005 Ahadiyyah (ke-Esa-an) – Insan Kamil – Syaikh Abd. Karim al-Jaili

INSAN KAMIL
Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman

Karya: Syaikh Abd. Karim Ibnu Ibrahim al-Jaili

Penerjemah: Misbah El Majid. Lc.
Diterbitkan oleh: Pustaka Hikmah Perdana.

Bab 5

AḤADIYYAH (ke-Esa-an)

 

Al-Aḥadiyyah (ke-Esa-an), ‘ibārat tempat (sentra) manifestasi inti (dzāt) –Nya, yang bukan dari nama-nama dan sifat-sifatNya, serta tidak tampak bekas-bekas dus pengaruh-pengaruh nama dan sifat tersebut. Aḥadiyyah adalah isim (nama) untuk menunjukkan kemurnian inti (dzāt)-Nya, yang terlepas dari segala pelik i‘tibār ketuhanan dan kemakhlukan. Manifestasi ke-Esa-an al-Ḥaqq di alam dan isinya alam ini, terlebih dalam diri anda tidak akan tertajallikan dengan sempurna, selama anda tenggelam dalam ke-aku-an diri anda, berikut anda melalaikan i‘tibār kemanusiaan anda, lebih-lebih jika sifat dan karakteristik kemanusiaan anda mendominasi diri anda. Wajah kehidupan seperti itu akan menjadikan anda tercerabut dari nilai-nilai ketuhanan dan anda sama sekali tidak akan pernah bisa memakrifahi ke-Esa-an Diri-Nya. Maka jadilah kamu dalam diri kamu dalam kesejatian dirimu, jangan nisbatkan dirimu kepada pelik kemanusiaanmu dan sifat-sifat kemakhlukan lainnya. Jika kau mampu mensucikan dirimu dari pelik dan sifat-sifat kemakhlukan, sifat-sifat Ulūhiyyah (ketuhanan) akan melanskapi dirimu, dan sifat-sifat ketuhanan (Dia) akan disematkan kepadamu, kaupun menjadi sentra (tempat) citra ketuhanan-Nya dalam wujud sifat-sifat ketuhanan yang dimanifestasikan dalam dirimu. Ḥāl (kondisi spiritual) seperti itu merupakan penampakan ke-Esa-an par excellent di alam dan isinya alam ini, dan manusia seperti itu juga merupakan manusia utama dalam kehidupan ini. Pahami betul masalah ini. Aḥadiyyah merupakan awal Tanazzulāt (penurunan) inti (dzāt)-Nya, dari kegelapan kabut, menuju cahaya manifestasi, sedangkan manifestasi al-Ḥaqq tertinggi adalah manifestasi ke-Esa-an-Nya, hal mana dalam tajallī ini diwartakan batas pilah yang jelas, bahwasanya al-Ḥaqq dalam tajallī ke-Esa-an ini benar-benar terjernihkan dari sifat-sifat, nama-nama, isyārat-isyārat, metafor-metafor, i‘tibār-i‘tibār dus atribut segala wujud. Esensinya tajallī ke-Esa-an terlepas dari segala sesuatu selain inti (dzāt)-Nya, namun kesemua itu berdasarkan hukum bāthiniyyah, bukan hukum lahiriyah. Hakekat ke-Esa-an dalam lanskap pandangan kaum awam (insan muslim kebanyakan) adalah ke-Esa-an dari yang banyak, atau inti segala sesuatu yang beraneka ragam. Semantis logika Aḥadiyyah ini laksana orang yang melihat tembok dari kejauhan, di mana tembok itu dibangun dari bahan (material) pasir, semen, batu bata dan material lainnya, akan tetapi ia tidak melihat bahan-bahan (material) tersebut yang ia lihat hanya tembok. Maka Aḥadiyyah tembok itu berasal dari pasir, semen, batu bata dan bahan material lainnya, bukan berasal dari nama bahan-bahan material yang ada, bahkan Aḥadiyyah tembok itu merupakan nama struktur (konfigurasi) bahan-bahan bangunan yang menjadikan tembok tersebut maujūd (ada).

Demikian halnya dengan diri anda, jika anda fokus dalam penyaksian diri, dan anda hanyut dalam ke-aku-an diri anda, yang dengan ke-aku-an itu anda menjadi “kamu” dalam kesejatian “kamu” maka anda tidak menyaksikan sesuatu, melainkan ke-dia-an anda. Pada fase ini, tidak ada suatu penampakan yang tersaksikan oleh anda, selain hakekat diri anda yang dinisbatkan kepada diri anda, karena anda adalah kumpulan daripada inti hakekat-hakekat tersebut, itulah sejatinya Aḥadiyyah (ke-Esa-an) anda, ia merupakan isim (nama) untuk tempat inti (dzāt) diri anda, dengan i‘tibār ke-dia-an anda, bukan i‘tibār bahwa anda kumpulan hakekat-hakekat yang dinisbatkan kepada anda. Sebab jika anda merupakan bagian dari hakekat-hakekat yang dinisbatkan kepada anda, maka diri anda juga termasuk tempat tajallī ke-esa-an, padahal Aḥadiyyah anda itu merupakan isim (nama) untuk inti (dzāt) anda, dan bukan wajah keterpencaran hakekat-hakekat itu sendiri. Realitas i‘tibār – terjernihkan dari metafora, isyārat, paradoks – pelik kemakhlukan tersebut, dalam dimensi Ulūhiyyah (ketuhanan) diibaratkan dengan kemurnian inti (dzāt)-Nya, yang terlepas dari pelik nama-nama, sifat-sifat dan pengaruh-pengaruhnya, pun segala pelik i‘tibār ketuhanan dan kemakhlukan. Aḥadiyyah merupakan tempat tajallī tertinggi, karena setiap manifestasi sesudahnya harus terikat dengan Ulūhiyyah (ketuhanan). Tajallī Aḥadiyyah bersifat universal dan tidak terikat kekhususan, Aḥadiyyah merupakan awal penampakan inti (dzāt)-Nya, sifat Aḥadiyyah (ke-Esa-an) tidak diperbolehkan untuk menyifati makhluk, karena ke-Esa-an merupakan kemurnian inti (dzāt)-Nya yang tidak terkait dengan pelik ketuhanan dan kemakhlukan, sifat Aḥadiyyah juga tidak diperbolehkan untuk mensifati perbuatan dan pekerjaan makhluk, karena hukum ke-Esa-an sama sekali tidak berlaku bagi makhluk, ia murni untuk al-Ḥaqq. Jika anda mampu Syuhūd (menyaksikan) tajallī ini dengan kesaksian hakiki, niscaya anda akan memakrifahi kesejatian Tuhan dan Rabb anda, dan hal itu tidak harus menyirnakan makhluk, dan tidak ada nasib (bagian) sedikit pun bagi para makhluk-Nya untuk beroleh ke-Esa-an. Ia milik Allah semata. Maka telisik diri anda, utamanya disposisi anda yang berkaitan dengan dimensi ketuhanan dan kemakhlukan. Posisikan diri anda pada hukum kemakhlukan, saksikan al-Ḥaqq melalui hakekat inti (dzāt)-Nya dari nama-nama, sifat-sifatNya. Anda tiada akan pernah bisa menyaksikan Diri-Nya, sebelum anda menyaksikan diri anda, yakni pahami kesejatian diri anda, anda akan bisa memakrifahi kesejatian Diri-Nya. Rasūl s.a.w. bersabda: “Barang siapa yang mampu memakrifahi dirinya, ia akan paham Tuhannya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *