007-4 Tahapan Puji & Syukur | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 007 Tahapan Puji & Syukur | Minhaj-ul-Abidin

Kedua: Nikmat itu hanya akan dicabut dan dihilangkan dari orang yang tidak mengetahui kadar nikmat, yaitu orang yang suka mengingkari nikmat dan tidak pernah mau mensyukurinya. Sebagaimana firman Allah s.w.t.:

وَ اتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِيْ آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِيْنَ، وَ لَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا

Artinya:

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitāb), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu, lalu ia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda) maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan ayat-ayat itu.” (al-A‘rāf: 175-176).

Sebagai penjelas kiranya dapatlah diilustrasikan sebagai berikut, bahwa Aku (Allah) telah memberikan kenikmatan kepada hamba ini dengan kenikmatan-kenikmatan besar ini, dengan memberi kedudukan kepadanya bisa memperoleh pangkat pada pintu rahmat-Ku, supaya menjadi orang yang mulia di sisi-Ku. Akan tetapi, ia tidak mengetahui kadar nikmat-Ku. Lalu ia cenderung kepada dunia yang hina dan rendah serta menuruti kemauan nafsu syahwat. Lagi pula ia tidak mengetahui bahwa dunia ini di hadapan Allah tidaklah seimbang dengan nikmat agama yang paling kecil sekalipun. Namun dalam pandangannya hal itu tidak lebih dari bobot sayap seekor nyamuk saja.

Akhirnya, orang tersebut dalam kesenangannya kepada dunia, laksana anjing yang tidak mengerti dimuliakan orang dan tidak bisa membedakan mana kehormatan, kehinaan, kesengsaraan, serta tidak pula mengetahui tinggi dan mulianya martabat. Dalam kondisinya yang demikian ini, ia selalu menjulurkan lidah. Yang dianggap mulia menurut anjing ini, adalah jika ia mendapatkan secuil roti yang dapat segera dimakan, atau sekerat daging yang dilemparkan kepadanya. Ketika anda dudukkan di atas kursi berdekatan dengan anda, atau anda tempatkan di atas tanah dan kotoran yang ada di depan anda, tetap saja keinginannya, kemuliaan dan kenikmatannya hanyalah pada secuil roti atau sekerat daging.

Inilah perumpamaan hamba yang buruk, lantaran ketidaktahuannya terhadap nikmat-Ku dan tidak mengerti kemuliaan yang Aku berikan kepadanya. Mata hatinya buta, akhlaknya tercela, perhatiannya terfokus pada selain-Ku dan melupakan nikmat-Ku, sibuk dengan dunia yang hina dan kesenangan yang rendah. Lalu Aku memandangnya dengan pandangan menyiasati dan Aku mendatangkannya di lapangan pengadilan-Ku, Aku mencabut kemuliaan dan kehormatan, serta kema‘rifatan dari hatinya. Maka ia pun keluar dengan telanjang dari semua apa yang pernah Aku berikan kepadanya. Akhirnya, ia menjadi bagaikan anjing yang terusir atau setan yang terlempar secara hina dina.

Kemudian, aku lengkapi dengan sebuah contoh dengan maksud agar kiranya dapat memberikan sebuah pemahaman yang memuaskan. Ambil sebuah contoh, seorang raja yang memuliakan seseorang hambanya, memberikan pakaian khusus, mendekatkan hamba itu kepadanya dan menempatkannya di atas pelayan-pelayan lain. Raja juga memerintahkan agar tetap di depan pintunya. Ia memerintahkan supaya hamba ini dibangungkan sebuah rumah besar di tempat lain, dibuatkan singgasana yang tinggi, disediakan makanan, diberi budak perempuan yang cantik dan pelayan yang muda-muda. Kalau hamba ini pulang dari melayani sang raja, ia duduk di atas singgasananya bagaikan raja yang dilayani dan dimuliakan. Waktu antara ia melayani sang raja dengan ia dilayani bagaikan raja, hanyalah terpaut satu jam atau bahkan kurang.

Suatu ketika hamba ini melihat di dekat pintu istana raja ada perawat kuda sedang makan roti, atau melihat seekor anjing sedang menggerogoti tulang, lalu ia meninggalkan kerjanya melayani sang raja karena sibuk melihat dan memperhatikan perawat kuda atau anjing yang sedang makan itu, sama sekali tidak mempedulikan pakaian dan kemuliaannya. Kemudian ia mendekati perawat kuda untuk meminta secuil roti atau merebut tulang yang digerogoti anjing, seraya menganggap besar makanan itu. Apakah sang raja tatkala melihat hambanya dalam keadaan begini tidak lantas mengucap: “Hamba ini begitu rendah tujuannya. Tidak mengetahui hak kemuliaanku dan tidak mengerti betapa besar aku memuliakannya dengan pakaian-pakaian, aku mendekatkannya ke hadapanku, di samping apa yang aku lakukan terhadapnya, berupa perhatian dan pemberianku dengan berbagai kenikmatan. Orang semacam ini adalah orang yang himmahnya melorot, sangat bodoh dan sedikit akalnya. Tanggalkan pakaiannya dan usir dia dari pintuku!”

Hal tersebut adalah sebuah islustrasi tentang keadaan orang alim apabila condong kepada dunia, dan ahli ibadah apabila mengikuti hawa nafsu, sesudah mengetahui anugerah Allah, syari‘at dan hukum-Nya. Lalu ia jadi tidak mengerti kebesaran derajatnya, sehingga akhirnya menjadi orang yang paling hina di hadapan Allah. Ia menyukai dunia, berpayah-payah mencarinya dan lebih senang kepada dunia itu daripada semua yang telah diberikan Allah kepadanya, berupa nikmat ilmu, ibadah, berbagai hikmah dan hakikat.

Begitu pula halnya, orang yang diberi keistimewaan oleh Allah berupa petunjuk dan pemeliharaan serta dihiasi dengan beraneka kemampuan khidmat kepada Allah dan selalu diperhatikan oleh Allah dengan rahmat-Nya pada sebagian besar waktunya, dibanggakan Allah di kalangan para malaikat, diberi kedudukan dan kepemimpinan oleh Allah serta ditempatkan pada kedudukan sebagai orang yang agung. Sehingga seandainya ia berdoa pasti terkabul, seandainya meminta apa saja tentu dikabulkan dan dipenuhi, seandainya memberi syafa‘at kepada orang lain tentu diridhai, seandainya bersumpah atas nama Allah pasti diluluskan dan dipenuhi, seandainya di hatinya terdapat keinginan apa pun tentu diberi sebelum memohon dengan lisannya.

Orang yang demikian sifatnya, lantas tidak mengetahui besarnya nikmat semacam itu, atau tidak melihat keagungan pangkat ini, kemudian berubah mengikuti kesenangan nafsu jahat tanpa malu-malu atau menjilati dunia yang tidak kekal, tidak memandang kepada anugerah dan hadiah Allah, tidak melihat janji dan ancaman Allah di akhirat, tidak mengingat pahala yang agung dan nikmat yang luas lagi sempurna. Maka alangkah hinanya orang semacam ini. Alangkah buruk perbuatannya, alangkah besar bahaya harus dihadapinya, seandainya ia mengetahui. Betapa kejinya prilakunya, seandainya ia memahami. Kita memohon kepada Allah Yang Memiliki segala kebaikan lagi Maha Penyayang, agar berkenan menganugerahkan anugerah dan rahmat-Nya yang luas. Sungguh Ia Maha Penyayang daripada para penyayang.

Oleh sebab itu, wahai saudaraku, berjuanglah sekuat tenaga hingga dapat mengetahui keagungan anugerah dan kekuasaan rahmat Allah. Apabila anda diberi nikmat agama oleh Allah, maka berhati-hatilah, jangan sampai berpaling kepada dunia dan harta duniawi yang hina. Karena, yang demikian itu merupakan tindakan bodoh dan meremehkan anugerah besar Tuhan, yaitu nikmat agama. Belumkah anda mendengar firman Tuhan kepada tuan para rasul, yaitu Nabi Muḥammad s.a.w. sebagai berikut:

وَ لَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِيْ وَ الْقُرْآنَ الْعَظِيْمَ، لاَ تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ

Artinya:

Dan sesungguhnya Kami berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur’ān yang agung. Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (Orang-orang kafir itu).” (al-Ḥijr: 87-88).

Sebagai uraian penjelasannya ialah bahwa setiap orang yang dianugerahi Islam dan al-Qur’ān sebagai petunjuk, seharusnya ia tidak memandang dunia yang rendah dan hina ini dengan pandangan pengagungan dan menganggapnya baik. Apalagi dengan rasa cinta. Tetapi, hendaklah ia senantiasa bersyukur kepada Allah atas anugerah itu. Karena, nikmat agama dan al-Qur’ān merupakan kemuliaan yang sangat diingini oleh kekasih Allah, yaitu Nabi Ibrāhīm a.s. agar Allah berkenan memberikan kenikmatan yang besar itu kepada ayahnya. Namun, Allah tidak melakukannya. Juga sangat diinginkan oleh kekasih Allah, Nabi Muḥammad s.a.w. agar pamannya, Abū Thālib memperoleh anugerah itu, tetapi Allah tidak berkenan memberikannya.

Sementara itu, Allah melimpahkan harta duniawi kepada orang kafir, Fir‘aun orang yang durhaka, kafir zindiq, orang bodoh dan orang fasik. Orang-orang itu menurut Allah adalah orang-orang yang hina dan tidak berbobot, hingga pada tenggelam dalam dunia dan dijauhkan daripada nabi, orang-orang terpilih, orang-orang yang benar-benar beriman, orang-orang alim dan para ahli ibadah, yang kesemuanya merupakan hamba-hamba yang paling agung di sisi Allah. Mereka itu jarang sekali memperoleh secuil roti atau secarik kain penutup aurat mereka. Dan Allah memberikan karunia kepada mereka, tanpa menggelimangi mereka dengan kotoran dunia, sampai-sampai Allah berfirman kepada Nabi Mūsā dan Hārūn: “Apabila Aku berkehendak menghiasi anda berdua (Mūsā dan Hārūn) dengan suatu perhiasan, sehingga Fir‘aun tidak bisa mencari perhiasan seperti apa yang Aku berikan kepada kalian, tentu Aku bisa. Tetapi, Aku menyingkirkan dunia dari kalian, agar kalian membenci dunia, sebagaimana penggembala onta mencegah ontanya dari tempat berkembang biaknya kudis. Aku menjauhkan pada kekasih-Ku dari cinta dunia. Jauh dari dunia bukanlah lantaran kehinaan mereka di sisi-Ku, melainkan agar mereka menyempurnakan bagian kemuliaan-Ku.”

Allah s.w.t. berfirman:

وَ لَوْ لاَ أَنْ يَكُوْنَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً لَجَعَلْنَا لِمَنْ يَكْفُرُ بِالرَّحْمنِ لِبُيُوْتِهِمْ سُقُفًا مِّنْ فَضَّةٍ

Artinya:

Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka.” (az-Zukhruf: 33).

Renungkanlah ayat tersebut secara cerdas, lalu ucapkanlah:

الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ مَنَّ عَلَيْنَا بِمِنَنِ أَوْلِيَائِهِ وَ أَصْفِيَائِهِ وَ صَرَّفَ عَنَّا فِتْنَةَ أَعْدَائِهِ لِنَحْظَى وَ لِنُخَصَّ بِالشُّكْرِ الأَوْفَرِ وَ الْحَمْدِ الْأَكْبَرِ وَ الْمِنَّةِ الْكُبْرَى وَ النَّعْمَةِ الْعُظْمَى الَّتِيْ هِيَ الإِسْلاَمُ فَإِنَّهَا الأَوْلَى وَ الأَحْرَى.

Artinya:

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan karunia kepada kita dengan karunia seperti yang diberikan kepada para kekasih dan para pilihan-Nya, serta memalingkan kita dari fitnah musuh-musuhNya, agar kita memperoleh dan diberi kekhusukan dengan syukur yang sempurna, puji yang agung, karunia yang besar dan nikmat yang agung, yaitu Islam. Karena, nikmat Islam itulah yang lebih utama dan lebih patut.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *