Hati Senang

005-1 Cabang Permasalahan 1 – Perihal Sunnat-Sunnat Wudhu’ – Kifayat-ul-Akhyar (2/3)

KIFĀYAT-UL-AKHYĀR
(Kelengkapan Orang Shalih)
Oleh: Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhamamd al-Husaini


Bahagian Pertama
Penerjemah: K.H. Syarifuddin Anwar, K.H. Mishbah Mushthafa
Penerbit: BINA IMAN

Cabang Permasalahan (1)

Orang yang berwudhu’, disunnatkan memperkeras dalam berkumur-kumur dan istinsyāq-nya (menghirup air dengan hidung), kalau dia tidak berpuasa. Bagi orang yang berpuasa, ada yang mengatakan: haram, demikianlah yang dikatakan oleh al-Qādhī Abuth-Thayyib. Ada yang mengatakan: makruh. Ini dikatakan oleh al-Bandanijī dan lain-lain. Ada juga yang mengatakan: Disunnatkan meninggalkan berkeras dalam berkumur-kumur dan menghirup air dengan hidung (istinsyāq). Dan ini dikatakan oleh Ibn-us-Shabbāgh. Wallāhu a‘lam.

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ اسْتِيْعَابُ الرَّأْسِ بِالْمَسْحِ).

[Dan meratakan air ke seluruh kepala dengan mengusapkannya].

Termasuk sunnat-sunnatnya wudhū’, yang kelima yaitu meratakan air ke seluruh kepala dengan cara mengusapkannya. Hal ini berdasarkan karena perbuatan Rasūlullāh s.a.w., dan supaya keluar dari khilāf. Dalam mengusap kepala ini, disunnatkan memulai dari kepala bagian muka, lalu menjalankan kedua tangan sampai ke tengkuk dan kemudian mengembalikannya lagi ke tampat yang diusap pertama kali. Cara tersebut diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Zaid r.a. di dalam mensifatkan wudhū’nya Rasūlullāh s.a.w. Kemudian meletakkan kedua ibu jarinya pada kedua pelipisnya, dan menempelkan jari telunjuknya. Perjalanan bolak-balik hanya dihitung satu kali.

Cara begini ini bagi orang yang memiliki rambut yang boleh dibolak-balikkan ke belakang dan ke muka, dengan maksud supaya basahnya air boleh sampai ke rambut bagian dalam luarnya. Sekiranya orang itu tidak mempunyai rambut, atau mempunyai rambut tetapi tidak dapat dibolak-balikkan, maka cukuplah dengan menarik tangannya ke belakang saja. Andaikata dia mengembalikan ke muka, tidak dihitung usapan yang kedua, sebab airnya sudah menjadi musta‘mal.

Andaikata orang itu tidak mau melepaskan (menanggalkan) sesuatu yang ada di kepalanya, seumpama sorban atau lainnya, maka baginya disunnatkan mengusap sebagian kepalanya dan menyempurnakan usapan pada sorbannya. Yang lebih utama, hendaknya jangan meringkaskan usapan pada yang lebih sedikit daripada ubun-ubun. Sebab Nabi Muḥammad s.a.w. itu mengusap ubun-ubun dan sorbannya.

Imām Rāfi‘ī mensyaratkan yang tersebut apabila ada kesukaran melepas sorban. Hal ini diterangkannya di dalam kedua kitab syarahnya dan di dalam kitab al-Muḥarrar. Imām Nawawī mengikuti pendapat Imām Rāfi‘ī ini di dalam kitab al-Minhaj, dan membuangnya dalam kitab ar-Raudhah.

Tidak boleh meringkas dengan hanya mengusap sorbannya saja tanpa ada khilāf. Hal ini diterangkan di dalam kitabnya Imām Rāfi‘ī dan kitab ar-Raudhah, sebab orang itu asalnya diperintah mengusap kepala. Di dalam kitab al-Baḥr-ul-Muḥīth ada riwayat dari Muḥammad bin Nashr (termasuk pembesar Ulama Madzhab Syāfi‘ī), yang mengatakan cukup dengan hanya mengusap sorban. Wallāhu a‘lam.

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ مَسْحُ الْأُذُنَيْنِ).

[Dan mengusap kedua telinga].

Yang keenam dari sunnat-sunnat wudhū’, yaitu disunnatkan mengusap kedua telinga, bagian yang luar dan dalamnya dengan air yang baru. Dan juga disunnatkan mengusap kedua lubang telinganya dengan air yang baru juga. ‘Abdullāh bin Zaid r.a. berkata:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ (ص) يَتَوَضَّأُ فَأَخَذَ لِأُذُنَيْهِ مَاءً خِلَافَ الْمَاءِ الَّذِيْ أَخَذَهُ لِرَأْسِهِ.

Aku melihat Rasūlullāh s.a.w. sedang berwudhū’. Beliau mengambil air untuk kedua telinganya, selain air yang sudah diambilnya untuk mengusap kepalanya.

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Ḥākim dan al-Baihaqī. Beliau berdua berkata: Isnād-nya Hadits ini shaḥīḥ. Al-Ḥākim menambah, katanya: Dengan syaratnya Imām Muslim.

Caranya mengusap ialah dengan memasukkan kedua jari telunjuk ke dalam kedua lubang telinganya, dan memutar-mutarkan kedua jari tersebut ke dalam lipatan-lipatan telinga, dan menjalankan kedua ibu jarinya di luar telinga. Kemudian setelah itu, tapak tangan yang sudah dibasahi air ditempelkan (dilekapkan) pada kedua telinga supaya jelas. Cara-cara seperti ini diterangkan oleh Imām Rāfi‘ī dan digugurkan oleh Imām Nawawī di dalam kitab ar-Raudhah.

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ تَخْلِيْلُ اللِّحْيَةِ الْكَثَّةِ وَ تَخْلِيْلُ أَصَابِعِ الْيَدَيْنِ وَ الرِّجْلَيْنِ).

[Dan menyelat-nyelati jenggot yang tebal dan menyelat-nyelati jari-jari kedua tangan dan kaki].

Dan disunnatkan sebagai sunnat wudhū’ yang ketujuhnya menyelat-nyelati jenggot yang tebal dan menyelat-nyelati jari-jari kedua tangan dan kaki.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās r.a.:

أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ شَبَّكَ لِحْيَتَهُ الْكَرِيْمَةَ بِأَصَابِعِهِ مِنْ تَحْتِهَا.

Bahwa Nabi Muḥammad s.a.w. apabila berwudhū’, beliau memasukkan jari-jarinya di sela-sela jenggotnya dari bawah.

(Riwayat Ibnu Mājah).

Ibnu ‘Abbās r.a. memberitakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. itu menyelat-nyelati jenggotnya. Imām Bukhārī berkata: Hadits ini adalah Hadits yang paling shaḥīḥ di antara Hadits-hadits lain dalam bab ini. At-Tirmidzī berkata: Hadits ini, Hadits ḥasan lagi shaḥīḥ.

Adapun menyelat-nyelati jari, dalilnya adalah sebuah Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās r.a., bahwa Nabi Muḥammad s.a.w. telah bersabda:

إِذَا تَوَضَّأْتَ فَخَلِّلْ أَصَابِعَ يَدَيْكَ وَ رِجْلَيْكَ.

Apabila kamu berwudhu’, hendaklah menyelat-nyelati jari-jari tanganmu dan kakimu.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Mājah dan at-Tirmidzī.

At-Tirmidzī berkata: Hadits ini Hadits ḥasan lagi gharīb. At-Tirmidzī berkata di dalam kitab al-‘Ilal: Aku bertanya kepada Imām Bukhārī mengenai Hadits ini, beliau menjawab: Hadits ini Hadits ḥasan.

Cara menyelat-nyelati jari-jari kaki, yaitu hendaklah memulai dengan jari kelingking tangan kiri, dimasukkan pada jari kelingking kaki kanan melalui bawah kaki. Dan mengakhiri dengan jari kelingking kaki kiri. Cara inilah dianggap rajih oleh Imām Nawawī di dalam kitab ar-Raudhah. Imām Nawawī juga ada memberitakan cara yang lain, yaitu menyelat-nyelati antara tiap-tiap jari dari kedua kaki dengan tiap-tiap jari dari kedua tangan. Kemudian di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab, beliau memberitakan cara lain lagi, yaitu memulai dengan jari kelingking kanan, dan beliau juga mengatakan bahwa dua cara ini sama. Kemudian Imām Nawawī mengakukan cara ini kepada Imām Harāmain, dan beliau berkata: Apa yang dikatakan oleh Imām Harāmain ini adalah yang rājiḥ dan terpilih. Demikian juga yang ada di dalam kitab at-Taḥqīq, juga memilih wajah ini.

Menyelat-nyelati jari-jari kedua tangan itu dengan tasybik, iaitu memasukkan antara yang satu dengan yang lain. Kemudian apabila jari-jarinya ada yang menekuk, di mana air tidak akan dapat sampai ke dalamnya jika tidak diselat-selati, maka hukumnya wajib menyelat-nyelati. Dan apabila jari-jarinya ada yang lengket, Imām Nawawī berkata: Tidak diwajibkan membelah atau membedahnya dan juga tidak disunnatkan. Di dalam kitab ar-Raudhah Imām Nawawī berkata: Bahkan tidak dibolehkan membelahnya.

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ تَقْدِيْمُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى، وَ الطَّهَارَةُ ثَلَاثًا ثَلَاثًا وَ الْمُوَالَاةُ).

[Dan mendahulukan yang kanan daripada yang kiri dan membasuh tiga kali tiga kali serta berturut-turut (muwālāh)].

Dan termasuk sunnat-sunnatnya wudhū’ yang kedelapan, kesembilan dan yang kesepuluh mendahulukan yang kanan daripada yang kiri, dan membasuh atau mengusap tiga kali-tiga kali, dan berturut-turut (muwālāh).

Diriwayatkan dari Abū Hurairah, bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah berkata:

إِذَا تَوَضَّأْتُمْ فَابْدَءُوْا بِمَيَامِنِكُمْ.

Apabila kamu berwudhū’, hendaklah mendahulukan yang kanan.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abū Dāūd dan Ibnu Mājah, dan dianggap shaḥīḥ oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Ḥibbān.

Diriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a., beliau berkata: “Rasūlullāh s.a.w. senang sekali mengenakan yang kanan (lebih dulu) dalam bersandal, bersisir, bersuci dan dalam segala tingkah lakunya.

Hendaklah selalu memulai dengan bagian anggota yang kanan dalam bersuci; memulai dengan tangan kanan dan kaki kanan dalam berwudhū’, dan juga bagian anggota badan yang kanan dalam mandinya. Adapun kedua telinga dan kedua pipi, disucikan secara bersamaan. Jika orang itu buntung tangannya, tangan yang kanan didahulukan.

Adapun kesunnatan dalam membasuh tiga kali-tiga kali, terdapat di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Utsmān r.a., yaitu:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) تَوَضَّأَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا.

Bahwa Rasūlullāh s.a.w. berwudhū’ dengan tiga kali-tiga kali.

(Riwayat Muslim).

Mengulangi sampai tiga kali tersebut, tidak ada perbedaan antara kepala dengan yang lain.

Sebagian Ulama Madzhab Syāfi‘ī menganggap sunnat mengusap kepala sekali saja. Mereka membuat hujjah bahwa Hadits-haditsnya ‘Utsmān r.a. yang shaḥīḥ-shaḥīḥ tersebut menunjukkan adanya mengusap hanya sekali saja. Mereka mengatakan: Telah datang di dalam Haditsnya Imām Muslim mengenai sifat-sifat wudhu’nya Rasūlullāh s.a.w. yang diterangkan oleh ‘Abdullāh bin Ziad, bahwa Rasūlullāh s.a.w. mengusap kepalanya hanya sekali saja. Dan dikatakan bahwa at-Tirmidzī memberitakan mengusap sekali itu adalah dari nashnya Imām Syāfi‘ī r.a.

Qaul yang dimasyhurkan dari madzhab Syāfi‘ī, dan yang telah dipastikan oleh Jumhur Ulama, yaitu bahwa mengusap kepala disunnatkan tiga kali. Ḥujjah yang dipakai ialah Haditsnya ‘Utsmān r.a.

Di dalam riwayatnya Abū Dāūd, mengenai Haditsnya ‘Utsmān, disebutkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. mengusap kepala tiga kali. Namun di dalam sanadnya Hadits ini terdapat ‘Āmir bin Syaqīq. Al-Ḥākim berkata: Aku sama sekali tidak melihat cela pada diri ‘Āmir dengan dalil apa pun.

Di dalam Haditsnya Ibnu Mājah pula disebutkan:

أَنَّ عَلِيًّا (ر) تَوَضَّأَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا وَ مَسَحَ رَأْسَهُ ثَلَاثًا وَ قَالَ: هذَا وُضُوْءُ رَسُوْلِ اللهِ (ص).

Bahwa Sayyidinā ‘Alī r.a. berwudhū’ dengan tiga kali-tiga kali dan mengusap kepalanya pun tiga kali, dan beliau berkata: Wudhū’ ini adalah sama dengan wudhū’nya Rasūlullāh s.a.w.

Wallāhu a‘lam.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.