007-7 Tahapan Puji & Syukur | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 007 Tahapan Puji & Syukur | Minhaj-ul-Abidin

Bila anda bertanya: “Umur manusia begitu pendek, sementara tahapan-tahapan itu, sangat panjang dan sangat sulit ditempuh, lantas bagaimana supaya umur yang pendek ini dapat menyempurnakan syarat-syarat tersebut dan dapat digunakan untuk menempuh tahapan-tahapan itu?”

Demi umurku, memang benar tahapan-tahapan ini sangat panjang dan syarat-syaratnya pun sangat berat. Tetapi, jika Allah berkehendak memilih hamba-Nya dan menjadikan baginya yang panjang menjadi pendek dan yang berat menjadi ringan. Sehingga setelah bisa melampaui tahapan itu, ia akan berkata: “Alangkah dekatnya jalan ini, dan betapa mudah urusan ini!”

Dalam keadaan semacam ini, ketika sampai ke tujuan ini, aku berkata:

Tanda-tanda jalan kebaikan

begitu jelas bagi orang yang menginginkan

namun aku melihat hati manusia buta dari jalan ini

sungguh, aku heran, mengapa orang-orang celaka

sementara jalan keselamatan telah nyata

aku juga heran terhadap orang yang selamat

padahal jalan itu amat sulit.

Sehingga, untuk menempuh tahapan-tahapan ini di antara mereka ada yang memerlukan waktu tujuh puluh tahun. Tetapi ada pula yang hanya memerlukan waktu dua puluh tahun, setahun, sebulan, seminggu, satu jam, bahkan dalam sekejap, tentu saja dengan petunjuk khusus dan pertolongan yang telah ditetapkan dari Allah.

Tidakkah anda ingat kisah Ashḥāb-ul-Kahfi yang hanya membutuhkan waktu sekejap. Lantaran melihat perubahan yang ada pada wajah raja Diqyanus, mereka lalu berkata, sebagaimana ayat berikut:

رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَ الأَرْضِ لَنْ نَّدْعُوَ مِنْ دُوْنِهِ إِلَهًا

Artinya:

Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia.” (al-Kahfi: 14).

Mereka berhasil mencapai ma‘rifat dan mengetahui hakikat-hakikat yang ada di jalan ibadah ini serta dapat menempuh seketika. Akhirnya mereka bertawakkal kepada Allah dan istiqāmah, ketika mereka berkata, sebagaimana ayat berikut:

فَأْوُوْا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِّنْ رَّحْمَتِهِ

Artinya:

Maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Tuhan akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu.” (al-Kahfi: 16).

Semua ini dihasilkan hanya dalam waktu sesaat atau sekejap. Demikian pula kisah tukang sihir Fir‘aun. Hanya dalam waktu sekejap, yaitu ketika mereka melihat mu‘jizat Nabi Musa a.s., lalu mereka mengucapkan, sebagaimana ayat berikut:

آمَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ، رَبِّ مُوْسى وَ هَارُوْنَ

Artinya:

Kami beriman kepada Tuhan seru sekalian alam, Tuhannya Mūsā dan Hārūn.” (asy-Syu‘arā’: 47-48).

Mereka melihat jalan Allah dan menempuhnya, hanya dalam waktu beberapa saat, bahkan lebih sedikit, mereka menjadi orang-orang yang ma‘rifat kepada Allah, ridha kepada qadhā’-Nya, sabar menghadapi cobaan-Nya, bersyukur atas nikmat-Nya dan mendambakan bertemu dengan-Nya. Lalu mereka berkata, sebagaimana ayat berikut:

لاَ ضَيْرَ إِنَّا إِلى رَبِّنَا مُنْقَلِبُوْنَ

Artinya:

Tidaklah merugi sekalipun dibunuh. Sebab kita akan kembali kepada Tuhan.” (asy-Syu‘arā’: 50).

Sebagaimana telah aku ceritakan, bahwa Ibrāhīm bin Adham adalah seorang yang kaya raya. Semula ia tergiur oleh dunia, namun kemudian ia meninggalkannya dan bermaksud menempuh jalan akhirat. Baru saja berjalan antara Bulkhin sampai Marwarudz, beliau melihat seeorang terjatuh dari atas jembatan dan hampir tercebur ke dalam pusaran air bengawan meluap dahsyat. Seketika itu beliau berteriak: “Berhenti!” Dan seketika itu pula orang itu berhenti di udara, tidak jadi tercebur dan akhirnya selamat.

Rābi‘ah al-Bashriyyah adalah seorang budak yang usianya sudah tua, sehingga ketika ditawar-tawarkan keliling pasar Bashrah, tidak ada seorang pun yang mau membeli. Lalu seorang pedagang yang merasa kasihan membelinya dengan harga seratus dirham, kemudian memerdekakannya. Selanjutnya Rābi‘ah menempuh jalan akhirat dan mengkhususkan diri untuk beribadah. Belum genap setahun, para ahli zuhud, orang-orang terhormat dan para ulama negeri Bashrah datang mengunjunginya, lantaran ketinggian kedudukannya di sisi Allah.

Sedangkan orang yang tidak memperoleh ‘ināyah dari Allah dan tidak ditakdirkan mendapat karunia dan hidāyah-Nya, tentu ia dipasrahkan kepada dirinya sendiri. Terkadang dalam menempuh satu tahapan saja memerlukan waktu tujuh puluh tahun belum juga terlampaui. Berulangkali ia berteriak: “Alangkah gelapnya jalan ini! Betapa sulitnya menempuh tahapan ini!” Sebab, semua itu terletak pada satu pokok, yaitu ketetapan Allah Yang Maha Perkasa, Maha Mengetahui, Maha Adil lagi Maha Bijaksana.

Jika anda bertanya: “Mengapa menempuh jalan ini ada yang memperoleh perlakuan secara khusus dengan memperoleh taufiq secara khusus namun ada yang terhalang? Padahal keduanya sama-sama menjadi hamba Allah yang juga sama-sama menempuh jalan ibadah.” Pada pertanyaan semacam ini, tentu dikembalikan pada kemegahan dan kekuasaan Allah. Anda harus tetap memakai etika, dan ketahuilah benar-benar rahasia ketuhanan. Karena, Allah tidak ditanya mengenai apa saja yang Dia perbuat, tetapi semua makhluklah yang akan ditanya oleh Allah.”

Aku memberikan sebuah gambaran, bahwa tahapan panjang dan sukar menuju akhirat itu kiranya sama halnya dengan jembatan yang melintang di atas neraka di akhirat kelak. Di sana banyak pula rintangan yang harus dilewati, jaraknya jauh. Keadaan makhluk dalam melintasi jembatan itu berbeda-beda. Ada yang melewatinya bagaikan kilat, ada yang seperti angin, ada yang kecepatannya seperti larinya kuda bagus, dan ada yang secepat burung terbang. Tetapi apa juga yang berjalan biasa, dan ada yang merangkak hingga hangus seperti arang. Bahkan ketika melewatinya ada yang mendengar teriakan neraka Jahannam, dan ada yang terkena jilatan dan sambaran api neraka lalu diseret masuk ke dalam neraka Jahannam.

Jadi, ada dua jembatan, jembatan (shirāth) di dunia dan jembatan di akhirat. Shirat di akhirat itu untuk jiwa (an-nafs), yang bisa dilihat oleh orang yang ahli prilaku kewaskitaan (ahl-ul-abshār). Sedangkan shirath di dunia adalah untuk hati (qulūb), yang kondisi kedahsyatannya hanya sempurna. Perbedaan keadaan manusia satu dengan lainnya di akhirat kelak, dikarenakan perbedaan keadaan mereka di dunia. Renungkanlah keterangan ini dengan benar, semoga Allah menyertakan petunjuk-Nya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *