007-6 Tahapan Puji & Syukur | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 007 Tahapan Puji & Syukur | Minhaj-ul-Abidin

(Pasal): Ringkasnya, apabila anda membaguskan perenungan tentang karunia Allah yang besar dan nikmat Allah yang mulia yang ada pada diri anda, nikmat yang tidak terhitung oleh hati anda dan tidak dapat terliput oleh bayangan anda. Sehingga anda dapat melewati tahapan-tahapan yang sulit ini, lalu bisa memperoleh banyak ilmu dan terbuka mata hati anda serta bersih dari berbagai kesalahan dan dosa besar. Mampu melewati rintangan-rintangan, sanggup menolak penghalang-penghalang yang datang kemudian, dapat menemukan berbagai pendorong dan selamat dari perkara yang membuat cacat dan rusaknya ‘amal.

Betapa banyak pekerti mulia yang sudah anda hasilkan dan derajat luhur serta agung yang telah anda miliki. Pada bentuk awalnya anda memiliki kewaspadaan dan ma‘rifat kepada Allah, hingga yang paling akhir adalah predikat kedekatan dan kemuliaan. Anda pun merenungkan nikmat-nikmat itu dengan ukuran akal anda, dengan taufik yang anda terima dan bersyukur kepada Allah sesuai kemampuan anda. Lisan anda selalu sibuk memuji dan menyanjung-Nya, hati dipenuhi dengan keagungan dan kemegahan-Nya. Hingga sampailah anda pada sebuah kondisi yang dapat menghalangi anda berbuat maksiat kepada Allah. Dan anda termotivasi untuk berkhidmat kepada-Nya sesuai dengan kemampuan anda, dengan tetap menyadari akan kekurangan anda bahwa apa yang anda lakukan itu belum sampai pada pemenuhan hak syukur yang sebenarnya atas banyaknya nikmat yang diberikan Allah kepada anda.

Ketika anda sedikit saja lupa syukur kepada Allah, anda pun segera bersyukur kembali dengan penuh kesungguhan, bertambah mendekat dan merendahkan diri, bertawassul seraya berdoa:

يَا اللهُ يَا مَوْلاَيَ كَمَا بَدَأْتَ بِالإِحْسَانِ بِفَضْلِكَ مِنْ غَيْرِ اسْتِحْقَاقِ فَأَتْمِمْهُ بِفَضْلِكَ أَيْضًا مِنْ غَيْرِ اسْتِحْقَاقٍ

Artinya:

Ya Allah, Ya Tuhan kami, sebagaimana Engkau semula memberikan kebaikan berkat karunia-Mu tanpa ada hak bagiku, maka sempurnakanlah kebaikan itu dengan karunia-Mu pula, sekalipun tiada kepatutan bagiku.

Selanjutnya, memanggillah Allah seperti panggilan para kekasih Allah yang telah menemukan mahkota hidayah Allah dan merasakan manisnya ma‘rifat kepada Allah, lalu merasa takut dan khawatir kalau-kalau terusir dari hadapan-Nya, khawatir dihinakan, khawatir jauh serta mengalami pahitnya putus hubungan dengan Allah. Lalu merendahkan diri di depan pintu rahmat Allah sambil memohon pertolongan, menengadahkan tangan seraya memanggil-manggil di kesunyian:

رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَ هَبْ لَنَا مِن لَّدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

Artinya:

Ya Tuhan kami! Janganlah Engkau membelokkan hati kami sesudah Engkau menunjuki kami, dan semoga Engkau berkenan memberikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkaulah Maha Memberi.” (Āli ‘Imrān: 8).

Menurut pendapatku, uraian makna penjelas ayat tersebut ialah, Wallāhu a‘lam (Allah yang lebih mengetahui). Kami telah mendapatkan nikmat yang besar dari-Mu dan kami mengharap nikmat yang lain. Sebab, hanya Engkau-lah Yang Maha Memberi dan Maha Pemurah, sebagaimana Engkau memberikan kelebihan bermacam nikmat kepada kami di permulaan, maka semoga Engkau berkenan memberikan kesempurnaan rahmat di akhirnya.

Doa yang pertama-tama diajarkan Allah kepada kaum muslimin, yang merupakan hamba-hamba pilihan-Nya di antara sekian banyak makhluk-Nya adalah sebagaimana firman-Nya:

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ

Artinya:

Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus.” (al-Fātiḥah: 6).

Yakni, kokohkan dan tetapkanlah kami selalu berada pada jalan yang lurus. Demikianlah cara merendahkan diri dan mendekatkan kepada Allah, karena perintah ini, sungguh besar dan amat penting.

Dikatakan, menurut para ahli hikmah, pada garis besarnya musibah manusia itu ada lima macam, yaitu:

1. Sakit di pengasingan.

2. Fakir di hari tua.

3. Mati pada usia muda.

4. Mengalami kebutaan, sesudah dapat melihat.

5. Melupakan Allah sesudah sebelumnya dapat ma‘rifat.

Lebih bagus daripada itu, perhatikan syair berikut:

لِكُلِّ شَيْءٍ إِذَا فَارَقَتْهُ عِوَضٌ

وَ لَيْسَ للهِ فَارَقْتَ مِنْ عِوَضٍ

Segala sesuatu jika kamu tinggalkan tentu ada gantinya,

Tetapi, jika kamu meninggalkan Allah, maka tidak ada gantinya.

Ada pula penyair yang mengatakan:

إِذَا أَبْقَتِ الدُّنْيَا عَلَى الْمَرْءِ دِيْنَهُ

فَمَا فَاتَهُ مِنْهَا فَلَيْسَ بِضَائِرٍ

Apabila dunia masih menetapkan agama seseorang,

Maka apa pun yang hilang dari dunia itu tidak akan merugikannya.

Demikian pula setiap nikmat dan pengokohan anugerah yang diberikan Allah kepada anda dalam menempuh satu tahapan dari tahapan-tahapan tersebut, adalah untuk menetapkan pemberian-Nya kepada anda dan memberikan tambahan yang lebih dari apa yang anda inginkan.

Dengan begitu, berarti anda telah menempuh tahapan puji dan syukur yang sarat dengan bahaya ini, dan anda sudah mendapatkan dua perbendaharaan harta yang mulia, yaitu istiqamah dan selalu mendapatkan tambahan. Maka nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepada anda menjadi langgeng, tidak dikhawatirkan akan hilangnya nikmat itu. Dan anda juga mendapatkan nikmat Allah yang belum pernah diberikan kepada anda, yang mana kamu tidak mungkin memintanya. Selanjutnya, tanpa anda meminta dan berharap akan nikmat itu, anda pun tidak akan merasa khawatir kalau nikmat itu tidak diberikan kepada anda.

Kini, anda menjadi orang yang ma‘rifat kepada Allah, orang alim yang meng-‘amal-kan agama, yang diterima tobatnya, orang yang suci, zuhud terhadap dunia, tekun berkhidmat kepada Allah, sanggup mengalahkan syaithan, bertaqwā secara semestinya dengan segenap jiwa raga, pendek angan-angannya terhadap kesenangan dunia, memikirkan kemaslahatan umat, berserah diri dengan ridhā’, sabar, senantiasa mengharapkan rahmat Allah, ikhlas, senantiasa ingat akan karunia Allah dan mensyukuri nikmat Tuhan semesta alam. Selanjutnya anda menjadi orang yang sabar, lurus dan istiqāmah, termasuk dalam golongan para shiddīqīn yang dimuliakan Allah. Renungkanlah, keterangan ini, semoga Allah menyertakan sebaik-baik petunjuk-Nya.

Jika anda bertanya: “Jika begitu, tentu sedikit sekali manusia yang beribadah kepada Allah bisa sampai pada maksud itu. Siapakah yang mampu melakukan ibadah yang sedemikian sulit dengan syarat-syarat dan sunnah-sunnahnya yang sedemikian berat?”

Ketahuilah, Allah s.w.t. berfirman:

وَ قَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ

Artinya:

Dan sedikir sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.” (Saba’: 13).

Dan firman-Nya:

وَ لكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَشْكُرُوْنَ

Artinya:

Tetapi kebanyakan manusia itu tidak mensyukuri-Nya.” (Yūsuf: 38).

Hal tersebut, akan menjadi mudah bagi orang yang diberi kemudahan oleh Allah s.w.t. Kewajiban hamba hanyalah berusaha secara sungguh-sungguh, Allah-lah yang memberikan kemudahan dan petunjuk.

Allah s.w.t. berfirman:

وَ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

Artinya:

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (al-‘Ankabūt: 69).

Jika seorang hamba yang lemah melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya, maka apakah dugaan anda terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Kaya, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang?

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *