), penisbatan seperti ini merupakan sebuah kelaziman antara Allah dengan para hamba-Nya. Maka telisik dengan jeli, keterkaitan dan keterikatan tersebut dengan mediasi-nya, pahami pula rahasia keterkaitan itu, patrikan dalam benak anda bahwasanya al-Ḥaqq, tersucikan dari ketersambungan sesuatu yang terpisahkan dari-Nya. Dia tidak berkewajiban menyambung sesuatu yang memutuskan dirinya dengan-Nya, pun sebaliknya ia tidak berkewajiban memutuskan sesuatu yang menyambungkan dirinya dengan-Nya. Semua rahasia itu terhampar luas dalam ragam manifestasi-Nya pada Maujūdāt (segala wujud) di alam dan isinya alam ini.

Ketahuilah, bahwasanya Rubūbiyyah memiliki tajallī yang bersifat Ma‘nawī dan tajallī yang bersifat Shuwarī (pencitraan). Tajallī Ma‘nawī penampakkan-Nya dalam sifat-sifat dan nama-namaNya, sejalan dengan hukum transendensi (Tanzīh) dan kesempurnaan-Nya. Tajallī pencitraan (Shuwarī) manifestasi-Nya dalam segenap makhluk-Nya, sejalan dengan hukum antropomorfisme (Tasybīh) ciptaan-Nya, serta apa yang meliputi makhluk-Nya dari ragam kekurangan. Jikalau al-Ḥaqq bermanifestasi pada salah satu makhluk-Nya, sejalan dengan hukum antropomorfisme (Tasybīh), maka manifestasi itu tertransendensikan dari Tasybīh Muthlaq, karena hal itu tidak terkait dengan inti (dzāt)-Nya, namun berkaitan dengan pencitraan dan suplemen penyerupaan. Secara Ma‘nawiyyah itu berarti tersucikan dari penyerupaan mutlak, lebih dari itu manifestasi citra dan makna merupakan manifestasi Diri-Nya. Semantis logikanya penampakkan Ma‘nawī juga merupakan penampakkan citra-Nya, satu sama lain saling mengeser dan menutupi, yang berujung pada satu masalah krusial yaitu hijab diri. Pahami dengan seksama masalah ini. Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.S. al-Aḥzāb 33:4)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *