[Fasal]
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(فَصْلٌ: وَ الَّذِيْ يَنْقُضُ الْوُضُوْءَ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ: مَا خَرَجَ مِنَ السَّبِيْلَيْنِ.)
[Perkara yang membatalkan wudhu’ ada lima. Yaitu sesuatu yang keluar dari salah satu dari dua jalan kotoran (qubul dan dubur)].
Juga boleh merusak wudhu’ seseorang yaitu sembuhnya orang yang hadats terus-menerus. Seperti orang yang terus-menerus kencing atau lainnya. Demikian juga sembuhnya perempuan yang mustahadhah, dan habisnya waktu mengusap muzah (khuffain). Hal ini sudah diterangkan oleh pengarang di dalam fasal mengusap muzah.
Juga boleh merusak wudhu’ lagi yaitu memakan daging unta, menurut apa yang dipilih dan dikuatkan oleh Imām Nawawī.
Imām Nawawī berkata: Dalam hal batalnya wudhu’ sebab makan daging unta ini, ada dua Hadits yang shaḥīḥ, yang tidak dapat dijawab dengan jawaban yang memuaskan. Qaul ini sudah dipilih oleh sekelompok Ulama madzhab kita yang ahli Hadits. Beliau berkata lagi: Batalnya wudhu’ sebab makan daging unta itu adalah termasuk perkara yang diyakini ke-rājiḥ-annya. Wallāhu a‘lam.
Qaul yang shaḥīḥ yang ditentukan oleh Jumhūr-ul-Ashḥāb memgemukakan jawaban tidak batalnya wudhu’ ini dengan Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Jābir r.a., bahwa akhirnya dua perkara dari Rasūlullāh s.a.w. ialah meninggalkan wudhu’ sebab sesuatu yang disentuh oleh api.
Jika kamu sudah mengerti apa yang saya terangkan ini, maka tiap-tiap perkara yang keluar dari dua jalan (yaitu qubul dan dubur), boleh membatalkan wudhu’. Sama ada yang keluar itu berupa benda ataupun angin, baik yang lazim keluarnya ataupun yang langkat, seperti darah dan kerikil. Baik benda yang keluar itu najis maupun suatu yang suci, seperti cacing.
Dalil mengenai batalnya wudhu’ sebab perkara yang keluar dari dua jalan itu ialah firman Allah ta‘ālā:
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ.
“Atau telah mendatangi kamu sesuatu dari tempat buang air.” (an-Nisā’: 43).
Abū Hurairah dimintai keterangan soal hadats, beliau berkata: Hadats yaitu kentut kecil dan kentut besar. Hadits ini diriwayatkan oleh Imām Bukhārī. Dalilnya lagi yaitu Haditsnya ‘Alī r.a.:
كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً، فَاسْتَحْيَيْتُ أَنْ أَسْأَلَ رَسُوْلَ اللهِ (ص) لِمَكَانِ ابْنَتِهِ، فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ الْكِنْدِيِّ، فَسَأَلَهُ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَ يَتَوَضَّأُ.
“Aku ini laki-laki yang sering keluar madzi. Aku malu bertanya kepada Rasulullah s.a.w. karena kedudukan putri beliau (yaitu Fāthimah r.a. sebagai istriku). Kemudian aku menyuruh al-Miqdād bin al-Aswad al-Kindī. Lalu dia pun bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w. dan kemudian dijawab oleh Rasūlullāh s.a.w.: Hendaklah dia membasuh zakarnya dan berwudhu’.” (Riwayat Bukhārī dan Muslim).
Air mani, dikecualikan dari perkara yang keluar dari dua jalan tersebut, menurut madzhab yang kuat yang tersebut di dalam kitabnya Imām Rāfi‘ī dan kitab ar-Raudhah. Tidak batal wudhu’ sebab keluar mani, menggunakan wajah bahwa tiap-tiap perkara yang mewajibkan suatu hal yang lebih berat di antara dua hal dengan sifat-sifat khususnya, tidak boleh mewajibkan hal yang lebih ringan (rendah derajatnya) di antara dua perkara itu dengan sifat-sifat umumnya, seperti penzina yang muḥshan. Penzina yang muḥshan diwajibkan had yang lebih berat yaitu berupa rajam dilempar batu sampai mati. Jadi tidak diwajibkan lagi had yang lebih ringan di antara dua had zina itu, yaitu yang berupa jald (dera) dan pembuangan, dengan sifat khususnya yaitu perbuatan yang dilakukan itu adalah zina.
Ada yang mengatakan: Keluar air mani juga boleh merusakkan wudhu’ dan mewajibkan mandi sebagaimana yang dimutlakkan oleh pengarang, demikian juga lafaznya kitab at-Tanbīh. Qaul itu juga diterangkan oleh al-Qādhī Abuth-Thayyib dan Abū Muḥammad al-Juwainī dan sekumpulan Ulama, yang di antaranya ialah Imām Ghazālī dan gurunya, Imām Ḥaramain. Qaul ini dijelaskan oleh Ibnu Syuraiḥ, bahwa keluar air mani membatalkan wudhu’. Imām Syāfi‘ī, dalam memutlakkannya menunjukkan bahwa wudhu’ boleh batal. Sebab beliau berkata: Sunnah (Hadits) menunjukkan adanya kewajiban berwudhu’ sebab keluar madzi, air kencing dan kentut, dan segala sesuatu yang keluar dari satu jalan (yaitu dari farji) adalah kotoran. Jadi boleh mewajibkan wudhu’.
Ibnu ‘Athiyyah, di dalam tafsirnya berkata: Ijma‘ sudah sepakat mengatakan bahwa keluar air mani boleh membatalkan wudhu’. Sedangkan apa yang dibuat dalil oleh Imām Rāfi‘ī, yaitu bahwa segala sesuatu yang mewajibkan perkara yang lebih berat di antara dua perkara dan seterusnya, itu dibatalkan oleh al-Māwardī dengan haidh. Al-Mawardī berkata: Haidh boleh membatalkan wudhu’ dengan disepakati oleh Ijma‘. Al-Māwardī menyetujui Ibnu Rif‘ah yang mengatakan bahwa keluar air mani boleh membatalkan wudhu’. Wallāhu a‘lam.
Saya berkata: Saya melihat tulisan Jarabardī, bahwa haidh boleh membatalkan wudhu’ itu terdapat khilaf. Beliau mengatakan, adanya khilaf tersebut dikatakan oleh sebagian Ulama ‘Irāq.
Kata pengarang:
“Apa yang keluar dari salah satu dua jalan (qubul dan dubur).” Mengecualikan perkara yang keluar dari selain dua jalan itu, yang disebabkan oleh bercanduk (berbekam) dan muntah, Hal itu tidak boleh merusakkan wudhu’, karena Rasūlullāh s.a.w. pernah bercanduk (berbekam) dan kemudian shalat dan tidak berwudhu’. Beliau hanya membasuh tempat yang dicanduk dan tidak lebih dari itu. Lain daripada itu, batalnya wudhu’ sebab hal yang serupa dengan apa yang diterangkan oleh Sunnah Rasūl itu, tidak boleh dinalar artinya dengan akal. Jadi tidak sah mengkiaskan sesuatu dengan apa yang diambil dari Sunnah. Dan juga, sesuatu yang keluar dari dua jalan tersebut, mempunyai sifat-sifat yang khusus yang tidak terdapat pada lainnya. Wallāhu a‘lam.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ النَّوْمُ عَلَى غَيْرِ هَيْئَةِ الْمُتَمَكِّنِ مِنَ الْأَرْضِ مَقْعَدُهُ، وَ زَوَالُ الْعَقْلِ بِسُكْرٍ أَوْ مَرَضٍ.)
[Dan tidur yang tidak menetap posisinya orang yang menetap duduknya di atas bumi (tanah), dan hilang akal sebab mabuk atau sakit].
Perkara kedua yang boleh merusak wudhu’, ialah hilang akal (ingatan). Hilang akal ini penyebabnya banyak sekali. Di antaranya ialah sebab tidur. Tidur pada hakikatnya ialah kendornya otot-otot badan dan hilangnya parasaan. Dan pembicaraan orang yang ada di sampingnya tidak kedengaran. Mengantuk tidak sama dengan tidur, sebab mengantuk tidak merusak wudhu’ sama sekali.
Dalil batalnya wudhu’ sebab tidur ialah sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
الْعَيْنَانِ وِكَاءُ السَّهِّ، وَ إِذَا نَامَتِ الْعَيْنَانِ انْطَلَقَ الْوِكَاءُ، فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ. (رواه أبو داود).
“Dua mata itu laksan tali bagi pantat (dubur). Jadi apabila kedua mata itu tidur, talinya tentu terlepas. Maka dari itu barang siapa yang tidur, hendaklah berwudhu’.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abū Dāūd dan Ibnu Mājah, dan ia juga disebut-sebut oleh Ibn-us-Sakan di dalam kitab Sunan-nya yang dinukil dari para Ulama Hadits yang shaḥīḥ-shaḥīḥ.
Yang dimaksudkan Hadits tersebut begini: Jaga (tidak tidur) adalah talinya dubur. Jadi kalau orangnya tidur, talinya terlepas. Dan dikecualikan, yaitu apabila orang yang tidur itu menetapkan pantatnya di tempat duduknya, menurut qaul yang shaḥīḥ. Walaupun ia bersandar pada sesuatu yang seandainya bergeser sedikit saja, orangnya terjatuh. Hal tersebut berdasarkan sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Anas r.a. Beliau berkata:
كَانَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ (ص) يَنَامُوْنَ، ثُمَّ يُصَلُّوْنَ وَ لَا يَتَوَضَّأُوْنَ. (رواه مسلم)
(زَادَ أَبُوْ دَاوُدَ: حَتَّى تَخْفِقَ رُؤُوْسُهُمْ، وَ كَانَ ذلِكَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ (ص).
“Para sahabat Rasūlullāh s.a.w. pada tidur, kemudian mereka shalat tanpa berwudhu’ lebih dulu.” (Riwayat Muslim)
(Dan Abū Dāūd menambah): hingga kepala mereka tersentuk-sentuk. Peristiwa itu terjadi pada zaman Rasūlullāh s.a.w.”
Para perawi Hadits ini, semuanya dapat dipercaya.
Di antara penyebab hilang akal yaitu pingsan, gila dan mabuk. Kesemuanya boleh merusak wudhu’ dalam keadaan yang bagaimanapun. Sebab, jika tidur saja boleh merusak wudhu’, maka ketiga-tiga perkara tersebut adalah lebih utama. Hilangnya akal tersebab ketiga-tiga perkara itu, adalah lebih besar daripada hilangnya akal dengan sebab tidur.
Apabila seseorang tidur dengan menetapkan pantatnya, kemudian salah satu bagian pantatnya bergeser (sehingga pantatnya tidak tetap), yang demikian itu apabila bergesernya sebelum ia terjaga, maka wudhu’-nya batal. Dan apabila bergeser sesudah itu terjaga, maka tidak batallah wudhu’nya.
Demikian juga apabila bergesernya pantat itu bersamaan dengan terjaganya atau masih diragukan, tetap tidak merusak wudhu’nya, sebab pada asalnya ia dikira masih dalam kesucian.
Andaikata orang itu tidur dengan telentang di atas tengkuknya dan pantatnya menempel pada tanah, wudhu’nya batal (rusak). Dan andaikata orang itu mengenakan cawat dari kain, seperti perempuan mustahadhah yang mengenakan cawat dari kain, wudhu’nya rusak, menurut madzhab yang kuat.
Ketahuilah, bahwa Imām Syāfi‘ī dan para Ulama telah berkata: Disunnatkan berwudhu’ karena tidur, walaupun orangnya menetapkan pantatnya di atas tanah untuk mengelakkan diri apa yang dipertelingkahkan (khilāf). Wallāhu a‘lam.