005-8 Tahapan Pendorong | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 005 Tahapan Pendorong | Minhaj-ul-Abidin

Seandainya anda bertanya? “Bagaimana seandainya dalam kondisi tertentu yang satu lebih unggul daripada yang lain, atau lebih banyak didominasi oleh salah satunya?”

Ketahuilah, apabila seorang hamba dalam kondisi sehat dan kuat, maka keunggulan khauf lebih utama baginya daripada rajā’. Tetapi jika hamba itu dalam keadaan sakit lagi lemah, apalagi jika sudah mendekati akhirat, maka rajā’ lebih utama.”

Demikianlah yang aku dengar dari para ulama. Mengapa begitu? Karena adanya sebuah riwayat, bahwa Allah s.w.t. berfirman dalam hadis qudsi:

أَنَا عِنْدَ الْمُنْكَسِرَةِ قُلُوْبُهُمْ مِنْ مَخَافَتِيْ

Artinya:

Aku berada di dekat orang yang pecah hatinya, karena takut kepada-Ku.

Jadi, sikap rajā’ orang itu lebih utama pada saat itu, karena pecah hatinya dan ketakutannya yang telah lalu, pada waktu itu ia masih sehat, kuat dan mampu. Karena itu, kepada orang-orang yang pecah hatinya (ketakutan) dikatakan: “Janganlah anda takut dan jangan pula bersedih hati.”

Jika anda bertanya: “Bukankah telah banyak hadis mengenai baik sangka kepada Allah dan anjuran bersikap demikian?” Ketahuilah, bahwa di antara baik sangka kepada Allah, adalah takut berbuat maksiat, takut akan siksa Allah dan bersungguh-sungguh dalam berkhidmat kepada Allah.

Perlu diketahui pula bahwa dalam masalah ini terdapat pokok persoalan, faedah besar, namun kebanyakan orang keliru dalam memahaminya, yaitu perbedaan antara rajā’ dan tamannī (lamunan).

Perbedaan antara rajā’ dan tamannī adalah bahwa rajā’ memiliki dasar pijakan, sedangkan tamannī tidak memiliki dasar. Sebagai sebuah contoh, seseorang yang telah bercocok tanam, bersungguh-sungguh dan mengumpulkan alat-alat untuk menjemur hasil panenan. Kemudian orang itu berkata: “Aku berharap bisa mendapatkan seratus karung.” Hal ini dinamakan rajā’.

Sementara orang yang satunya lagi tidak bercocok tanam, tidak bekerja, dia habiskan waktunya buat keluyuran dan tidur. Namun ketika datang masa panen, ia berkata: “Aku berharap mendapatkan seratus karung.” Ada orang yang bertanya: “Bagaimana mungkin anda dapatkan itu?” Hal semacam ini dinamakan tamanni (lamuan kosong tidak berdasar atau tidak memiliki asal).

Begitu pula seorang hamba, jika ia sungguh-sungguh beribadah keapda Allah dan menjauhi maksiat, maka pantaslah ia berkata: “Aku berharap, mudah-mudahan Allah berkenan menerima amalku yang hanya sedikit ini dan menyempurnakannya karena kesemberonoanku, memberikan pahala sebesar-besarnya, mengampuni kesalahan-kesalahanku dan berbaik sangka.” Ini dinamakan rajā’.

Sedangkan orang yang tidak mau beribadah, meninggalkan taat, melakukan berbagai maksiat, tidak mempedulikan murka Allah, tidak mengharapkan rida-Nya, tidak pula menghiraukan Allah dan mengabaikan ancaman-Nya. Kemudian, tiba-tiba ia berharap kepada Allah, mudah-mudahan diberi surga dan selamat dari neraka. Maka hal semacam ini, dinamakan tamanni yang tidak ada gunanya. Sementara orang yang beranggapan bahwa hal semacam ini merupakan rajā’ dan berbaik sangka, adalah anggapan yang keliru.

Seorang penyair mengungkapkan, hal yang senada melalui bait syairnya, berikut:

تَرْجُو النَّجَاةَ وَ لَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا

إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَا تَجْرِيْ عَلَى الْيَبَسِ

Engkau berharap selamat,

Tetapi tidak mau menempuh jalan keselamatan

Ketahuilah, perahu

Tidak dapat berjalan di atas daratan.

Nabi s.a.w. bersabda:

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَ عَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَ الْعَاجِزُ مَنِ اتَّبَعَ نَفْسَهُ وَ هَوَاهَا وَ تَمَنَّى عَلَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ الْأَمَانِيَّ

Artinya:

Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan nafsunya dan ber‘amal untuk keperluannya sesudah mati. Sedangkan orang lemah, yaitu orang yang menuruti kesenangan nafsunya dan mengkhayalkan berbagai harapan kepada Allah.

Dalam konteks ini, Ḥasan Bashrī berkata: “Kaum yang semacam itu, dibuat lupa oleh lamunan akan mendapatkan ampunan Allah, hingga mereka keluar dari dunia dalam keadaan bangkrut, tidak memiliki kebaikan. Di antara mereka ada yang berkata: “Aku telah berbaik sangka terhadap Allah.” Ucapan itu, merupakan kebohongan besar, seandainya ia berbaik sangka kepada Tuhannya, tentu ia membaguskan ‘amal demi Tuhannya.”

Selanjutnya Ḥasan membaca firman Allah s.w.t.:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْ لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا

Artinya:

Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan ‘amal yang saleh.” (al-Kahfi: 110)

Dan firman-Nya:

وَ ذلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِيْ ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِّنَ الْخَاسِرِيْنَ

Artinya:

Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Tuhanmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Fushshilāt: 23)

Diceritakan dari Ja‘far ad-Dhabu‘ī, ia berkata: “Aku melihat Abū Maisarah, seorang ahli ibadah, tulang iganya tampak jelas lantaran kesungguhannya dalam beribadah. Sehingga aku berkata padanya: “Semoga Allah merahmati anda. Sungguh, rahmat Allah itu sangat luas.” Mendengar ucapan itu, Abū Maisarah marah dan berkata: “Apakah anda melihat tanda-tanda pada diriku bahwa aku berputus asa dari rahmat Allah? Rahmat Allah itu dekat kepada orang baik.” Ja‘far berkata: “Mendengar ucapan Abū Maisarah itu, aku menangis.”

Selanjutnya Ja‘far berkata, apabila para rasul, wali abdal, para auliyā’, sedemikian rupa kesungguhan dalam taat dan menghindari maksiat, dan konsisten dalam pendiriannya itu, maka apa yang akan anda katakan, apakah orang-orang mulia semacam itu tidak berbaik sanka terhadap Allah? Tentu, mereka lebih mengetahui keluasan rahmat Allah dan lebih baik prasangkanya terhadap kemurahan Allah, daripada anda. Dan mereka lebih mengetahui, bahwa berharap tanpa disertai dengan kesungguhan ber‘amal, hanyalah lamunan dan tipuan belaka.

Perhatikan dan renungkanlah, keterangan yang penting tersebut, bangkitlah sepenuh kemampuan anda, semoga Allah memberikan pertolongan dan petunjuk-Nya kepada kita.

(Pasal): Kesimpulannya, apabila anda mengingat luasnya rahmat Allah yang lebih dominan dan mengalahkan murka-Nya, serta meratai semua makhluk; lalu menyadari bahwa anda termasuk umat Muḥammad yang mendapat rahmat dan kemuliaan dari Allah; sadar betapa besarnya karunia Allah, bahkan Ia menjadikan pada permulaan kitab-Nya untuk anda dengan “Bismillāh-ir-Raḥmān-ir-Raḥīm.” (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang); kemudian, mengingat banyaknya nikmat Allah yang diberikan kepada anda, tanpa ada pihak lain yang memberikan pertolongan dan menyajikan kepada anda, baik nikmat lahir maupun batin; di samping itu, selanjutnya dari sisi yang lain. Anda juga ingat dan menyadari akan kesempurnaan kemuliaan, keagungan, dan kebesaran kekuasaan serta keperkasaan-Nya; selanjutnya, anda ingat pada dahsyatnya murka Allah, yang tidak akan sanggup dihadapi langit dan bumi; kemudian, merenungkan segala kelalaian anda, banyaknya dosa dan keingkaran anda, sementara itu, betapa dalam dan detail urusan Allah, ketakutan akan tindakan yang hendak diambil-Nya terhadap anda, karena keluasan ilmu dan pengawasan-Nya, yang meliputi segala dimensi anda terhadap berbagai cela dan perkara samar dan selembut apa pun; juga mengingat ancaman Allah dan kepedihan siksa-Nya; suatu ketika anda mengingat dan melihat karunia-Nya, pada saat yang lain anda memikirkan siksa-Nya; suatu saat, anda menyadari betapa Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang; sementara itu juga anda perbuat; maka jika anda telah melakukan semua itu, tentu akan menimbulkan khauf (rasa takut) dan sekaligus rajā’ (harapan). Dengan begitu, berarti anda telah menempuh jalan lurus yang telah disyari‘atkan oleh Allah, dan menjauhi dua jalan yang menyesatkan, yaitu: Merasa aman dari murka dan ‘adzāb Allah; putus asa dari rahmat Allah. Anda pun tidak linglung dan kebingungan dengan keduanya dan tidak pula binasa bersama orang-orang yang binasa. Anda tidak binasa sebab kesejukan rajā’, dan tidak pula binasa lantaran panasnya khauf.

Sepertinya, aku telah sampai mengantarkan anda pada tujuan dimaksud yang membawa keuntungan dan keselamatan. Anda telah menemukan diri anda bergeliat bangkit untuk taat dan berkhidmat kepada Allah, siang dan malam, tidak hanya terdorong oleh situasi dan kondisi dan tidak pula ada sesuatu pun yang melalaikan anda. Dan anda benar-benar berhijrah menjauhi kemaksiatan.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Nauf al-Bakalī, bahwa ketika Nauf ingat surga, ia merasa sangat merindukannya, dan apabila ia ingat neraka, maka ia kelimpungan tidak bisa tidur.”

Dengan demikian, anda telah menjadi orang pilihan, orang yang istimewa dan ahli ibadah, sebagaimana yang disifati Allah dengan firman-Nya:

إِنَّهُمْ كَانُوْا يُسَارِعُوْنَ فِي الْخَيْرَاتِ وَ يَدْعُوْنَنَا رَغَبًا وَ رَهَبًا وَ كَانُوْا لَنَا خَاشِعِيْنَ

Artinya:

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu‘ kepada Kami.” (al-Anbiyā’: 90)

Anda telah melewati tahapan yang sangat mendebarkan ini dengan baik, berkat izin Allah dan sebaik-baik petunjuk-Nya.

Betapa banyak kenikmatan buat anda di dunia ini, dan betapa banyak simpanan kemuliaan dan pahala yang agung bakal anda peroleh kelak di akhirat.

Kepada Allah kita memohon, semoga berkenan melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita. Karena Dia adalah Tuhan Yang Maha Penyayang lagi Maha Pemurah. Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *