004 Uluhiyyah (Ketuhanan) – Insan Kamil – Syaikh Abd. Karim al-Jaili

INSAN KAMIL
Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman

Karya: Syaikh Abd. Karim Ibnu Ibrahim al-Jaili

Penerjemah: Misbah El Majid. Lc.
Diterbitkan oleh: Pustaka Hikmah Perdana.

Bab 4

ULŪHIYYAH (Ketuhanan)

 

Ketahuilah, bahwasanya segala hakekat wujud dan pemeliharaannya dalam martabat (kedudukan) wujud, dinamakan al-Ulūhiyyah (ketuhanan). Yang dimaksud dengan hakekat wujud di sini adalah, hukum-hukum lahir yang tertampakkan pada makhluk dan al-Ḥaqq. Maka universalitas kedudukan Ilāhiyyah (ketuhanan), dan strata segenap wujud, berikut pemberian setiap hak dari masing-masing martabat (kedudukan) wujud, itulah sejatinya makna Ulūhiyyah (ketuhanan). Allah adalah isim (nama) untuk Rabb (pengatur) kedudukan-kedudukan tersebut, tidak ada dzāt Yang Maha Pengatur kedudukan-kedudukan itu, melainkan dzāt Yang Wājib-ul-Wujūd (wujud yang mesti ada dengan sendirinya) dan Maha Qudus (suci). Maka penampakan tertinggi inti (dzāt)-Nya adalah penampakan Ulūhiyyah (ketuhanan), karena meliputi segala sesuatu, serta mencakup segala manifestasi yang lahir dari dimensi sifat-sifat dan nama-namaNya. Ulūhiyyah laksana Umm-ul-Kitāb (induk kitab), al-Qur’ān laksana al-Aḥadiyah (ke-Esa-an), al-Furqān laksana al-Wāḥidiyah (ke-Tunggal-an) al-Kitāb-ul-Majīd (kitab yang mulia) laksana Raḥmāniyyah (kepemurahan). Kesemua itu merupakan sebuah pengibaratan, jika tidak, maka induk kitab akan dijadikan pijakan i‘tibār pertama setiap pelaku hakekat, untuk mengidentifikasi inti (dzāt)-Nya. Jikalau demikian adanya, maka al-Qur’ān ‘ibārat dzāt, sedang al-Furqān ‘ibārat sifat-sifat, al-Kitāb ‘ibārat wujud mutlak. Kami akan kupas masalah ini secara detil pada pasal (al-Kitāb) pada bab yang akan datang.

Jika anda bisa memahami istilah dan dapat memakrifahi hakekat apa yang kami paparkan, anda akan bisa memahami subtansi kajian ini, yakni tidak ada dualisme pengertian, karena pengibaratan tersebut sejatinya bermuara pada satu makna. Bila anda telisik lebih dalam lagi, anda akan mengetahui bahwasanya Aḥadiyyah (ke-Esa-an) merupakan nama tertinggi di bawah naungan kedigdayaan dan keagungan serta pemeliharaan ketuhanan. Wāḥidiyah (ke-Tunggal-an) merupakan awal penurunan al-Ḥaqq dari ke-Esa-an, sedang tingkatan tertinggi yang mencakup ke-Tunggal-an adalah tingakatan Raḥmāniyyah (kepemurahan), dan penampakan tertinggi Raḥmāniyyah adalah Rubūbiyyah. Adapun penampakan tertinggi Rubūbiyyah adalah isim-Nya al-Mulk, maka Mulūkiyyah di bawah Rubūbiyyah, dan Rubūbiyyah di bawah Raḥmāniyyah, dan Raḥmāniyyah di bawah Wāḥidiyyah, dan Wāḥidiyyah di bawah Aḥadiyyah, berikut Aḥadiyyah di bawah Ulūhiyyah. Sebab sejatinya Ulūhiyyah adalah pemberian hak-hak segala yang wujud dan yang tidak wujud, meliputi segala sesuatu secara utuh dan bersifat universal. Sedangkan Aḥadiyyah merupakan inti dari hakekat-hakekat wujud yang bersifat parsial, dengan demikian Ulūhiyyah lebih tinggi ketimbang Aḥadiyyah, dan dapat diketahui bahwa nama Allah merupakan nama tertinggi, lebih tinggi dibandingkan nama al-Aḥad, nama Esa merupakan penampakan khusus daripada inti (dzāt)-Nya, sedang Ulūhiyyah merupakan penampakan universal inti (dzāt)-Nya, berikut sifat-sifat serta nama-namaNya. Dalam laku suluk, terkadang para ahli hakekat banyak yang terhijabkan dari tajallī Aḥadiyyah, namun jarang yang terhalang dari Ulūhiyyah. Aḥadiyyah merupakan dzāt murni, tidak tertampakkan sifat-Nya pada makhluk-Nya, tidak diperkenankan penisbatannya (Aḥadiyyah) kepada makhluk-Nya dalam segala hal, pun dalam bentuk pewajahan apapun. Aḥadiyyah hanya untuk dzāt-ul-Qadīm (adanya tidak didahului oleh sesuatu), yang berdiri sendiri bersama inti (dzāt)-Nya, tidak ada kalām (ujaran-ujaran) dalam dzāt yang Wājib-ul-Wujūd, karena tidak sesuatupun yang disembunyikan dari Diri-Nya. Jika kamu manifestasi Dia, maka kamu bukan kamu, akan tetapi Dia adalah Dia, jika Dia manifestasi kamu, Dia bukan Dia, akan tetapi kamu adalah kamu, orang seorang yang telah telah wushūl (sampai) pada tingkatan tajallī ini, maka ia telah menggapai tajallī Aḥadiyyah (ke-Esa-an), karena hakekat tajallī ke-Esa-an, tidak tereduksi di dalamnya penyebutan kamu dan tidak pula terduksi dengan penyebutan Dia. Pahami betul masalah ini!

Ketahuilah, bahwasanya Wujūd (ada) dan ‘Adam (ketiadaan), satu sama lain saling berhadapan dan berlawanan, falak Ulūhiyyah meliputi keduanya, karena Ulūhiyyah mengumpulkan dua sifat yang kontradektif, seperti Qadīm (sesuatu yang adanya tidak didahului oleh sesuatu) dan Ḥudūts (adanya karena diciptakan), al-Ḥaqq dan Makhlūq, Wujūd (ada) dan ‘Adam (ketiadaan). Dalam lanskap Ulūhiyyah, hal yang mustahil bisa menjadi wajib, pun sebaliknya hal yang wajib menjadi mustahil. Begitu pula dalam dimensi Ulūhiyyah ini, al-Ḥaqq memanifestasikan Diri-Nya dalam citra makhluk-Nya, seperti sabda Rasūl-Nya: “Aku melihat Rabb-ku dalam citra pemuda yang tampan.” Pun makhluk termanifestasikan dalam citra al-Ḥaqq, seperti sabda Rasūl .s.a.w.: “Ādam diciptakan dalam citra-Nya.” Realita yang kontradiktif tersebut menghamparkan jalan bagi para pelaku hakekat untuk memakrifahi hakekat segala sesuatu baik yang berdimensikan ketuhanan maupun kemakhlukan. Sebab hakekat ketuhanan tidak akan pernah selesai ditafsiri oleh manusia sepanjang masa, itulah esensi wajah kebesaran al-Ḥaqq. Maka penampakan al-Ḥaqq dalam dimensi ketuhanan adalah manifestasi kesempurnaan-Nya, dan Ulūhiyyah merupakan martabat yang paling sempurna dan tertinggi, serta merupakan manifestasi terbaik dan tajallī utama untuk menunjukkan inti (dzāt)–Nya berikut nilai-nilai Ulūhiyyah (ketuhanan) Diri-Nya.

Adapun penampakan makhluk dalam lanskap Ulūhiyyah, dengan segala wacana dan ragamnya, termasuk wilayah “Mumkināt” (sesuatu yang mungkin), demikian pula dengan wujud dan ketiadaannya. Sedangkan penampakan wujud dalam Ulūhiyyah adalah juga mungkin terjelma dengan sempurna, terutama penampakkan kebersamaan antara al-Ḥaqq dengan makhluk-Nya, demikian halnya dengan keterpisahan di antara keduanya. Begitu pula dengan penampakan al-‘Adam (ketiadaan) dalam Ulūhiyyah, dengan segala wacana dan ragam bāthiniyyah-nya, berikut ketiadaan dalam fanā’ (kesirnaan) yang terjelma secara sempurna adalah juga merupakan wilayah “Mumkināt”. Kesemua itu tidak bisa dicapai dengan nalar logika (jalan akal), dan tidak bisa digapai dengan optimalisasi pemikiran, namun hanya bisa digapai dengan Kasyf-ul-Ilāhiyyah (intuisi ketuhanan), yaitu pengetahuan yang bersifat Dzauq-ul-Maḥdh (intuisi murni), dan tajallī universal ini sering disebut dengan tajallī ketuhanan. Tingkat spiritual ini juga merupakan oase kerinduan para pelaku hakekat untuk mereguk hakekat kesempurnaan-Nya. Berpangkal dari rahasia ketuhanan itulah Rasūl s.a.w. bersabda: “Aku adalah insan yang paling mengerti akan Allah, dan aku adalah insan yang paling takut kepada-Nya.” Rasūl Muḥammad s.a.w. tidak takut kepada Rabb (Maha Pengatur), tidak pula takut kepada ar-Raḥmān (Maha Pemurah), akan tetapi beliau takut kepada Allah, yang sedemikian itu seperti yang diisyaratkan Rasūl s.a.w. dalam sabda beliau: “Aku tidak tahu apa yang hendak Dia lakukan (perbuat) kepada diriku dan pada diri kalian.”, padahal Rasūl s.a.w. adalah insan yang paling paham (mengerti) akan esensi Maujūdāt (segala wujud) denga al-Ḥaqq, dan apa-apa yang tertampakkan dari rahasia ketuhanan pada segala wujud. Rasūl s.a.w. hendak memaklumatkan, seraya berkata: Aku tidak tahu pencitraan seperti apakah manifestasi ketuhanan yang akan ditampakkan-Nya, Dia tidak akan bertajallī melainkan sejalan dengan hukum-hukum kehidupan, dan hukum ketuhanan-Nya tidak terbantahkan. Dia melihat tapi tidak terlihat, Dia seakan tidak tahu, tapi sebenarnya tahu, dan tajallī ketuhanan adalah tidak ada batas dan ragamnya tidak terkirakan. Tajallī-Nya tidak bisa dirinci terlebih dipersempit dengan beberapa sisi (wajah), sebab adalah mustahil bagi al-Ḥaqq memiliki batas akhir. Dia tidak berakhiran, tidak ada jalan untuk mempersepsi sesuatu yang tidak berakhiran. Dia bertajallī dengan wajah universal dan global serta kesempurnaan. Masing-masing pelaku hakekat dapat mempersepsi kesempurnaan tersebut, sejalan dengan tingkat spiritual yang telah diraihnya, terlebih sejalan dengan kedekatan dirinya kepada dzāt Yang Maha Besar dan Maha Tinggi.

Nilai-nilai Ulūhiyyah (ketuhanan) itu dapat disaksikan bekas-bekasnya, namun inti (dzāt) ketuhanan-Nya tidak bisa disaksikan, hukum-hukum ketuhanan bisa diketahui dengan jelas namun tidak bisa diraba bentuknya, inti (dzāt) bisa dilihat dengan intuisi, namun Kaifiyyah (seperti apa cara)-nya sangatlah misteri, ia bisa disaksikan dengan intuisi namun daya persepsi tidak akan pernah mampu memberi penjelasan tentangnya. Semantis logikanya, sama seperti ketika anda melihat sosok anak manusia, lalu anda mengetahui sosok itu dilabeli ragam sifat yang menjadi karakteristik dirinya, semua karakteristik sifat yang dilabelkan kepda orang itu hanya bisa anda ketahui dengan dan dari kerangka ‘ilm (pengetahuan) dan keyakinan, sedang anda tidak bisa melihat inti (dzāt) karakteristik yang disifatkan kepada orang tersebut. Anda mungkin hanya bisa melihat inti karakteristiknya dalam bentuk global saja, sedang untuk merincinya anda tidak mungkin bisa, begitu pula anda tidak akan bisa melihat esensi karakter orang itu, melainkan dari bekas-bekasnya belaka. Demikianlah jelas sekali kenyataan yang anda hadapi, anda hanya bisa melihat inti sifat anak manusia secara global, anda tidak memiliki kapasitas untuk mengetahui segala sifat yang dimiliki orang tersebut, anda mungkin hanya mampu mengetahui puluhan saja, inti sifatnya dapat anda ketahui, sedang multi sifat-sifatnya tidak dapat anda jangkau secara utuh dan anda hanya bisa mengetahui eksistensi manusia melalui atsar (bekas) sifat-sifat dilabelkan kepadanya. Seperti inilah hendaknya anda bersemantis logika untuk memakrifahi inti (dzāt)-Nya dan sifat-sifat ketuhanan-Nya.

Inti (dzāt)-Nya bisa dimakrifahi dengan Kasyf (pengetahuan intuitif), adapun sifat-sifatNya tidak terbilang jumlahnya, anda tidak memiliki kapasitas (kemampuan) untuk menyibak ragam sifat-Nya, karena jumlahnya tidak terbatas. Anda hanya bisa menyaksikan sifat-sifatNya dari atsar (bekas) dan jejak serta pengaruh-Nya belaka. Adapun sifat yang terkait Diri-Nya, ia sama sekali tidak bisa dilihat dan mustahil bisa dilihat. Mari bersemantis logika, ambillah satu contoh, anda tidak akan bisa mengetahui hakekat keberanian dalam pertempuran, melainkan dengan sikap patriotisme pertarungan si medan laga. Sikap patriotik itu merupakan atsar (pengaruh) keberanian, bukan keberanian itu sendiri, bukankah anda menilai kemuliaan seseorang dari “laku” kemuliaan-nya? Semisal ia sangat dermawan, pemberian yang memberi arti bagi yang lain itulah sejatinya wajah kemuliaan, bukan kemuliaan itu sendiri. Karena sifat merupakan inti (dzāt) sesuatu yang disifati, ia tertampakkan dengan sesuatu yang disifatinya, inti sifatnya tidak tampak yang tampak adalah bekas, pengaruh daripada sifat itu sendiri. Dan inti sifat itu tidak boleh dipisahkan dengan al-Maushūf (sesuatu yang disifati). Pahami betul masalah ini, agar tidak terjebak pada pemaknaan simbolistik.

Ulūhiyyah memiliki rahasia, yaitu: setiap person (partikel) wujud yang diberi nama, baik yang bersifat Qadīm (eternitas) maupun Ḥudūts (kebaruan), Ma‘dūm (tidak ada) dan Maujūd (ada), jika wushūl (sampai) kepada-Nya, akan fanā’ (sirna) di hadapan hadhirat-Nya. Semua inti (dzāt) kemakhlukan akan lenyap di hadapan inti (dzāt)-Nya, dalam ekstase mistis (Sakr) seperti itu segala wujud berada dalam naungan perlindungan Ulūhiyyah (ketuhanan). Perumpamaan Maujūdāt (segala wujud) itu laksana cermin yang berhadap-hadapan, masing-masing terlihat di hadapan cermin tersebut, seperti anda tatkala berdiri di hadapan cermin, anda akan melihat “gambar” anda secara utuh, dzauq (intuisi) anda pun merasakan al-Wujdān, bahwa anda merasa menyatu dengan “gambar” anda dicermin tersebut, anda juga merasa gambar dicermin itu adalah diri anda yang sesungguhnya, perasaan anda yang teralihkan ke gambar anda dalam cermin yang seakan gambar itu (anda rasakan) sebagai diri anda sendiri itulah oleh para pelaku hakekat disebut: al-Maḥwu (terhapus), yakni hapusnya sifat diri lenyap bersama sifat al-Ḥaqq. Itulah gambaran sederhana memaknai etos kesirnaan (Fanā’), kelenyapan (Halak) dan keterhapusan (Maḥwu) diri di hadapan al-Ḥaqq. Dengan menganalogikan gambar diri dalam cermin, berikut korelasinya dengan cermin ketuhanan ini, citra diri anda di hadapan al-Ḥaqq tidak akan dilebihkan dan dikurangi, semua itu bergantung diri anda dalam menemukan kesejatian citra diri (anda) di hadapan al-Ḥaqq, pun kemampuan diri anda dalam menangkap manifestasi ketuhanan-Nya pada diri anda. Dan cermin ketuhanan itu sejatinya banyak sekali, anda bisa bercermin dengan kejadian alam, perilaku manusia, latar kesejarahan bahkan dalam diri sendiri anda sendiri sebenarnya i‘tibār ketuhanan itu sangatlah banyak. Citra ketuhanan yang ada pada segala wujud itu merupakan cerminan nyata, yang dengan cermin itu anda tidak akan terjerembab ke dalam pemaknaan Ḥulūl (bertempat) dan Ittiḥād (menyatu secara dzāt), terlebih tindak kesyirikan. Dengan pemahaman seperti itu, semoga sayap-sayap ritual anda bisa terbang menuju sangkar Aḥadiyyah (ke-Esa-an) Diri-Nya, dan anda bisa me-mukāsyafah-i inti (dzāt)-Nya melalui sifat-sifatNya, anda pun bisa meraih manisnya isi (buah) makrifah dan membuang kulit-kulit ritual simbolistik. Semoga anda termasuk insan-insan yang tidak terbutakan dari wajah-Nya serta terbebas dari hijab. “Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.” Q.S.al-Aḥzāb 33:4

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *