006 Hubungannya Dengan Para Khalifah – Imam Muhammad Al-Baqir Putra Imam Ali Zain ul-Abidin

Dari Kitab:

IMAM MUHAMMAD AL-BAQIR R.A.
PUTRA
IMAM ALI ZAIN UL-ABIDIN R.A.

Oleh: H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini

Penerbit: C.V. Toha Putera - Semarang

Hubungannya dengan para “Khalīfah” Bani Umayyah pada zamannya.

Imām Muḥammad al-Bāqir r.a. mengalami beberapa kali pergantian para “Khalīfah” Bani Umayyah, mulai ‘Abdul-Mālik bin Marwān, Sulaimān bin ‘Abdul-Mālik, ‘Umar bin ‘Abdul-‘Azīz, Yazīd bin ‘Abdul-Mālik hingga Hisyām bin ‘Abdul-Mālik.

Sudah barang tentu Imām Muḥammad al-Bāqir r.a. mempunyai pendirian sendiri yang jelas, tegas dan terus-terang terhadap para “Khalīfah” yang di alami selama masa hidupnya. Ia mengetahui benar apa yang dilakukan oleh masing-masing dari mereka, mulai dari soal-soal yang tampak kecil dan remeh sampai soal-soal yang besar dan penting. Ia pun tahu pula bagaimana cara menghadapi kesemuanya itu, dan bagaimana pula cara menolak dengan tegas segala sesuatu yang dipandang menyimpang dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

Marilah kita ketahui lebih dahulu bagaimana hubungannya dengan “Khalīfah” ‘Abdul-Mālik bin Marwān. Meskipun ‘Abdul-Mālik bin Marwān itu seorang Khalīfah Bani Umayyah yang berkuasa pada zaman hidupnya Imām ‘Alī Zainul ‘Ābidīn r.a., tetapi banyak para ahli riwayat dan para penulis sejarah mengetengahkan kisah tentang pembuatan uang logam yang berlaku di kalangan kaum Muslimin pada masa itu, dilakukan oleh penguasa atas dasar saran dan pendapat Imām Muḥammad al-Bāqir r.a. Kisah mengenai persoalan tersebut banyak dikutip oleh para ahli riwayat dan para penulis sejarah pada zaman-zaman berikutnya.

Konon, ketika daulat Bani Umayyah sedang menghadapi kesulitan dalam hubungan luar-negerinya dengan Rumawi, berkenaan masih terus berlakunya mata uang logam Rumawi di daerah-daerah bekas jajahannya yang telah jatuh ke tangan daulat Bani Umayyah; “Khalīfah” ‘Abdul-Mālik bin Marwān minta pendapat para pemuka masyarakat mengenai bagaimana sebaiknya mata uang logam Islam harus dibuat. Dalam suatu pertemuan, seorang bernama Rauḥ bin Zannya’ berkata kepada ‘Abdul-Mālik: “Sesungguhnya anda mengetahui jalan keluar dari persoalan ini, tetapi anda rupanya sengaja tidak mau menyebut nama orang yang sanggup memecahkan persoalan yang sedang anda hadapi”. ‘Abdul-Mālik kelihatan agar gusar, kemudian cepat-cepat bertanya: “Siapa?” Rauḥ menjawab: “al-Bāqir, orang dari Ahlul-Bait, keluarga Nabi!” “Oh, ya….. engkau benar,” kata ‘Abdul-Mālik. Ia lalu memerintahkan pegawainya supaya mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mendatangkan Imām Muḥammad al-Bāqir r.a. dari Madīnah ke Damaskus. Kedatangannya di ibu kota daulat Bani Umayyah itu, Imām al-Bāqir r.a. mendapat sambutan baik. Ini tidak mengherankan, karena ‘Abdul-Mālik sedang membutuhkan pemikirannya.

Dalam kesempatan itu Imām Muḥammad al-Bāqir r.a. mengajukan pendapat, saran dan usul supaya mata uang logam yang akan dibuat hendaknya melukiskan akidah tauhid dan menyebut Rasul Allah s.a.w., baik pada sisi mata uang Dīnār maupun Dirham. Kecuali itu ia juga menyarankan bentuk uang emas atau perak yang akan dibuat, bagaimana cara pembuatannya, tulisan-tulisan apa yang perlu dicetak pada kedua sisinya, nilai dan berat timbangan masing-masing dari Dīnār dan Dirham, tahun pembuatan uang, daerah-daerah tempat berlaku dan peredarannya, dan lain-lain. Dengan tegas Imām Muḥammad al-Bāqir r.a. menyarankan, supaya ‘Abdul-Mālik mengundangkan berlakukannya mata uang Islam itu di seluruh wilayah Islam, dengan disertai sanksi, bahwa orang yang mempergunakan mata uang asing sebagai alat pembayaran di dalam wilayah Islam diancam dengan hukuman berat. Apa yang disarankan oleh Imām Muḥammad al-Bāqir r.a. itu semuanya diterima baik dan dilaksanakan oleh “Khalīfah” ‘Abdul-Mālik.

Demikianlah ringkasan kisah tentang pembuatan mata uang Islam pada zaman kekuasaan ‘Abdul-Mālik bin Marwān. Kisah tersebut selengkapnya dapat ditemukan dalam buku “al-Maḥāsinu wal-Masāwi” yang ditulis oleh al-Buhaifiy, jilid II halaman 129.

Dari kisah riwayat tersebut tampak jelas bahwa Imām Muḥammad al-Bāqir r.a. tidak a priori (lit. “from the earlier”) anti penguasa Bani Umayyah. Terbukti ia bersedia membantu tindakannya yang baik untuk memperkokoh kedudukan ummat Islam di mata dunia.

Perlu kiranya disebutkan, bahwa terdapat banyak riwayat yang mengatakan, pembuatan mata uang Islam yang pertama kali diberlakukan pada zaman kekhalifahan Amīrul-Mu’minīn ‘Alī bin Abī Thālib r.a. untuk menggantikan mata uang yang telah lama berlaku sebelumnya, yaitu mata uang serupa dengan mata uang Persia yang lazim disebut dengan “uang baghly”, terbuat dari logam. Pembuatan mata uang Islam pada zaman kekhalifahan Imām ‘Alī r.a. dilakukan di kota Bashrah pada tahun 40 Hijriah, tetapi sejarah mata uang Islam dinyatakan mulainya pada tahun 70 Hijriah, yaitu pada zaman kekuasaan “Khalīfah” ‘Abdul-Mālik bin Marwān.

Pada umumnya para penulis riwayat berpendapat, mungkin dua versi riwayat tentang kapan mulainya pembuatan mata uang Islam seperti tersebut di atas sama benarnya. Mata uang yang dibuat pada zaman kekhalifahan Imām ‘Alī berlaku beberapa waktu lamanya di samping masih tetap beredarnya mata uang yang dibuat oleh Rumawi. Dengan berpindahnya kekuasaan ke tangan orang-orang Bani Umayyah, mata uang yang dibuat pada zaman kekhalifahan Imām ‘Alī r.a. dihentikan peredarannya, sedangkan mata uang buatan Rumawi dibiarkan tetap berlaku, dan mata uang inilah yang kemudian diganti dengan mata uang Islam oleh ‘Abdul-Mālik berdasarkan pendapat dan saran-saran Imām Muḥammad al-Bāqir r.a.

Mengenai pembuatan mata uang Islam pada zaman kekuasaan ‘Abdul-Mālik itu terdapat satu persoalan yang menimbulkan tanda tanya, karena pada waktu itu Imām Muḥammad al-Bāqir r.a. masih berusia 19 tahun, dan ayahnya, Imām ‘Alī Zainul ‘Ābidīn r.a. masih hidup hingga tahun 94 Hijriah. Sesudah tahun itu barulah keimaman berada di tangan Imām Muḥammad al-Bāqir r.a. Karena itu terdapat kemungkinan yang menyarankan cara pembuatan dan bentuk mata uang Islam itu adalah Imam ‘Alī Zainul ‘Ābidīn r.a. Akan tetapi di samping kemungkinan itu masih ada kemungkinan yang mendekati kebenaran, yaitu Imām Muḥammad al-Bāqirlah yang menyarankan cara pembuatan dan bentuk mata uang Islam kepada ‘Abdul-Mālik, sebagaimana yang banyak diberitakan oleh berbagai riwayat. Dalam hal itu usia muda Imām al-Bāqir r.a. tidak menjadi ukuran. Tidak mustahil juga kalau Imām ‘Alī Zainul ‘Ābidīn r.a. mewakilkan putranya, Muḥammad al-Bāqir r.a., untuk mengatasi persoalan tersebut.

Marilah kita kembali kepada masalah hubungan antara Imām Muḥammad al-Bāqir r.a. dengan para “Khalīfah” Bani Umayyah yang sezaman dengan masa hidupnya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *