Hati Senang

008 Perihal Perkara-perkara Yang Mewajibkan Mandi – Kifayat-ul-Akhyar

KIFĀYAT-UL-AKHYĀR
(Kelengkapan Orang Shalih)
Oleh: Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhamamd al-Husaini


Bahagian Pertama
Penerjemah: K.H. Syarifuddin Anwar, K.H. Mishbah Mushthafa
Penerbit: BINA IMAN

[Fasal]

Perihal Perkara-perkara Yang Mewajibkan Mandi

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(فَضْلٌ: وَ الَّذِيْ يُوْجِبُ الْغُسْلَ سِتَّةُ أَشْيَاءَ:ثَلَاثَةٌ تَشْتَرِكُ فِيْهَا الرِّجَالُ وَ النِّسَاءُ، وَ هِيَ الْتِقَاءُ الْخِتَانَيْنِ، وَ إِنْزَالُ الْمَنِيِّ، وَ الْمَوْتُ.)

[Perkara yang diwajibkan mandi ada enam. Yang tiga perkara bersekutu (berlaku) padanya laki-laki maupun perempuan. Yaitu pertemuan antara dua kelamin (laki-laki dan perempuan), keluar mani dan mati].

Perkataan “Ghasl” itu boleh dibaca fatḥah ghain-nya dan boleh dibaca dhammah. Demikian kata Imām Nawawī di dalam kitab at-Taḥrīr. Al-Jauharī berkata: Jika dibaca fatḥah ghain-nya, artinya pekerjaan membasuh (seperti membasuh kain). Jika dibaca dhammah ghain-nya, artinya hal menggosok (atau mandi). Lafaz “Wudhū’” pula, jika wāw-nya dibaca fatḥah wadhū’, artinya air yang digunakan untuk berwudhū’. Jika dibaca dhammah wāw-nya wudhū’ artinya pekerjaan berwudhū’.

Jika kamu sudah mengerti apa yang saya terangkan ini, ketahuilah, bahwa sebab-sebab diwajibkannya mandi ada banyak sekali. Di antaranya ialah pertemuan dua kelamin. Terkadang pertemuan dua kelamin ini dikatakan jima‘, yaitu memasukkan ujung (ḥasyafah) kelamin laki-laki atau sekadarnya ke dalam farji apa pun, sama ada farjinya perempuan maupun farjinya binatang, atau ke dalam dubur keduanya, atau duburnya laki-laki, baik anak kecil maupun orang dewasa, yang sudah mati ataupun yang masih hidup.

Mandi diwajibkan juga bagi perempuan, dengan sebab zakar yang masuk ke dalam farjinya, sekalipun zakarnya binatang, atau mayit atau anak kecil. Juga diwajibkan bagi laki-laki yang di-wathi’ (disetubuhi) duburnya.

Mayit yang farjinya dimasuki zakar, apabila sudah dimandikan tidak wajib diulangi mandinya menurut qaul yang ashaḥḥ. Anak kecil atau orang gila yang di-jima‘, kedua-duanya menjadi junub. Dan tidak ada khilāf. Kemudian jika anak kecil itu mandi dan sudah pandai (mumaiyiz), mandinya dianggap sah. Dan tidak wajib mengulangi mandi sesudah baligh. Walinya wajib memerintah anak-anak kecil yang sudah pandai (mumaiyiz) untuk mandi serta-merta, sebagaimana dia diwajibkan memerintah anak-anak kecil untuk berwudhu’.

Dalam masalah wajib mandi di atas, tidak ada perbedaan antara keluar mani atau tidak. Yang menjadi dalil wajibnya mandi ialah Hadits ‘Ā’isyah r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. berkata:

إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ أَوْ مَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ وَجَبَ الْغُسْلُ، فَعَلْتُعُ أَنَا وَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) فَاغْتَسَلْنَا.

Jika dua kelamin bertemu, atau satu kelamin bertemu dengan kelamin lain, maka wajiblah mandi. Aku (‘Ā’isyah) dan Rasūlullāh s.a.w. pernah melakukan hal yang demikian itu, lalu kami berdua mandi.

Yang dimaksud iltiqā’ ialah berhadapan. Sebab selamanya tidak akan pernah terjadi dua kelamin itu beradu, karena kelamin wanita tentu selalu berada di atas (di dalam) pintu masuknya kelamin laki-laki ketika kelamin laki-laki masuk ke dalam farji. Dan kadang-kadang dikatakan: iltaq-al-fārisan, artinya ketika dua barisan saling berhadapan.

Di antara perkara yang mewijabkan mandi ialah menurunkan air mani (keluar mani). Jadi jika air mani keluar, maka wajib mandi. Keluarnya sama ada dari jalan yang biasa maupun dari lubang pada tulang iga (rusuk) atau dari buah pelir, menurut madzhab yang kuat. Yang menjadi dalil diwajibkannya mandi tersebab keluar mani ialah sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:

إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ.

Kewajiban mandi itu dari sebab air (mani).” (Riwayat Muslim).

Dan sama halnya keluarnya pada saat jaga maupun ketika sedang tidur, dengan syahwat ataupun tidak, sebab melihat kemutlakan Hadits di atas.

Kemudian mani itu mempunyai tanda-tanda tiga macam, yang dapat membedakan antara mani, madzi, dan wadi. Yaitu:

  1. Mani mempunyai bau seperti baunya adunan roti atau mayang korma yang masih basah. Jika sudah kering baunya seperti bau telur.
  2. Keluarnya memancar dengan agak tersendat. Allah ta‘ālā berfirman:

مِنْ مَاءٍ دَفِقٍ.

Dari air yang memancar.” (ath-Thāriq: 6).

  1. Terasa enak sewaktu keluar dan sesudahnya, serta menimbulkan kendurnya zakar dan syahwat menjadi lemah.

Tidak disyaratkan adanya ketiga-tiga tanda itu. Akan tetapi bila ada salah satu di antara ketiga tanda itu, cukuplah untuk menetapkan bahwa yang keluar itu adalah mani, tanpa ada khilāf. Perempuan sama dengan laki-laki dalam hal tanda-tanda tersebut, menurut qaul yang rajih di dalam kitab ar-Raudhah. Di dalam Syaraḥ Muslim Imām Nawawī berkata: Tidak disyaratkan harus memancar bagi perempuan. Ibn-ush-Shalāh, dalam masalah ini mengikuti Imām Nawawī.

Cabang Permasalahan.

Andaikata orang itu bangun dari tidurnya, lalu menemukan cairan putih, kental, dia tidak wajib mandi. Sebab wadi itu sama dengan mani dalam hal kentalnya dan putihnya. Akan tetapi dia boleh memilih antara menganggap cairan itu wadi, lalu mencucinya, atau menganggapnya mani lalu mandi, menurut madzhab yang kuat.

Andaikata orang itu mandi jenabah, lalu ia mengeluarkan sisa air maninya, wajib mengulangi mandinya, tanpa ada khilāf. Baik keluarnya sebelum kencing maupun sesudahnya.

Andaikata orang itu melihat mani pada sarungnya atau di tempat tidur yang tidak ada orang lain yang menidurinya kecuali dirinya, dan dia tidak ingat adanya mimpi keluar mani, maka wajib mandi menurut qaul shaḥīḥ yang sudah di-nash, yang dipastikan oleh sebagian banyak dari para Ulama.

Al-Māwardī berkata: Demikian itu apabila maninya ada di bagian dalam sarung. Apabila ada di bagian luarnya, maka tidak wajib mandi. Sebab boleh jadi mani itu dari orang lain.

Andaikata orang itu terasa akan keluar mani, lalu ia menahan zakarnya supaya maninya tidak keluar seketika itu, dan ia tidak melihat keluarnya mani itu, maka tidak wajib mandi. Wallāhu a‘lam.

 

Di antara perkara yang mewajibkan mandi ialah mati. Mati itu menyebabkan wajib mandi. Sebab Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās r.a., bahwa Rasūlullāh s.a.w. berkata mengenai seorang yang sedang ihram mati karena tersepak oleh untanya:

اِغْسِلُوْا بِمَاءٍ وَ سِدْرٍ.

Mandikanlah orang ini dengan air dan daun salam.” (Riwayat Bukhārī dan Muslim).

Menurut lahirnya Hadits, memandikan orang mati itu hukumnya wajib.

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ ثَلَاثَةٌ تَخْتَصُّ بِهَا النِّسَاءُـ، وَ هِيَ الْحَيْضُ وَ النِّفَاسُ وَ الْوِلَادَةُ.)

[Yang tiga perkara, di antara hal-hal yang mewajibkan mandi, itu khusus untuk perempuan. Yaitu haidh, nifas dan bersalin].

Di antara sebab-sebab yang mewajibkan mandi ialah haidh. Allah ta‘ālā berfirman:

وَ لَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ، فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ.

Janganlah kamu mendekati perempuan-perempuan yang sedang haidh, hingga mereka suci. Apabila sudah suci, bolehlah kamu mendatangi mereka menurut apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu.” (al-Baqarah: 222).

Di dalam ayat tersebut, Allah melarang kepada kita mendekati wanita-wanita yang dalam keadaan haidh hingga batas-batas waktu yang ditentukan, yaitu apabila mereka telah suci.

Diriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a., bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:

إِذَا أَقْبَلْتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ، فَإِذَا ذَهَبَ قُدْرُهَا فَاغْسِلِيْ عَنْكِ الدَّمَ وَ صَلِّيْ.

Jika telah datang darah haidh, maka tinggalkanlah shalat. Dan jika telah hilang hitungan haidh, bersihkanlah darah itu dari badanmu dan shalatlah.” (Riwayat Bukhārī dan Muslim).

Dia dalam riwayat Imām Bukhārī, kata-katanya demikian:

ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَ صَلِّيْ.

Kemudian mandilah dan shalatlah!

Nifas sama dengan haidh dalam hal mewajibkan mandi, dan pada kebanyakan hukum-hukumnya.

Di antara perkara yang mewajibkan mandi lagi ialah wilādah (melahirkan anak). Kewajiban mandi bagi perempuan yang melahirkan ini terdapat dua ‘illat.

Pertama: Wilādah itu tempat diduga keluarnya darah. Sedangkan hukum itu boleh berhubungan dengan hal yang diduga. Buktinya, tidur boleh membatalkan wudhū’, karena tidur itu tempat yang diduga adanya hadats.

Kedua: Yaitu yang dikatakan oleh Jumhur Ulama, bahwa anak itu adalah mani yang telah bergumpal.

Khilāf dalam masalah ini akan tampak faedahnya apabila seorang wanita yang melahirkan bayi tidak melihat adanya basah-basah. Menurut qaul yang pertama, dia tidak wajib mandi. Menurut ‘illat yang kedua, yaitu yang mengatakan bahwa anak itu adalah mani yang bergumpal, wanita itu wajib mandi. Qaul yang kedua ini yang rājiḥ.

Juga diwajibkan mandi sebab pengguguran (mengeluarkan) gumpalan darah atau gumpalan daging menurut qaul yang rājiḥ. Sebagian Ulama ada yang menetapkan wajib mandi dengan pasti, (artinya tidak ada khilāf), sebab mengeluarkan gumpulan daging. Wallāhu a‘lam.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.