Hati Senang

005 Perkara Yang Membatalkan Wudhu’ – FIQH Populer Terjemah FATHUL MU’IN

FIQH Populer
Terjemah Fath-ul-Mu‘in
Penulis: Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul-‘Aziz al-Malibari
(Judul Asli: Fatḥ-ul-Mu’īni Bi Syarḥi Qurrat-il-‘Aini Bi Muhimmāt-id-Dīn)


Penerjemah: M. Fikril Hakim, S.H.I. dan Abu Sholahuddin.
Penerbit: Lirboyo Press.

PERKARA YANG MEMBATALKAN WUDHU’

 

(وَ نَوَاقِضُه)ُ أَيْ أَسْبَابُ نَوَاقِضِ الْوُضُوْءِ أَرْبَعَةٌ: أَحَدُهَا: (تَيَقُّنُ خُرُوْجِ شَيْءٍ) غَيْرُ مَنِيِّهِ، عَيْنًا كَانَ أَوْ رِيْحًا، رَطْبًا أَوْ جَافًا، مُعْتَادًا كَبَوْلٍ أَوْ نَادِرًا كَدَمِ بَاسُوْرٍ أَوْ غَيْرِهِ، انْفَصَلَ أَوْ لَا – كَدُوْدَةٍ أَخْرَجَتْ رَأْسَهَا ثُمَّ رَجَعَتْ – (مِنْ أَحَدِ سَبِيْلِيْ) الْمُتَوَضِّئِ (الْحَيِّ) دُبُرًا كَانَ أَوْ قُبُلًا. (وَ لَوْ) كَانَ الْخَارِجُ (بَاسُوْرًا) نَابِتًا دَاخِلَ الدُّبُرِ فَخَرَجَ أَوْ زَادَ خُرُوْجُهُ. لكِنْ أَفْتَى الْعَلَّامَةُ الْكَمَالُ الرَّدَّادُ بِعَدَمِ النَّقْضِ بِخُرُوْجِ الْبَاسُوْرِ نَفْسِهِ بَلْ بِالْخَارِجِ مِنُهُ كَالدَّمِ. وَ عَنْ مَالِكٍ: لَا يَنْتَقِضُ الْوُضُوْءُ بِالنَّادِرِ.

Sebab-sebab yang membatalkan wudhu’ ada empat. (11) Yang pertama adalah (yakin keluarnya sesuatu) yang selain spermanya sendiri (22) baik berupa benda atau angin, basah ataupun kering, yang telah lumrah keluar seperti air kencing atau jarang seperti darah bawasir atau yang lainnya, terpisah ataupun tidak (33) seperti cacing yang mengeluarkan kepalanya lantas kembali lagi. (dari salah satu dari dua jalan) orang yang berwudhu’ (yang masih hidup) (44) baik itu anus ataupun alat kelamin. (Walaupun) perkara yang keluar adalah (penyakit bawasir) yang tumbuh di dalam anus, lalu penyakit itu keluar atau semakin keluar, namun seorang yang sangat alim yakni Imām al-Kamāl ar-Raddād berfatwa bahwa keluarnya penyakit bawasir sendiri tidaklah membatalkan wudhu’, namun yang membatalkan adalah dengan sebab sesuatu yang keluar dari efek penyakit itu seperti darah. Dari Imam Malik: Tidaklah batal wudhu’ dengan sebab benda yang jarang keluar.

(وَ) ثَانِيْهَا: (زَوَالُ عَقْلِ) أَيْ تَمْيِيْزٍ، بِسُكْرٍ أَوْ جُنُوْنٍ أَوْ إِغْمَاءٍ أَوْ نَوْمٍ، لِلْخَبَرِ الصَّحِيْحِ: فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ. وَ خَرَجَ بِزَوْالِ الْعَقْلِ النُّعَاسُ وَ أَوَائِلُ نَشْوَةِ السُّكْرِ، فَلَا نَقْضَ بِهِمَا، كَمَا إِذَا شَكَّ هَلْ نَامَ أَوْ نَعُسَ؟ وَ مِنْ عَلَامَةِ النُّعَاسِ سِمَاعُ كَلَامِ الْحَاضِرِيْنَ وَ إِنْ لَمْ يَفْهَمْهُ، (لَا) زَوَالُهُ (بِنَوْمٍ) قَاعِدٍ (مُمَكِّنُ مَقْعَدَهُ) أَيْ أَلْيَيْهِ مِنْ مَقَرِّهِ، وَ إِنِ اسْتَنَدَ لِمَا لَوْ زَالَ سَقَطَ أَوِ احْتَبَى، وَ لَيْسَ بَيْنَ مَقْعَدِهِ وَ مَقَرِّهِ تِجَافٍ. وَ يَنْتَقِضُ وُضُوْءُ مُمَكِّنٍ اِنْتَبَهَ بَعْدَ زَوَالِ أَلْيَتِهِ عَنْ مَقَرِّهِ، لَا وُضُوْءُ شَاكٍّ هَلْ كَانَ مُمْكِنًا أَوْ لَا؟ أَوْ هَل زَالَتْ أَلْيَتِهِ قَبْلَ الْيَقَظَةِ أَوْ بَعْدَهَا؟.. وَ تَيَقُّنُ الرُّؤْيَا مَعَ عَدَمِ تَذَكُّرِ نَوْمٍ لَا أَثَرَ لَهُ بِخِلَافِهِ مَعَ الشَّكِّ فِيْهِ لِأَنَّهَا مُرَجَّحَةٌ لِأَحَدِ طَرْفَيْهِ.

(Yang) keduanya adalah (hilangnya akal) maksudnya adalah kesadarannya dengan sebab mabuk, gila, epilepsi atau tidur sebab hadits yang shaḥīḥ: Barang siapa tidur, maka berwudhu’lah. Dikecualikan dengan hilangnya kesadaran adalah mengantuk dan permulaan mabuk, maka dua hal tersebut tidak membatalkan wudhu’ seperti ketika seorang ragu apakah telah tertidur atau hanya mengantuk. Sebagian dari tanda mengantuk adalah masih mendengar pembicaraan orang yang ada walaupun tidak faham. (Tidak) dengan hilangnya kesadaran (sebab tidur) dengan posisi duduk (yang menetapkan pantatnya di tempat duduknya) (55) walaupun ia bersandar pada suatu benda sekira benda tersebut hilang, maka ia akan ambruk, atau walaupun ia tidur dengan posisi memeluk lutut sedang di antara tempat duduk dan menetapnya tidak ada renggang. (66) Batal wudhu’nya seorang yang menetapkan pantatnya yang tersadar setelah kondisi pantat tidak pada tempat menetapnya. Tidak batal wudhu’nya orang yang ragu apakah menetapkan pantat atau tidak?, apakah kedua pantatnya tidak pada kondisi di tempat menetapnya sebelum sadar atau setelahnya? Yakin bermimpi besertaan tidak ingat tidur tidaklah memberi dampak sama sekali. Berbeda bila ketika ragu tentang hal itu sebab yakin bermimpi merupakan hal yang lebih diunggulkan dari salah satu dari dua sisi keraguan. (77)

(وَ) ثَالِثُهَا: (مَسَّ فَرْجِ آدَمِيٍّ) أَوْ مَحَلُّ قَطْعِهِ، وَ لَوْ لِمَيِّتٍ أَوْ صَغِيْرٍ، قُبُلًا كَانَ الْفَرْجُ أَوْ دُبُرًا مُتَّصِلًا أَوْ مَقْطُوْعًا، إِلَّا مَا قُطِعَ فِي الْخِتَانِ. وَ النَّاقِضُ مِنَ الدُّبُرِ مُلْتَقَى الْمُنْفَذِ، وَ مِنْ قُبُلِ الْمَرْأَةِ مُلْتَقَى شُفْرَيْهَا عَلَى الْمَنْفَذِ لَا مَا وَرَاءَهُمَا كَمَحَلِّ خِتَانِهَا. نَعَمْ، يُنْدَبُ الْوُضُوْءُ مِنْ مَسِّ نَحْوِ الْعَانَةِ، وَ بَاطِنِ الْأَلْيَةِ، وَ الْأُنْثَيَيْنِ، وَ شَعْرٍ نَبَتَ فَوْقَ ذَكَرٍ، وَ أَصْلِ فَخْذٍ، وَ لَمْسِ صَغِيْرَةٍ وَ أَمْرَدٍ وَ أَبْرَصَ وَ يَهُوْدِيٍّ، وَ مِنْ نَحْوِ فَصْدٍ، وَ نَظْرٍ بِشَهْوَةٍ وَ لَوْ إِلَى مَحْرَمٍ، وَ تَلَفُّظٍ بِمَعْصِيَةٍ، وَ غَضَبٍ، وَ حَمْلٍ مَيِّتٍ وَ مَسِّهِ، وَ قَصِّ ظُفْرٍ وَ شَارِبٍ، وَ حَلْقِ رَأْسِهِ. وَ خَرَجَ بِآدَمِيٍّ فَرْجُ الْبَهِيْمَةِ إِذْ لَا يُشْتَهَى، وَ مِنْ ثَمَّ جَازَ النَّظْرُ إِلَيْهِ. (بِبَطْنِ كَفٍّ) لِقَوْلِهِ (ص): مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ، وَ فِيْ رِوَايَةٍ: مَنْ مَسَّ ذَكَرًا فَلْيَتَوَضَّأْ. وَ بَطْنُ الْكَفِّ هُوَ بَطْنُ الرَّاحَتَيْنِ وَ بَطْنُ الْأَصَابِعِ و الْمُنْحَرِفِ إِلَيْهِمَا عِنْدَ انْطِبَاقِهِمَا، مَعَ يَسِيْرِ تَحَامُلٍ دُوْنَ رُؤُوْسِ الْأَصَابِعِ وَ مَا بَيْنَهَا وَ حَرْفُ الْكَفِّ.

Yang ketiganya adalah menyentuh kemaluan manusia atau tempat terpotongnya walaupun milik mayit atau anak kecil, baik kemaluan tersebut kelamin atau anus, masih menempel atau sudah terputus (88) kecuali anggota yang terputus di saat khitan. (99) Anggota yang batal disentuh dari anus adalah dua bibir lubang anus dan dari kelamin wanita adalah dua bibir vagina, tidak bagian selain dari keduanya seperti tempat khitan. Benar tidak membatalkan, namun disunnahkan berwudhu’ dari menyentuh sejenis bulu kemaluan, bagian dalam pantat, (1010) dua testis, rambut yang tumbuh di atas dzakar, pangkal paha, menyentuh wanita kecil, menyentuh lelaki tampan yang belum berkumis, menyentuh orang berpenyakit lepra, menyentuh orang Yahudi, setelah bekam, melihat dengan syahwat, walaupun pada mahramnya, mengucapkan maksiat, marah, membawa mayit dan menyentuhnya, memotong kuku dan mencukur kumis, dan mencukur rambut. Dikecualikan dari manusia adalah kemaluan hewan sebab hewan tidaklah menimbulkan nafus oleh karena itu diperbolehkan untuk melihat kemaluannya. (Menyentuh yang dapat membatalkan adalah bila dengan menggunakan bagian dalam telapak tangan) sebab sabda Rasūl s.a.w.: Barang siapa menyentuh kemaluan – dalam satu riwayat – Barang siapa menyentuh dzakar, maka berwudhu’lah. Batin telapak tangan adalah bagian dalam dari telapak tangan, batin jari-jari, dan anggota yang membengkok ke arah keduanya ketika ditelangkupkan dengan sedikit menekan, (1111) bukan ujung jari-jari dan anggota yang berada di antara jari-jari dan sisi telapak tangan.

(وَ) رَابِعُهَا: (تَلَاقَيْ بَشَرَتَيْ ذَكَرٍ وَ أُنْثَى) وَ لَوْ بِلَا شَهْوَةٍ، وَ إِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا مُكْرَهًا أَوْ مَيْتًا، لكِنْ لَا يَنْقُضُ وُضُوْءُ الْمَيِّتِ. وَ الْمُرَادُ بِالْبَشَرَةِ هُنَا غَيْرُ الشَّعْرِ وَ السِّنِّ وَ الظُّفْرِ – قَالَهُ شَيْخُنَا – وَ غَيْرُ بَاطِنِ الْعَيْنِ، وَ ذلِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: * (أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ) * أَيْ لَمَسْتُمْ. وَ لَوْ شَكَّ هَلْ مَا لَمَسَهُ شَعْرٌ أَوْ بَشَرَةٌ، لَمْ يَنْتَقِضْ، كَمَا لَوْ وَقَعَتْ يَدُهُ عَلَى بَشَرَةٍ لَا يَعْلَمُ أَهِيَ بَشَرَةُ رَجُلٍ أَوِ امْرَأَةٍ، أَوْ شَكَّ: هَلْ لَمَسَ مَحْرَمًا أَوْ أَجْنَبِيَّةً؟ وَ قَالَ شَيْخُنَا فِيْ شَرْحِ الْعُبَابِ: وَ لَوْ أَخْبَرَهُ عَدْلٌ بِلَمْسِهَا لَهُ، أَوْ بِنَحْوِ خُرُوْجِ رِيْحٍ مِنْهُ فِيْ حَالِ نَوْمِهِ مُمَكِّنًا، وَجَبَ عَلَيْهِ الْأَخْذُ بِقَوْلِهِ. (بِكِبَرٍ) فِيْهِمَا، فَلَا نَقْضَ بِتَلَاقَيْهِمَا مَعَ صِغَرِ فِيْهِمَا، أَوْ فِيْ أَحَدِهِمَا، لِاِنْتِفَاءِ مَظِنَّةِ الشَّهْوَةِ. وَ الْمُرَادُ بِذِي الصِّغَرِ: مَنْ لَا يُشْتَهَى عُرْفًا غَالِبًا. (لَا) تَلَاقَيْ بَشَرَتَيْهِمَا) (مَعَ مَحْرَمِيَّةٍ) بَيْنَهُمَا، بِنَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ أَوْ مُصَاهَرَةٍ، لِانْتِفَاءٍ مَظَنَّةِ الشَّهْوَةِ. وَ لَوِ اشْتَبَهَتْ مَحْرَمُهُ بِأَجْنَبِيَّاتٍ مَحْصُوْرَاتٍ فَلَمَسَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ لَمْ يَنْتَقِضْ، وَ كَذَا بِغَيْرِ مَحْصُوْرَاتٍ عَلَى الْأَوْجَهِ. (وَ لَا يُرْتَفَعُ يَقِيْنُ وُضُوْءٍ أَوْ حَدَثٍ بِظَنِّ ضِدِّهِ) وَ لَا بِالشَّكِّ فِيْهِ الْمَفْهُوْمُ بِالْأَوْلَى فَيَأْخُذُ بِالْيَقِيْنِ اسْتِصْحَابًا لَهُ.

(Yang) keempatnya adalah (bertemunya kulit lelaki (1212) dan perempuan) walaupun dengan tanpa syahwat, dan walaupun salah satunya dipaksa satu mayit namun wudhu’nya mayit tidaklah batal. Yang dikehendaki dari kulit dalam bab ini adalah selain rambut, gigi dan kuku seperti yang telah disampaikan guru kita dan selain batin mata. (1313) Hal itu karena firman Allah: Atau kalian semua menyentuh wanita. Kalau seandainya seseorang ragu apakah ia menyentuh rambut atau kulit, maka wudhu’nya tidak batal seperti kasus ketika tangannya berada di atas kulit, namun ia tidak tahu apakah kulit tersebut milik lelaki atau wanita atau seseorang ragu, apakah ia menyentuh mahram atau wanita lain. Guru kita mengatakan dalam Syaraḥ ‘Ubāb: Kalau seandainya ada seorang yang adil memberi kabar bahwa yang ia sentuh adalah wanita lain atau kabar tentang kentut saat tidur dengan menetapkan pantatnya, maka wajib untuk mengindahkan ucapannya. (1414)

(Besertaan keduanya telah dewasa), maka tidak membatalkan dengan sebab pertemuan dua kulit anak kecil atau salah satunya sebab tiadanya tempat praduga timbulnya syahwat. (1515) Yang dimaksud anak kecil adalah anak yang belum menimbulkan nafsu secara umumnya. (Tidak batal) bertemunya dua kulit yang di antara keduanya (terdapat sifat mahram) dengan sebab jalur pernikahan (1616) karena tidak adanya kecurigaan timbulnya syahwat. Kalau seandainya mahramnya serupa dengan wanita lain yang dapat terhitung jumlahnya kemudian ia menyentuh salah satu wanita itu maka wudhu’nya tidak batal. Begitu pula bila dengan wanita lain yang tak terhitung menurut pendapat yang unggul. (Keyakinan telah berwudhu’ atau telah hadats tidaklah dapat hilang dengan dugaan sebaliknya) dan juga tidak dengan keraguan dengan pemahaman yang lebih utama. Maka orang itu harus mengambil hukum yang yakin sebagai upaya untuk melanggengkan hukum semula.

Catatan:


  1. 1). Empat hal tersebut telah ada dalam al-Qur’ān dan Ḥadīts. Alasan membatalkan wudhu’ dengan empat hal tersebut tidaklah dapat di akal, hingga tidak dapat diqiyaskan dengan yang lain. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 73 Darul-Fikr. 
  2. 2). Batasannya adalah sperma yang keluar pertama kali, maka tidak membatalkan wudhu’ seperti orang yang tertidur dengan menetapkan pantatnya, kemudian bermimpi hingga keluar sperma sebab kewajiban orang tersebut adalah mandi bukan berwudhu’. Jika yang keluar adalah spermanya orang lain walaupun dengan sepermanya seperti sperma orang lain tersebut dimasukkan ke dalam kelamin lalu keluar maka wudhu’nya menjadi batal. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 73 Darul-Fikr. 
  3. 3). Kecuali bayi yang keluar sebagian dan yang sebagian masih di dalam. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 73 Darul-Fikr. 
  4. 4). Sedangkan mayit wudhu’nya tidak batal, namun kewajibannya adalah menghilangkan najisnya saja. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 73 Darul-Fikr. 
  5. 5). Sebab dengan posisi demikian amanlah keluarnya sesuatu dari anus. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 75 Darul-Fikr. 
  6. 6). Maksudnya: Wudhu’ tidak batal dengan sebab tidur dengan menetapkan pantatnya dengan syarat tidak renggang atau rongga di antara pantat dan tempat menetapnya atau ada, namun disumbat dengan semacam kapuk. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 75 Darul-Fikr. 
  7. 7). Maksudnya: Ketika seseorang yakin bermimpi namun ragu dalam tidurnya, maka hal tersebut berdampak dalam batalnya wudhu’ sebab mimpi adalah tanda dari tidur dan mimpi ini lebih diunggulkan dari salah satu sisi keraguan yakni tidur. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 75 Darul-Fikr. 
  8. 8). Sekira masih dinamakan dengan kemaluan. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 76 Darul-Fikr. 
  9. 9). Seperti kuncup kelamin lelaki dan klitoris wanita. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 76 Darul-Fikr. 
  10. 10). Yakni anggota yang tertutup saat berdiri dari anggota yang berada disekitar anus. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 77 Darul-Fikr. 
  11. 11). Kecuali dua ibu jari, maka harus ditekan kuat. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 78 Darul-Fikr. 
  12. 12). Yang berstatus jelas, mensyahwati secara wataknya, secara yakin, menurut orang yang wataknya selamat. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 78 Darul-Fikr. 
  13. 13). Berbeda dengan Imām Jamāl-ar-Ramlī yang menyamakan batin mata dengan kulit. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 79 Darul-Fikr. 
  14. 14). Menurut pendapat Mu‘tamad dari ‘Alī Sibramalisī hukumnya tidak batal dengan khabar tersebut. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 79 Darul-Fikr. 
  15. 15). Batasan dari syahwat adalah berdirinya dzakar pada lelaki dan condongnya hati bagi wanita. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 79 Darul-Fikr. 
  16. 16). Mahram jalur pernikahan yang selamanya, berbeda bila tidak selamanya seperti saudara wanita sang istri, maka hukumnya batal menyentuhnya. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 79 Darul-Fikr. 
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.