Hati Senang

007 Perihal Perkara-perkara Yang Membatalkan Wudhu’ – Kifayat-ul-Akhyar (2/2)

KIFĀYAT-UL-AKHYĀR
(Kelengkapan Orang Shalih)
Oleh: Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhamamd al-Husaini


Bahagian Pertama
Penerjemah: K.H. Syarifuddin Anwar, K.H. Mishbah Mushthafa
Penerbit: BINA IMAN

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ لَمْسُ الرَّجُلِ الْمَرْأَةَ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ بَيْنَهُمَا غَيْرَ مَحْرَمٍ فِي الْأَصَحِّ)

[Dan menyentuhnya laki-laki kepada perempuan tanpa ada alas tangan (lapik) antara kedua-duanya, sedangkan perempuan itu bukan mahramnya].

Di antara perkara yang membatalkan wudhu’ ialah menyentuh laki-laki akan kulit perempuan yang disenangi, yang bukan mahramnya, karena firman Allah:

أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ

Atau jika kamu (laki-laki) menyentuh perempuan.” (al-Mā’idah: 6)

Dalam ayat ini, Allah ta‘ala meng-‘athaf-kan kata lams pada Majī’. Yaitu firman Allah aw jā’a aḥadun. Dan Allah mengurutkan kewajiban tayammum manakala tidak ditemukan air untuk lams dan majī‘ min-al-ghā’ithi. Demikian itu menunjukkan bahwa lams (bersentuhan) itu termasuk hadats seperti halnya majī’ min-al-ghā’ithi.

Yang disebut basyarah ialah kulit bagian luar. Masalah orang laki-laki tidak dibedakan antara laki-laki yang sudah tua yang sudah tidak mempunyai syahwat dan laki-laki yang masih mempunyai syahwat. Dan tidak dibedakan antara laki-laki yang sudah dikebiri dan laki-laki yang impoten (lemah syahwat). Sentuhan mereka tetap membatalkan wudhu’. Demikian juga laki-laki yang menghampiri masa baligh, sentuhannya juga membabalkan wudhu’

Juga tidak dibedakan antara perempuan muda dan tua yang sudah tidak disyahwati lagi. Dalam masalah perempuan yang sudah mati terdapat khilāf. Di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab, Imam Nawawi menganggap shaḥīḥ terhadap kepastian batalnya wudhu’ tersebab menyentuh perempuan yang sudah mati. Namun di dalam kitabnya Imām Nawawī yang bernama Ru’ūs-ul-Masā’il, beliau menganggap shaḥīḥ tidak batalnya wudhu’. Perbedaan ini didasarkan pada lafazh dan maknanya, sebagaimana perbedaan masalah perempuan mahram.

Jika menurut apa yang sudah diterangkan di dalam kitab al-Muhadzdzab, yaitu batalnya wudhu’ sebab menyentuh perempuan yang telah mati, lalu apakah perbedaan perempuan mahram dengan perempuan yang sudah mati? Membedakannya sulit sekali. Kadang-kadang dibedakan begini, perempuan yang mati itu masih dimungkinkan dapat hidup kembali. (Karena mungkin sebenarnya belum mati). Berbeda sekali dengan perempuan mahram. Tidak mungkin sifat mahram itu akan hilang. Wallāhu a‘lam.

Andaikata anggota badan yang disentuh itu, anggota yang lumpuh atau anggota tambahan, atau menyentuhnya tidak disengaja dan tidak disertai dengan syahwat, wudhu’nya tetap rusak atau batal dalam masalah-masalah ini. Sebab bersentuhan itu hadats, menurut lahirnya ayat yang mulia itu.

Menyentuh rambut, kuku atau atau gigi, tidak merusakkan wudhu’ menurut qaul yang rājiḥ. Sebab bagian terbanyak kenikmatan yang terdapat pada ketiga-tiga perkara tersebut adalah dari sebab melihat perempuannya. Jadi persangkaan syahwat bukan terletak pada persentuhan.

Andaikata orang itu menyentuh (memegang) anggota perempuan yang sudah terpisah dari badannya, atau menyentuh anak kecil yang belum sampai pada batas-batas “disyahwati”, maka wudhu’nya tidak menjadi rusak menurut qaul yang rājiḥ. Sebab anggota yang sudah terpisah dari anggota badan dan juga anak kecil itu tidak berada pada tempat yang dapat diduga adanya keinginan atau syahwat, sebagaimana pada mahram.

Andaikata orang itu menyentuh mahram sebab nasab atau sebab radhā‘ (persusuan) atau sebab perbesanan, apakah boleh merusakkan wudhu’nya? Ada dua qaul. Satu di antaranya mengatakan: Rusak wudhu’nya, sebab melihat umumnya ayat al-Qur’ān. Qaul yang rājiḥ mengatakan, tidak rusak wudhu’nya. Sebab mahram itu tidak pada tempat yang dapat diduga-duga adanya syahwat. Orang boleh mengambil makna dari suatu nash, yang makna itu sifatnya mengkhusukan umumnya nash itu. Hikmah (makna) bagi rusaknya wudhu’ ialah perempuan yang bukan mahram itu berada pada tempat persangkaan syahwat. Hikmah ini tidak terdapat pada mahram.

Kata pengarang “menyentuh laki-laki akan perempuan”, itu mengecualikan andaikata orang itu menyentuh anak kecil yang belum disyahwati. Masalah ini sudah diterangkan di muka. Dan mengecualikan juga, andaikata orang itu menyentuh laki-laki amrād (anak muda yang ganteng), wudhu’nya tidak rusak. Qaul ini adalah qaul yang rājiḥ. Kita, para Ulama Madzhab Syāfi‘ī, mempunyai wajah (sudut pandang, pendapat) yang menganggap bahwa menyentuh amrād itu merusakkan wudhu’, seperti menyentuh perempuan.

Kata pengarang “tanpa ada alas tangan (lapik),” itu mengecualikan, andaikata di antara laki-laki dan perempuan itu ada pemisahnya (lapik), maka bersentuhannya tidakmembatalkan wudhu’. Wallāhu a‘lam.

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ مَسُّ الْفَرْجِ بِبَطْنِ الْكَفِّ.)

[Dan menyentuh farji dengan tapak tangan bagian dalam].

Di antara hal yang merusak wudhu’ ialah menyentuh farjinya anak Ādam. Baik farjinya sendiri atau milik orang lain. Farjinya perempuan maupun farjinya laki-laki, anak kecil maupun orang dewasa. Orangnya masih hidup maupun sudah mati. Dan yang disentuh itu qubul maupun dubur. Sebab kata farji itu mencakup makna hal-hal tersebut.

Menyentuh zakar yang sudah terpotong, atau penyentuh zakar yang masih ada bentuknya, atau menyentuh zakar dengan tangan yang lumpuh boleh membatalkan wudhu’ menurut qaul yang rājiḥ. Andaikata orang itu menyentuh dengan tangan tambahan, maka jika tangannya itu genap jari-jarinya, boleh membatalkan wudhu’. Jika tidak genap (tidak sempurna), tidak boleh merusak wudhu’, menurut qaul yang rājiḥ (unggul). Ini semua, jika menyentuhnya dengan menggunakan bagian tapak tangan. Apabila menyentuhnya dengan menggunakan bagian luarnya, maka tidak merusak wudhu’. Demikian juga apabila menyentuhnya dengan pinggirnya tapak tangan atau dengan ujung jari atau dengan kulit yang berada di sela-sela jari, tidak merusak wudhu’ menurut qaul yang rājiḥ.

Imām Aḥmad berkata: Orang yang menyentuh dengan tapak tangan bagian luar maupun dalam, batal wudhu’nya. Sebab Hadits-hadits, semuanya memutlakkan kata “sentuhan” itu. Keterangan ini ditolak oleh Imām Syāfi‘ī, sebab ada sebagian Hadits yang menggunakan kata-kata Ifdhā’. Sudah maklum, bahwa apa yang dimaksud oleh Hadits itu tentunya hanya satu. Yang dimaksud Ifdhā’, ialah menyentuh dengan bagian dalam tapak tangan, Qaul-nya Imām Syāfi‘ī dalam masalah lughat (bahasa), boleh dibuat hujjah, di samping makna Ifdhā’ itu sendiri sudah masyhur di dalam ilmu lughat.

Seorang Ulama yang mengarang kitab al-Mujmal berkata: Menurut lughat; Ifdhā’ itu apabila disandarkan pada tangan, mempunyai arti menyentuh dengan bagian dalam tapak tangan. Orang ‘Arab mengatakan: afdhaitu bi yadī ilal-amīri mubāyi‘an wa ilal-ardhi sājidan, artinya: Aku berjabat tangan dengan Raja karena berjanji taat setia, dan aku lekapkan tanganku ke bumi karena bersujud.

Demikian juga al-Jauharī telah menerangkan makna lughat ini.

Ada sebagian Ulama yang menetapkan bahwa menyentuh zakar itu tidak merusak wudhu’, dengan menggunakan hujjah Haditsnya Thalq. Hujjah yang digunakan oleh Imām Syāfi‘ī ialah Haditsnya Busrah binti Shafwān r.a. Beliau berkata: Aku mendengar Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Barang siapa yang menyentuh zakarnya, hendaklah berwudhu’.

Hadits ini dianggap shahih oleh Imām Aḥmad dan at-Tirmidzī dan lain-lain. Al-Ḥākim berkata: Hadits ini diriwayatkan dengan syaratnya Imām Bukhārī dan Imām Muslim. Imām Bukhārī berkata: Hadits ini, Hadits yang paling shaḥīḥ di dalam bab ini. Ibnu Ḥibbān dan lain-lainnya berkata: Haditsnya Thalq yang dijadikan dalil tidak batalnya wudhu’ karena menyentuh (zakar), diganti dengan Haditsnya Busrah ini.

Menyentuh duburnya binatang, tidak membatalkan wudhu’. Imām Rāfi‘ī berkata: Tidak ada khilāf. Namun sebenarnya ada khilāf. Adapun menyentuh qubulnya binatang (kemaluannya) ada dua qaul. Menurut qaul qadīm, boleh merusak wudhu’nya. Sebab seseorang itu diwajibkan mandi karena memasukkan farjinya ke dalam qubulnya binatang. Jadi boleh merusak wudhu’ sebagaimana farjinya perempuan. Menurut qaul jadid yang azhhar (yang lebih jelas), menyentuh qubulnya binatang tidak merusak wudhu’, sebab tidak diwajibkannya menutupi qubul binatang dan tidak haram melihat qubul binatang. Jadi menurut qaul yang azhhar, andaikata orang itu memasukkan jarinya ke dalam qubul binatang, wudhu’nya tidak batal menurut qaul yang rājiḥ. Wallāhu a‘lam.

Cabang Permasalahan.

Di antara kaedah yang sudah ditetapkan, yang menjadi dasar bagi sebagian banyak hukum-hukum syari‘at, ialah apa yang disebut Istishḥāb-ul-Asli. Artinya: Meneruskan keadaan aslinya dan membuang keraguan, dan menetapkan berlakunya keadaan yang sudah ada sebagaimana berlaku sebelumnya.

Para Ulama sudah sepakat, bahwa apabila ada seseorang ragu-ragu, apakah ia sudah mentalak istrinya atau belum? Orang itu masih boleh menjima‘ istrinya. Sama halnya jika orang itu ragu-ragu terhadap seorang perempuan, apakah ia sudah nikah dengannya atau belum? Orang itu tidak boleh menjima‘ perempuan itu.

Di antara Istishḥāb-ul-Asli ialah andaikata orang itu yakin akan dirinya suci dan ragu-ragu tentang hadatsnya, maka yang asal ialah tetap suci dan tidak dikira hadats. Andaikata orang itu meyakini dirinya berhadats, dan ragu-ragu akan sucinya, maka mengira asalnya ia tetap berhadats, dan tidak dikira suci.

Andaikata orang itu meyakini kedua-duanya (suci dan hadats), misalnya, sebelum matahari tergelincir, ia yakin dirinya sudah bersuci dan berhadats juga, tetapi tidak ingat yang mana satu yang lebih dahulu. Apakah yang harus ia kerjakan? Di dalam masalah ini terdapat khilāf. Qaul yang rājiḥ, tersebut di dalam kitabnya Imām Rāfi‘ī dan kitab ar-Raudhah, dilihat dulu. Apabila sebelum matahari terbit orang itu berhadats, maka ketika ia ragu, keadaannya suci. Sebab hadatsnya yang sebelum terbitnya matahari, boleh hilang karena ia bersuci sesudah terbit matahari secara yakin. Adapun hadats sesudah terbit matahari, boleh jadi itu sebelum bersuci dan boleh jadi sesudah bersuci. Jadi dengan perhitungan ini, maka yang menjadi asal adalah suci.

Apabila sebelum matahari terbit orang itu suci, maka ketika ia ragu, keadaannya berhadats. Sebab suci yang diyakininya sebelum terbit matahari, telah hilang karena yakinnya hadats sesudah terbit matahari. Dan boleh jadi suci dahulu sebelum hadats dan boleh jadi hadats dahulu kemudian suci. Jadi yang menjadi asal adalah keadaan hadats, Imām Nawawī menetapkan berlakunya hukum Istishḥāb ini di dalam kitab al-Minhāj.

Imām Nawawī di dalam kitab ar-Raudhah berkata: Hukum ini, yaitu dengan mengambil lawan dari kejadian yang terjadi sebelumnya, yaitu apabila orangnya membiasakan tajdīd-ul-wudhu’ (memperbarui wudhu’). Apabila tidak, maka ketika orang itu dalam keadaan ragu ia dihukumi suci. Sebab yang jelas, yaitu keadaan suci ada di belakang.

Sebagian Ulama mengatakan: Tidak perlu melihat keadaan sebelum terbitnya matahari. Orang yang demikian wajib berwudhu’ dengan serta-merta. Imām Nawawī berkata di dalam Syarḥ-ul-Muhadzdzab dan syarah kitab al-Wasīth: Qaul inilah qaul yang azhhar dan yang terpilih. Al-Qādhī Abuth-Thayyib berkata: Qaul ini adalah qaul-nya sebagian banyak dari Ulama madzhab kita. Wallāhu a‘lam.

Andaikata orang itu tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya sebelum terbit matahari, maka ia wajib berwudhu’ dalam keadaan bagaimanapun juga.

Di antara yang termasuk dalam kaedah ini ialah, andaikata ada seseorang yang tidur dengan duduk menetapkan pantatnya di atas tanah, lalu bergeser dan kemudian terjaga. Orang itu ragu mana yang lebih dahulu? Atau ragu apa ia memegang rambut atau memegang kulit dan lain sebagainya? Maka wudhu’nya tidak rusak dalam masalah-masalah ini. Wallāhu a‘lam.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.