005 Keimanannya – Imam Muhammad Al-Baqir Putra Imam Ali Zain ul-Abidin

Dari Kitab:

IMAM MUHAMMAD AL-BAQIR R.A.
PUTRA
IMAM ALI ZAIN UL-ABIDIN R.A.

Oleh: H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini

Penerbit: C.V. Toha Putera - Semarang

Keimanannya.

Mengenai keimanan Imām al-Bāqir r.a. sesungguhnya tidak diperlukan banyak keterangan dan penjelasan, karena persoalannya sudah sangat jelas. Ia seorang ulama puncak keturunan Ahlul-Bait yang hidup penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, setia kepada ummat dan agamanya, besar pengabdian dan pengorbanannya, serba bersih dan suci semua segi kehidupannya. Sungguh ia memang patut diakui kedudukannya sebagai Imām (pemimpin kerohanian) oleh kaum Muslimin pada zamannya. Itu adalah wajar, karena setiap zaman di kalangan ummat Islam muncul seorang Imam atau beberapa orang Imām. Kalau di antara sebagian kaum Muslimin yang karena sangat mencintai Ahlul-Bait sehingga terlampau mengkultuskan Imām-nya, itu sama sekali berada di luar tanggungjawab Imam yang bersangkutan, karena tak ada seorang Imām pun yang menuntut kepada para pengikutnya supaya mendewa-dewakan dirinya. Adalah sudah menjadi keumuman yang terjadi dalam setiap zaman, di kalangan rakyat yang mencintai seorang pemimpin lazim muncul anasir-anasir ekstrim yang menumpahkan perasaan cintanya dalam bentuk berlebih-lebihan. Sama halnya dengan kisah cerita para Waliyyullāh di negeri kita sendiri, yang oleh sementara kalangan dilebih-lebihkan sedemikian rup sehingga tidak masuk akal. Akan tetapi itu tidak berarti bahwa kita mengingkari kehormatan yang dianugerahkan Allah kepada para auliyā’-Nya. Padahal para Waliyyullāh yang menambat petir di mesjid Demak, tidak ada Waliyyullāh yang membuat hutan bambu dengan menancapkan tongkatnya di tanah…… dan lain sebagainya. Akan tetapi menurut kenyataan banyak orang yang menyebarkan cerita-cerita semacam itu. Para Waliyyullāh tidak lebih hanyalah orang-orang saleh yang hidup penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, mencurahkan seluruh hidupnya untuk menda‘wahkan agama Allah, Islam, tanpa pamrih keduniawian apa pun juga. Kalau karena ketinggian taqwanya mereka itu memperoleh karunia Allah berupa keistimewaan-keistimewaan tertentu yang melebihi orang awam, itu adalah wajar. Namun bagaimana pun juga keistimewaan mereka, tidak memadai – apalagi melebihi – keistimewaan yang dikaruniakan Allah kepada Nabi dan Rasul-Nya.

Keutamaan martabat pribadi para Imām keturunan Ahlul-Bait memang memenuhi syarat untuk dipandang sebagai Imām yang berhak memimpin kehidupan kerohanian masyarakatnya masing-masing. Menurut ukuran yang wajar, memang tidak ada orang yang berhak disebut Imām atau diakui sebagai pemimpin kerohanian ummat, kecuali mereka yang memiliki kedalaman ilmu agama, luhur budipekerti dan akhlaknya, hidup zuhud dan bersih semua segi kehidupannya, rela mengabdi dan berkorban menegakkan kebenaran Allah tanpa pamrih apapun juga selain mendambakan kebenaran Allah tanpa pamrih apapun juga selain mendambakan keridhaan Allah semata-mata. Tabiat dan sifat-sifat mulia seperti itu memang dimiliki oleh para Ahlul-Bait Rasul Allah s.a.w. dan anak-cucu keturunannya yang oleh kaum Muslimin pada zamannya masing-masing dipandang sebagai Imām dan panutan. Ini tidak mengherankan, karena mereka itu merupakan orang-orang yang paling merasa wajib menghayati kehidupan sebagaimana yang dihayati oleh Rasul Allah s.a.w. Mereka merupakan orang-orang yang paling sadar akan tanggungjawab menjaga keselamatan prinsip-prinsip ajaran Islam yang dipusakakan oleh Rasul Allah s.a.w. kepada ummatnya sebagai amanat Ilahi.

Sepeninggal Imām ‘Alī Zainul ‘Ābidīn r.a. dan Imām Zaid bin ‘Alī Zainul ‘Ābidīn r.a., memang tidak ada orang lain yang cukup memiliki syarat-syarat untuk dapat dipandang dan diakui sebagai Imām kecuali Muḥammad al-Bāqir r.a. Hal itu sesuai dengan sebuah riwayat yang dikemukakan oleh az-Zuhriy sebagai berikut: Ketika Imām ‘Alī Zainul ‘Ābidīn dalam keadaan sakit keras menjelang wafatnya, aku datang menjenguknya. Kepadanya aku bertanya: “Hai putra Rasul Allah, jika keadaan mengharuskan kami, siapakah Imam kami sepeninggal anda?” Imām ‘Alī Zainul ‘Ābidīn r.a. menjawab: “Dia….. anakku (sambil menunjuk ke arah Muḥammad al-Bāqir). Dialah yang menerima wasiyatku, mewariskan keimananku dan wadah semua ilmu pengetahuan. Dialah yang akan menjadi sumber kebijaksanaan dan akan mengungkapkan semua ilmu pengetahuan (bāqirul-‘ilma)”. Ia mengatakan lebih lanjut: “Di kemudian hari para pecinta Ahlul-Bait akan beriman kepadanya, dan ia akan mengungkapkan semua bidang ilmu agama kepada mereka.”

Al-Mas‘ūdiy juga meriwayatkan sebagai berikut: Ketika merasa telah mendekati ajalnya, Imām ‘Alī Zainul ‘Ābidīn r.a. mengumpulkan segenap anggota keluarganya, kemudian menyerahkan keimanan kepada Muḥammad al-Bāqir.

Masih banyak riwayat lainnya yang menunjukkan keabsahan keimanan Muḥammad al-Bāqir r.a. Akan tetapi cukuplah kiranya kalau kami katakan saja, bahwa barang siapa yang menelaah dan mempelajari riwayat hidup Imām al-Bāqir r.a., ia pasti akan yakin bahwa putra Imām ‘Alī Zainul ‘Ābidīn itu memang berhak dipandang sebagai Imām oleh kaum Muslimin yang mencintai Ahlul-Bait (keluarga) Rasul Allah s.a.w.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *