QADHĀ-QADAR, ILMU DAN QUDRAH.
Qadar atau sesuatu yang terjadi pada hamba yang telah ditentukan Allah sejak azaliy, baik dan buruknya adalah dari Allah, yakni diciptakan dan dikehendaki oleh-Nya (391). Allah berfirman:
وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَ مَا تَعْمَلُوْنَ. (الصافات: 96)
“Allah menciptakan kalian dan apa yang kalian lakukan.” (ash-Shāffāt: 96).
Pengetahuan (‘ilmu) Allah mencakup ke segala sesuatu yang layak diketahui, baik berupa sesuatu yang mungkin, atau sesuatu yang mustahil; hal-hal juz’iyyat (hal-hal detail) maupun hal-hal kulliyyat (hal-hal global).
وَ أَنَّ اللهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا. (الطلاق: 12)
“Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.” (ath-Thalāq: 12).
وَ عِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَ يَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ وَ مَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَ لَا حَبَّةٍ فِيْ ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَ لَا رَطْبٍ وَ لَا يَابِسٍ إِلَّا فِيْ كِتَابٍ مُّبِيْنٍ. (الأنعام: 59)
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecauli Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” (Lauḥ Maḥfūzh).” (QS. Al-An‘ām: 59).
Kekuasaan (qudrah) Allah merambah ke segala sesuatu yang layak dikuasai. Yakni, bahwa kekuasaan Allah mencakup segala hal yang mungkin (mumkināt), bukan hal-hal yang mustahil dan hal-hal yang wajib. Maka sesuatu yang mustahil dan juga sesuatu yang wajib tidak termasuk dalam cakupan kekuasaan Allah, bukan karena keterbatasan-Nya, akan tetapi karena ketidakmungkinan hal mustahil untuk terwujud. Begitu pula hal wajib, tidak mungkin dikaitkan dengan sifat qudrah karena akan berkonsekuensi pada taḥshīl-ul-ḥāshil (menghasilkan sesuatu yang telah hasil), yang merupakan sebuah kemustahilan, Karenanya, hal-hal mustahil dan hal-hal yang wajib tidak layak untuk menjadi obyek keterkaitan sifat irādah Allah.
Tidak satupun ulama’ yang berbeda pandangan dengan hal ini kecuali Ibnu Ḥazm. Ia menyatakan “Bahwa Allah ta‘ālā mampu untuk mengambil anak, karena menurutnya, jika tidak mampu, pastilah Allah lemah”. Pernyataan Ibnu Ḥazm ini disanggah, bahwa keberadaan anak bagi Allah adalah sesuatu yang mustahil, sedangkan hal yang mustahil tidak masuk dalam cukupan sifat qudrah.
Ketiadaan qudrah atas sesuatu adakalanya karena keterbatasannya, adakalanya karena memang sesuatu itu adalah hal yang tidak mungkin. Yang disebut “kelemahan” adalah yang terkait dengan yang pertama (yang karena keterbatasannya).
Catatan: