‘Abdullāh bin ‘Amr r.a. menerangkan tentang sifat wudhu’, lalu berkata: “Kemudian Rasūlullāh s.a.w. mengusap kepalanya, lalu memasukkan kedua telunjuk ke dalam kedua telinganya dan mengusap luar kedua telinganya dengan kedua ibu jarinya.”
(HR. Abū Dāūd dan Nasā’ī). Hadits tersebut shaḥīḥ menurut Ibnu Khuzaimah.
Hadits di atas mengandung keterangan tentang sifat wudhu’ Rasūl dan menjelaskan hal yang tidak dijelaskan dalam hadits-hadits dahulu. Hadits ini menerangkan mengusap kedua telinga dengan cara yang jelas yang telah ditampakkan kepada kita. Beliau mengusap kedua telinga baik yang luar maupun yang dalam dengan air yang bukan sisa air yang dibuat mengusap kepalanya, karena berdasarkan hadits riwayat al-Baihaqī.
(السَّبَّاحَتَيْنِ) : Tatsniyah lafal sabbāḥah (سَبَّاحَةٌ) artinya telunjuk. Ia diberi nama sabbāḥah (yang banyak membaca tasbih). Sebab bila tasbih dibaca, maka ke telunjuklah yang diangkat yaitu telunjuk yang kanan. Dan makruhlah bertasbih dengan mengangkat telunjuk kiri.
(الْإِبْهَامُ) : Nama jari yang terbesar (ibu jari).
Keterangan sifat wudhu’ dengan tambahan mengusap dua telinga baik yang luar atau yang dalam, menurut pendapat kebanyakan ulama adalah sunnah. Imām Aḥmad berkata bahwa sesungguhnya dua telinga termasuk kepala. Oleh karena itu, wajib diusap bersama kepala, sebab Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Dua telinga termasuk kepala.” (HR. Ibnu Mājah).
‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Ash as-Sahmī al-Quraisyī masuk Islam sebelum ayahnya. Dia seorang alim, hafal hadits banyak, ahli ibadah dan termasuk orang yang zuhud yang tidak ikut berkecimpung dalam lapangan sewaktu terjadi fitnah antara Mu‘āwiyah dan ‘Alī bin Abī Thālib.
‘Abdullāh meriwayatkan 700 hadits. Beberapa orang meriwayatkan hadits darinya termasuk cucunya Syu‘aib bin Muḥammad dan Sa‘īd bin al-Musayyab serta lain-lain. Wafatnya masih diperselisihkan, namun yang paling shaḥīḥ apa yang telah dinyatakan oleh Ibnu Ḥibbān yaitu pada tahun 63 H., umur-nya 72 tahun.
Abū Hurairah r.a. berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Bila seseorang di antaramu bangun tidur, maka semprotkan air dengan hidung (setelah dihirupnya) tiga kali. Sebab setan bermalam di lubang hidungnya yang paling atas.”
(Muttafaqun ‘alaih).
Setan berjalan di tubuh Ibnu Ādam sebagaimana peredaran darah, lalu menguasainya di waktu berjaga dan tidur. Dia duduk di atas hidung Ibnu Ādam yang paling atas sebab lubang hidung tersebut sebagai jalan ke hati dan tidak tertutup sesuatu sebagaimana dua telinga.
Oleh karena itu, hidung sebagai tempat duduk setan sebagaimana tempat kencingnya adalah dua telinga Ibnu Ādam seperti apa yang diterangkan oleh hadits lain. Dan oleh karena lubang hidung adalah tempat ingus dan kotoran dan hal itu yang cocok dengan setan. Maka cara untuk mengusirnya adalah dengan menyemprotkan air dari hidung agar dia keluar dalam keadaan terhina.
(مَنَامِهِ) : Mashdar mīm, artinya tidur.
(فَلْيَسْتَنْثِرْ) : al-Intintsār adalah mengeluarkan air dari hidung setelah dihirupnya.
(خَيْشُوْمِهِ) : Bagian hidung yang atas.
Abū Hurairah r.a. berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Bila seseorang di antaramu bangun tidur, maka janganlah memasukkan tangannya ke dalam bejana sehingga dibasuh tiga kali. Sesungguhnya dia tidak tahu di mana tangannya semalam berada.”
(Muttafaqun ‘alaih dan lafal hadits tersebut menurut riwayat Muslim).
Bila seseorang tidur, maka dia tidak mengetahui keadaan tidurnya. Barangkali auratnya terbuka di waktu tidur, lantas di sentuh tangannya. Rasūlullāh s.a.w. yang bijaksana menganjurkan kita untuk mencuci kedua tangan tiga kali ketika bangun tidur sebelum dimasukkan ke bejana. Apalagi setelah tidur malam.
(وَ عَنْهُ) : Dari Abū Hurairah.
(فَلَا يَغْمِسْ) : Janganlah memasukkan (يَدَهُ – tangannnya ke tempat air). Larangan tersebut bersifat makruh.
(لَا يَدْرِيْ أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ) : Dia tidak mengetahui di mana tangannya berada, barangkali menyentuh auratnya. Sebab para sahabat dahulu beristinja’ dengan batu, dan negaranya amat panas. Barangkali tangannya berbau keringat sehingga bisa merubah keadaan air (yang sedikit) bila tidak dibasuh terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke bejana air.
Laqīth bin Shabirah r.a. berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Berwudhu’lah dengan sempurna, sela-selailah antara jari-jari, menghiruplah air dengan hidung dengan sungguh-sungguh kecuali bila kamu berpuasa.”
(HR. Empat Imām hadits).
Ibnu Khuzaimah menyatakan bahwa hadits tersebut adalah shaḥīḥ. Menurut riwayat Abū Dāūd sebagai berikut: “Bila kamu berwudhu’, berkumurlah.”
Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan kami dalam berwudhu’ untuk selalu memperhatikan agar dilakukan dengan sempurna. Kita juga dianjurkan memperhatikan anggota yang tidak begitu tampak seperti sela-sela jari-jemari, hendaklah dibasuh dengan air dan dibersihkannya.
Begitu juga dalam menghirup air dengan hidung. Seluruhnya itu dimaksudkan berwudhu’ dengan sempurna.
(أَسْبِغِ الْوُضُوْءَ) : Hendaknya menjalankan kewajiban dan sunat-sunatnya. Al-isbāgh (الْإِسْبَاغُ). Membasuh anggota dengan sempurna.
(خَلِّلْ) : Memasukkan air di antara jari-jari.
(وَ بَالِغْ) : Menghirup air dengan hidung dengan sungguh-sungguh, tapi airnya tidak sampai ke otak. Bila begitu, maka dimakruhkan.
Laqīth bin ‘Āmir bin Shabirah adalah sahabat yang terkenal di kota Thā’if. Beliau meriwayatkan 24 hadits. Anaknya bernama ‘Āshim dan keponakannya Wakī‘ bin Adas meriwayatkan hadits darinya.
‘Utsmān r.a. berkata: “Sesungguhnya Nabi s.a.w. menyelahi jenggotnya dalam berwudhu’.”
(HR. Tirmidzī dan menurut Ibnu Khuzaimah, Hadits tersebut adalah shaḥīḥ.)
Rasūlullāh s.a.w. adalah berjenggot tebal. Beliau senantiasa menyelahi jenggotnya dalam berwudhu’ dan mandi besar agar air bisa sampai ke kulitnya. Beliau melakukan sedemikian ini untuk menyempurnakan wudhu’ dan mengajari syariat kepada umatnya agar mereka mengikuti jejak beliau, dan menapaki jalan beliau yang lurus.
Semoga Allah memberikan manfaat kepada kita dengan sunnah-nya dan menjadikan kita orang yang mendengarkan perkataan, lalu mengikutinya dengan yang lebih baik.
(يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ) : Memasukkan air dengan jari-jarinya pada jenggotnya.
1 Anjuran syara‘ untuk menyelahi jenggot dengan memasukkan jari-jari yang dibasahi dengan air, bila jenggot tersebut tebal tidak bisa dilihat kulitnya dari luar.
‘Abdullāh bin Zaid r.a. berkata: “Sesungguhnya air dua puluh tiga mud didatangkan kepada Nabi s.a.w. lalu beliau menggosok kedua lengannya.”
(HR. Aḥmad).
Menurut Ibnu Khuzaimah bahwa Hadits tersebut adalah shaḥīḥ.
Menghambur-hamburkan adalah menyia-nyiakan harta. Sedang perbuatan Rasūlullāh s.a.w. adalah pelajaran bagi umatnya. Beliau pernah berwudhu’ dengan air setakar kecil yang cukup untuk ukuran sekati dan sepertiganya.
Beliau berwudhu’ dengan menjalankan tangannya ke anggota wudhu’nya agar rata dengan air. Beliau juga meneliti tempat-tempat yang terselinap. Hal ini bukanlah ketentuan, tapi perkiraan belaka bagi orang yang tubuhnya seperti tubuh Nabi s.a.w.
Jadi kadar banyaknya air yang dibuat wudhu’ berbeda menurut siapakah yang memakai dan dalam keadaan apakah?
(بِثُلُثَيْ مُدٍّ) : Mud adalah takaran yang sudak dikenal, yaitu seperempat gantang (satu gantang = 3,125 kg) atau sama dengan dua kati (satu kati = 6¼ ons) menurut pendapat madzhab Ḥanafī. Jadi dua pertiga mud sama dengan sekati yaitu setapak tangan orang biasa. Diberi nama mud (panjang), sebab ia akan memanjangkan tangannya dengan dua tapak tangan. Lafal tsulutsai (ثُلُثَيْ) adalah tasniyah lafal (ثُلُثٌ) yang di-jarr-kan dengan bā’. Sedang alamat jarr-nya adalah yā’, karena dia isim tasniyah. Lafal muddun (مُدٌّ), kedudukannya menjadi mudhāf ilaih.
Imām Mālik, Aḥmad dan Syāfi‘ī berkata bahwa satu mud adalah satu kati dan sepertiga kati ‘Irāqī. Jadi dua pertiga mud adalah delapan kati.
(ذِرَاعَيْهِ) : Dua lengan. Ia tasniyah lafal dzirā‘ (ذِرَاعٌ). Setiap anggota manusia yang dua biasanya adalah mu’annats. Bila satu maka hukumnya mudzakkar.
‘Abdullāh bin Zaid bin ‘Abdu Rabbih bin Zaid bin al-Ḥārits al-Anshārī al-Khazraj Abū Muḥammad. Dia menghadiri baiat al-‘Aqabah dan perang Badar atau peperangan sesudahnya. Dialah yang pernah bermimpi Adzan. Ibnu Musayyab meriwayatkan Hadits darinya, begitu juga perawi yang lain. Beliau meninggal dunia pada tahun tiga puluh dua (32 H) Hijriyah, ‘Utsmān melakukan salat janazah padanya.
Dari dia (‘Abdullāh bin Zaid) r.a. bahwa sesungguhnya dia melihat Nabi s.a.w. mengusap dua telinganya dengan air yang bukan sisa mengusap kepalanya. (HR. al-Baihaqī).
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim dengan sanad ini pula dengan redaksi sebagai berikut:
“Beliau mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa membasuh kedua tangannya.” Redaksi inilah yang terpelihara.
Al-Imām Syāfi‘ī menggunakan dalil hadits tersebut untuk menyatakan bahwa kedua telinga tidak termasuk kepala. Seandainya dua telinga termasuk kepala. Rasūlullāh s.a.w. tidak mengambil air baru untuk mengusapnya.
Rasūlullāh s.a.w. mengusap kedua telinga dengan sisa air mengusap kepalanya dalam keterangan hadits tersebut menunjukkan hal itu diperbolehkan. (Catatan: sepertinya ini bertentangan dengan pernyataan sebelumnya dan Hadits di atas – SH.)
(وَ عَنْهُ) : Dari ‘Abdullāh bin Zaid.
(فَضْلِ يَدَيْهِ) : Sisa air dari membasuh kedua tangannya.
(وَ هُوَ) : Hadits.
(الْمَحْفُوْظُ) : Hadits yang maḥfūzh. Tentang definisinya telah diterangkan dalam muqaddimah.