4-6 Tauhid-uz-Zat – Permata Yang Indah (Bagian 6)

الدر النفيس
للشيخ محمد نفيس ابن إدريس البنجاري

PERMATA YANG INDAH
TITIAN SUFI MENUJU TAUḤĪDULLĀH
Oleh: Syekh Muhammad Nafīs Ibnu Idrīs Al-Banjārī

Rangkaian Pos: 004 Tauhid-uz-Zat - Permata Yang Indah

هو

PASAL EMPAT

TAUḤĪD AŻ-ŻᾹT

(Bagian 6)

 

Pada saat di mana seseorang mencapai maqam fanā’ dan baqā’ tersebut, “jannah mu‘ajjalah” akan diperolehnya seketika, yaitu berupa makrifat akan Allah s.w.t. Ia juga dipersiapkan untuk mendapatkan segala nikmat dan kelezatan yang didambakan oleh nafsu dan matanya secara kekal, abadi, sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya:

وَ فِيْهَا مَا تَشْتَهِيْهِ الأَنْفُسُ وَ تَلَذُّ الأَعْيُنُ وَ أَنْتُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ

Dan di dalam Surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya.” (az-Zukhruf [43]: 71).

Di dalam surga ini, ia akan merasakan nikmat yang tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati manusia. Nabi Muḥammad s.a.w. menggambarkan hal ini:

خُلِقَ فِيْهَا مَا لاَ عَيْنٌ رَأَتْ وَ لاَ أُذُنٌ سَمِعَتْ وَ لاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ

Diciptakan di dalam Surga nikmat yang tiada pernah dilihat oleh mata, tiada pernah didengar oleh telinga, dan tiada pernah terlintas di hati manusia.

Allah membukakannya hijab yang selama ini menutupi, dan memperkenalkan Diri-Nya kepadanya. Sehingga, orang ini mengenal Allah dengan sesempurna-sempurna pengenal dan sebenar-benar makrifat. Orang ini juga, pada gilirannya, mampu melihat Allah dengan sebenar-benar Zat-Nya yang laysa kamiṡlih syay’ wa Huwa as-Samī‘ al-Baṣīr (tidak satu pun serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat). Dengan demikian, orang ini pada dasarnya memperoleh kemenangan pada saat itu, yakni dengan dapatnya ia berdampingan dan berdekatan dengan Allah s.w.t. Ia tidak akan lagi merasakan sakit (penyakit) dan duka nestapa. Sebaliknya, rasa suka citanya semakin bertambah. Proses seperti ini berlangsung secara abadi. Hal ini seperti disebutkan di dalam al-Qur’ān:

أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَ لاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yūnus [10]: 62).

Di samping itu, para wali (awliyā’) ini juga akan memperoleh kerajaan dan keramat. Hal ini tidak sama dengan raja-raja bumi yang berkuasa dengan tidak pada hakikatnya. Para wali inilah yang sebenarnya raja dengan kerajaan yang dimilikinya. Para wali ini, dan lebih luas hamba-hamba pilihan-Nya, telah menunjukkan keridhaan mereka kepada qaḍā’ (keputusan) Allah. Bagi mereka, laut, darat, dan seluruh alam semesta ini, adalah satu alas (qadam) jua. Batu dan tanah bagi mereka laksana emas dan perak, yakni mereka mampu, dengan keramat yang dimilikinya, mengubah batu dan tanah itu menjadi emas atau perak. Salah satu riwayat yang kadang dikutip orang adalah kisah tentang Ibrāhīm ibn Adham r.a. Suatu ketika, Ibrāhīm hendak menumpang sebuah perahu, maka dipanggillah si tukang perahu. Seperti biasanya, si tukang perahu pun mematok harga kepada calon penumpangnya. Ibrāhīm ibn Adham dalam hal ini diharuskan membayar satu dinar. Namun, Ibn Adham tidak mempunyai uang sebesar yang ditentukan itu. Kemudian ia melakukan salat dua rakaat dengan satu salam, dan kemudian berdoa kepada Allah dengan doanya:

اللهُمَّ أَنَّهُمْ قَدْ سَئَلُوْنِيْ مَا لَيْسَ عِنْدِيْ وَ هُوَ عِنْدَكَ كَثِيْرٌ

“Ya Tuhanku! Sesungguhnya mereka telah meminta suatu barang dariku di mana barang itu tidak ku miliki, sementara, barang itu sangat banyak pada-Mu.”

Setelah wali ini berdoa, maka seketika itu juga, semua pasir yang ada di sekitarnya berubah menjadi dinar. Ia mengambil satu dinar, lalu memberikan kepada si tukang perahu tersebut, untuk kemudian naik ke perahunya.

Jadi, camkanlah bahwa segala jin, manusia, binatang, dan burung, tersungkur di hadapan Tuhan-nya. Mereka semua tidak berkehendak kecuali hanya kehendak Allah. Mereka semua tidak takut kepada siapa pun kecuali hanya kepada Allah s.w.t. Mereka semua tidak berkhidmat kepada sesuatu pun di antara makhluk-Nya, kecuali hanya kepada Allah s.w.t. Syaikh Masyāyikhinā as-Sayyid Muṣṭafā Ibn Kamāl ad-Dīn al-Bakrī r.a. melukiskan hal ini di dalam Ward Saḥr-nya:

عَبِيْدٌ وَ لكِنِ الْمُلُوْكُ عَبِيْدُهُمْ

وَ عِنْدَهُمْ أَضْحَى لَهُ الْكَوْنُ خَادِمًا

“Hamba yang sejati akan menundukkan para penguasa. Bahkan seluruh makhluk pun berkhidmat kepadanya.”

Syaikhunā al-‘Ᾱrif bi Allāh Mawlānā asy-Syaikh Ṣiddīq Ibn ‘Umar Khān q.s. mengatakan:

“Katakanlah bahwa segenap alam akan tunduk dan berkhidmat kepada manusia sebagai hamba, lebih-lebih jika hamba tersebut adalah orang-orang yang menempati tingkatan pintu kemuliaan (wali), orang-orang ṣiddīq, dan memang dianggap pantas. Ketundukan alam kepada hamba yang demikian melebihi sepuluh tingkatan para raja mulia di dunia ini. Raja-raja ini tidak mampu menyamai hamba mulia tersebut, karena bagian raja-raja ini pada dasarnya sangat sedikit dibanding betapa besar nikmat dan bagian yang diperoleh oleh hamba-hamba tersebut.”

Hamba-hamba tersebut tidak lain adalah para wali Allah. Mereka memperoleh kerajaan dari nikmat Allah di dunia ini melebihi para raja-raja bumi, sedangkan yang mereka peroleh ketika di Akhirat, sebagaimana difirmankan oleh Allah:

وَ إِذَا رَأَيْتَ ثُمَّ رَأَيْتَ نَعِيْمًا وَ مُلْكًا كَبِيْرًا

Dan apabila kamu melihat di sana (Surga), niscaya kamu akan melihat pelbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.” (al-Insān [76]: 20).

Jadi, kalau kita coba merenung sejenak, apakah ada kira-kira yang lebih besar daripada apa yang benar-benar telah dikatakan Allah dalam al-Qur’ān ini? Jika Allah telah mengatakan demikian, maka tentulah benar. Surga adalah kerajaan yang amat besar melebihi dunia ini. Dunia terlalu kecil untuk dibandingkan dengan Akhirat yang begitu besar. Di samping besar, Akhirat juga kekal; apa yang telah kita peroleh di Akhirat maka itulah bagian kita untuk selama-lamanya. Sedangkan dunia bersifat sementara dan sedikit; apa yang telah kita peroleh di dunia ini pada akhirnya akan hancur dan sangat sedikit nilainya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh sebagian ḥukamā’ (kaum bijak):

الدُّنْيَا أَقَلُّ مِنَ الْقَلِيْلِ وَ عَاشِقُهَا أَذَلُّ مِنَ الذَّلِيْلِ

“Dunia itu lebih sedikit daripada yang sedikit dan orang menikmati kesenangan-kesenangan duniawinya lebih hina daripada segala yang hina.”

Wa Allāh A‘lam. Semoga Allah menjadikan kita termasuk di antara orang-orang yang menyaksikan (syuhūd) dan di antara orang-orang yang rindu dan senang dengan berkat Nabi Muḥammad s.a.w.

 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *