Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ الْبَوْلُ فِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ).
[Dan kencing di dalam air yang tenang (tidak mengalir)].
Yang terkandung kata-kata pengarang di atas itu begini: Orang yang qadhā’ ḥājat hendaklah menjauhi dari kencing di dalam air yang tenang (tidak mengalir). Imām Rāfi‘i menganggap “menjauhi kencing di dalam air yang tenang” ini sebagai bagian dari adab (tata-krama). Imām Nawawī, di dalam Kitab ar-Raudhah mengikuti Imām Rāfi‘ī dengan mengambil ḥujjah sabda Rasūlullāh s.a.w.:
لَا يَبُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ. (وَ فِيْ رِوَايَةٍ) الرَّاكِدِ.
“Janganlah ada di antara kamu yang kencing di dalam air yang tenang. (Di dalam riwayat lain) di air yang bertakung.”
Imām Rāfi‘ī berkata: Larangan ini termasuk air yang sedikit dan air yang banyak, sebab boleh menyebabkan kotornya air itu. Malah larangan kencing di dalam air yang sedikit, lebih keras, sebab boleh menajiskan airnya. Dan masalah makruhnya kencing di dalam air yang tenang pada waktu malam, itu juga lebih berat, sebab ada yang mengatakan bahwa air jika pada waktu malam menjadi tempat pengungsian para jinn. Jadi jangan dikencingi dan jangan dibuat mandi, sebab dikhawatirkan ada bahaya yang ditimbulkan oleh jinn. Demikianlah hukum kencing di dalam air yang tenang. Adapun kencingnya di dalam air yang mengalir, Imām Nawawī berkata di dalam Syarḥ-ul-Muhadzdzab: Sekelompok Ulama mengatakan bahwa jika air yang mengalir itu sedikit, hukumnya makruh. Dan jika banyak tidak makruh. Akan tetapi kata para Ulama ini masih perlu diteliti.
Seyogianya diharamkan, kencing di dalam air yang sedikit, tanpa ada khilaf. Sebab kencing di dalam air yang sedikit itu merusak air, sehingga merugikan dirinya dan orang lain. Jika airnya banyak, yang lebih baik, harus dijauhi. Namun Ibnu Rif‘ah memastikan makruhnya kencing di dalam air banyak yang mengalir, pada waktu malam karena dikhawatirkan bahaya kaum jinn. Wallāhu a‘lam.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ الْمُثْمِرَةِ)
[Dan di bawah pohon yang berbuah].
Artinya, seseorang itu hendaknya menjauhi kencing di bawah pohon yang berbuah. Lebih-lebih lagi jika ia berak. Yang menjadi hikmah sehubungan dilarangnya kencing dan berak di bawah pohon yang ada buahnya. Yaitu jangan sampai buah dari pohon itu terkena najis, kemudian menjadi rusak atau dipandang jijik oleh orang. Yang dimaksud al-mutsmirah ialah pepohonan yang biasanya mengeluarkan buah. Demikian kata Imām Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab. Oleh sebab itu, pada waktu pohon itu belum berbuah, kemakruhannya lebih ringan.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ فِي الطَّرِيْقِ)
[Dan di jalanan].
Artinya, seseorang itu hendaknya tidak kencing di jalanan umum, apalagi berak. Sebab sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
اِتَّقُوْا اللَّعَّانَيْنِ. قَالُوْا: وَ مَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ يَتَخَلَّى فِيْ طَرِيْقِ النَّاسِ أَوْ ظِلِّهِمْ.
“Takutlah pada dua orang yang menimbulkan kelaknatan orang banyak. Para sahabat bertanya: Siapa dua orang yang menimbulkan kelaknatan dari orang banyak itu? Rasūlullāh s.a.w. menjawab: Yaitu orang yang berak di jalanan umum atau di tempat berteduhnya orang banyak.” (Riwayat Muslim).
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ الثُّقْبِ)
[Dan di dalam lubang].
Maksudnya, seseorang itu hendaknya menjauhi kencing di dalam lubang, yaitu lubang yang ada di dalam tanah. Kadang-kadang memakai kata-kata bukhsyi untuk menyatakan lubang. Sebab Rasūlullāh s.a.w. melarang kencing di dalam lubang. Karena lubang di tanah itu adalah tempatnya jinn. Hadits ini diriwayatkan oleh Abū Dāūd dan an-Nasā’ī. Al-Ḥākim berkata: Hadits ini Hadits shaḥīḥ, memakai syaratnya Imām Bukhārī dan Imām Muslim.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ الظِّلِّ)
[Dan di tempat bernaung].
Artinya, seseorang itu hendaknya menjauhi kencing (apalagi berak) di tempat untuk berteduh. Sebab sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
اِتَّقُوا الْمَلَاعِنَ الثَّلَاثَةَ: الْبِرَازَ فِي الْمَوَارِدِ وَ قَارِعَةِ الطَّرِيْقِ وَ الظِّلِّ. (رواه أبو داود).
“Takutlah kamu pada tiga tempat yang dilaknati. Yaitu, berak di dalam air yang didatangi oleh orang ramai. Berak di tengah jalanan dan berak di tempat untuk berteduh.” (Riwayat Abū Dāūd).
Yang disebut al-mawārid ialah tempat yang biasa didatangi orang ramai. Ada yang mengatakan: Aliran air. Qāri‘at-uth-Tharīq artinya: Jalan yang ada di atas. Ada yang mengatakan: Permukaan jalan. Ada yang mengatakan: Yang tampak pada jalan. Tempat yang disinari matahari pada waktu musim hujan, sama dengan tempat untuk berteduh pada waktu musim kemarau.
Haram kencing di atas kuburan, sebagaimana haramnya duduk-duduk di atasnya juga. Demikian juga kencing di dalam masjid, walaupun disediakan wadah menurut qaul yang rājiḥ yang difatwakan. Makruh, kencing dengan keadaan berdiri kecuali jika ada udzur. Sebab Nabi Muḥammad s.a.w. pernah kencing dengan keadaan berdiri itu karena ada udzur.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ لَا يَتَكَلَّمُ عَلَى الْبَوْلِ وَ الْغَائِطِ)
[Dan tidak boleh omong-omong pada waktu kencing dan berak.]
Artinya, disunnatkan tidak berbicara pada waktu kencing dan berak. Abū Sa‘īd berkata: Saya mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
لَا يَخْرُجِ الرَّجُلَانِ يَضْرِبَانِ الْغَائِطَ كَاشِفَىْ عَوْرَتَيْهِمَا يَتَحَدَّثَانِ، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى يَمْقُتُ عَلَى ذلِكَ.
“Jangan sampai ada dua orang yang keluar perlu mendatangi kakus dengan membuka auratnya, lalu omong-omong. Sebab Allah ta‘ālā benci kepada orang semacam itu.” (Riwayat Abū Dāūd).
Maqti artinya benci yang terlalu.
Bercakap-cakap pada waktu kencing atau berak, hukumnya makruh, tetapi tidak sampai haram. Sama dengan sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ.
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak.”
Menjawab salam dipersamakan dengan bercakap-cakap. Demikian juga mendoakan orang yang bersin dan membaca al-ḥamdulillāh waktu bersin. Jadi orang yang berak jika bersin, hendaklah memuji Allah dalam hati saja. Tidak perlu menggeraknya mulutnya.
Al-Muḥibb ath-Thabarī berkata: Sebaiknya orang yang sedang berak atau kencing tidak disertai makan atau minum. Dan sebaiknya lagi ia tidak melihat kotoran yang keluar atau melihat farjinya atau melihat ke atas dan tidak memain-mainkan tangannya.
Makruh, duduk berlama-lama (dengan berjongkok) di kakus. Dan makruh, membawa sesuatu yang ada tulisan nama Allah, seperti cincin dan dirham. (Pada zaman dahulu, dirham itu ada tulisan surat al-Ikhlāsh-nya). Demikian juga yang ada tulisan al-Qur’ānnya. Adapun nama Rasūlullāh, disamakan dengan nama Allah, sebab untuk mengagungkan Rasūlullāh s.a.w.
Rasūlullāh s.a.w. jika hendak masuk ke kakus, beliau melepas (menanggalkan) cincinnya dulu. Sebab cincinnya terdapat tulisan Muḥammad-ur-Rasūlullāh. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzī. Beliau berkata Hadits ini Hadits ḥasan dan shaḥīḥ. Al-Ḥākim berkata: Hadits tersebut menggunakan syaratnya Imām Bukhārī dan Imām Muslim.
Ketahuilah, bahwa semua nama yang mu‘azhzham (yang dimuliakan) disamakan dengan apa yang sudah diterangkan tadi, dalam hal melepas (menanggalkan cincin). Demikian ini sudah diterangkan oleh Imām Ḥaramain, dan diikuti oleh Ibnu Rif‘ah. Dalam bab ini, nama-nama Utusan Allah dan Nabi Allah juga tidak terkecuali, ‘Alaihim-ush-Shalātu was-Salām.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ لَا يَسْتَقْبِلِ الشَّمْسَ وَ الْقَمَرَ وَ لَا يَسْتَدْبِرْهُمَا)
[Dan tidak menghadap ke matahari atau bulan dan juga tidak membelakanginya].
Menghadap matahari atau bulan pada waktu berak maupun kencing, hukumnya makruh. Baik di tanah lapang atau di dalam bangunan (rumah WC) dan sebagainya. Sebab matahari dan bulan adalah bukti kebenaran Allah yang nyata, di samping ada suatu Hadits yang menyatakan kemakruhan menghadap matahari dan bulan.
Apakah membelakangi matahari dan bulan juga dimakruhkan? Imām Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab berkata: Qaul shaḥīḥ yang masyhur, yaitu yang sudah dipastikan oleh Jumhur, hukumnya tidak makruh. Tetapi Imām Rāfi‘ī memastikan di dalam tambahan kitabnya yaitu makruh, sama dengan menghadap matahari dan bulan. Imām Nawawī sepakat dengan Imām Rāfi‘ī di dalam masalah itu.
Tetapi Imām Nawawī berbeda pendapat pula dengan Imām Rāfi‘ī mengenai kemakruhan dua perkara ini, tersebut di dalam kitab al-Wasīth. Beliau berkata: Imām Syāfi‘ī dan kebanyakan ulama tidak pernah menerangkan bahwa orang yang qadhā’ ḥājat tidak boleh menghadap matahari dan bulan. Yang dipilih yaitu kewenangan menghadap matahari atau bulan. Jadi menghadap atau tidak, sama saja. Di dalam kitab at-Taḥqīq, Imām Nawawī berkata: Kemakruhan menghadap, itu tidak ada dalilnya sama sekali. Wallāhu a‘lam.