هو
PASAL EMPAT
TAUḤĪD AŻ-ŻᾹT
(Bagian 5)
Orang yang ahlinya adalah setiap orang yang hatinya suci dari segala sesuatu selain Allah. Orang ini senantiasa menjunjung tinggi amanat yang diberikan Allah untuk tidak menceritakan kepada orang lain mengenai hal apa pun yang dialaminya dalam proses perjalanan spiritualnya; lebih-lebih lagi untuk menceritakan hal tersebut kepada kalangan biasa. Orang ini juga akan senantiasa menjaga apa-apa yang dapat menghalangi seseorang dari Allah s.w.t. Di samping itu, karena setelah dicapainya Maqam Baqā’ diwajibkan pula untuk kembali kepada penerapan eksoterisme (lahir) syari‘ah sang Nabi, maka ia pun tetap menunaikan segala hal yang diperintahkan oleh syara‘ dan menjauhi segala hal yang dilarang oleh syara‘. Orang ini juga akan bertindak secara proporsional, yakni dengan memberikan bagian secara sempurna kepada yang berhak menerimanya. Sehingga, orang yang demikian ini menjadi “kekal bersama Allah (baqā’ bi Allāh), sebuah maqam yang dituntut oleh para sālik. Maqam ini terdiri dari dua macam:
1. Maqam Fanā’, yaitu memandang dan ber-musyāhadah mengenai empat perkara – di mana masing-masing telah dijelaskan di muka:
a. Tauḥid al-Af‘āl
b. Tauḥid al-Asmā’
c. Tauḥid aṣ-Ṣifāt
d. Tauḥid aż-Żāt
2. Maqam Baqā’, yang terdiri dari dua perkara – di mana masing-masing juga telah diuraikan di atas:
a. Syuhūd al-kaṡrah fī al-waḥdah, artinya memandang yang banyak di dalam yang satu.
b. Syuhud al-waḥdah fī al-kaṡrah, artinya memandang yang satu di dalam yang banyak. Masing-masing dari kedua perkara ini juga telah diuraikan di atas.
Maqam Baqā’ adalah lebih tinggi dan lebih mulia daripada Maqam Fanā’. Sebab, Maqam Fanā’ akan binasa dan lenyap di bawah Aḥadiyyah Allah, sedangkan Maqam Baqā’ adalah maqam yang tetap dan kekal di dalam Waḥidiyyah Allah. Di samping itu, Maqam Fanā’ adalah maqam dari pandangan bahwa tiada yang maujud kecuali Allah, sementara Maqam Baqā’ adalah maqam dari pandangan bahwa Allah dan Qayyūmiyyah-Nya senantiasa menyertai setiap żarrah al-wujūd (partikel wujud; bagian terkecil dari wujud), yang berarti Ia Qā’im (berdiri) di atas segala wujud.
Maqam Baqā’ ini dinamakan juga dengan Maqam Tajallī, Ẓuhūr (Penampakan), dan Maqām. Elaborasi lebih lanjut mengenai maqam ini, dapat diperhatikan dalam kalimat-kalimat berikut ini:
مَا رَأَيْتُ شَيْئًا إِلاَّ وَ رَأَيْتُ اللهَ مَعَهُ
“Aku tidak melihat sesuatu kecuali aku melihat Allah bersamanya.”
مَا رَأَيْتُ شَيْئًا إِلاَّ وَ رَأَيْتُ اللهَ فِيْهِ
“Aku tidak melihat sesuatu kecuali aku melihat Allah di dalamnya.”
مَا رَأَيْتُ شَيْئًا إِلاَّ وَ رَأَيْتُ اللهَ قَبْلَهُ
“Aku tidak melihat sesuatu kecuali aku melihat Allah sebelumnya.”
مَا رَأَيْتُ شَيْئًا إِلاَّ وَ رَأَيْتُ اللهَ بَعْدَهُ
“Aku tidak melihat sesuatu kecuali aku melihat Allah sesudahnya.”
Tetapi Maqam Baqā’ ini tidak akan tercapai melainkan terlebih dahulu dicapai Maqam Fanā’. Dengan kata lain, Maqam Baqā’ merupakan maqam yang dihasilkan dari Maqam Fanā’. Karena dihasilkan dari Maqam Fanā’, maka Maqam Baqā’ tidak lain daripada fanā’ al-fanā’ (lenyap dalam kelenyapan), yang dicapai setelah fanā’. Di dalam Syarḥ Ward Saḥr, Syaikhunā al-‘Ᾱlim al-‘Allāmah wa al-Bahr al-Mugriq Mawlānā asy-Syaikh ‘Abd Allāh Ibn Ḥijāzī asy-Syarqawī al-Miṣrī r.h. mengatakan:
“Biasanya, tidaklah mungkin dapat diperoleh Maqam (Baqā’) bi Allāh melainkan terlebih dahulu berhasil dicapai Maqam Fanā’. Hasil dari Maqam Fanā’ adalah Maqam Baqā’. Jika tidak demikian, maka itu jarang (nādir) terjadi.”
Pengertian fanā’ menurut definisi Sufi (ahl at-taṣawwuf) adalah meng-qā’im-kan Allah beserta Asma, Sifat, dan Zat-Nya. Sebagian kalangan ‘ārifīn bi Allah mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan fanā’ adalah menjadi fanā’ dari hawa nafsu kemanusiaan (basyariyyah) untuk berpaling kepada Tuhannya. Adapun definisi baqā’ dalam pemahaman Sufi ini juga adalah Allah s.w.t. berdiri (qā’im) di atas segala sesuatu. Sebagian ‘ārifīn berpendapat bahwa:
الْبَقَاءُ أَنْ يَكُوْنَ مِنَ اللهِ للهِ بِاللهِ
“Baqā’ adalah keadaan di mana hamba merasa bahwa ia dari Allah, untuk Allah, dan dengan Allah.”
Yang dimaksud “dari Allah” adalah bahwa Allah yang menciptakan segala yang berlaku dalam wujud ini; yang dimaksud “untuk Allah” adalah bahwa kepemilikan hanya untuk Allah dan realitas-Nya; dan yang dimaksud “dengan Allah” adalah bahwa ia maujud dengan sebab al-Ḥaqq ta‘ālā. Syaikh Quṭb ad-Dīn Qisṭānī q.s. berpendapat bahwa:
“Baik Maqam Fanā’ maupun Maqam Baqā’, keduanya merupakan sifat maknawiah pada hamba. Di antara keduanya, salah satunya menjadi penyebab lahirnya yang lain. Yaitu, Maqam Fanā’ menghasilkan Maqam Baqā’. Keduanya, dalam istilah isyarat Sufi, fanā’ ditujukan terhadap segala sifat jahat basyariyyah, sedangkan baqā’ ditujukan pada sifat-sifat terpuji yang Ulūhiyyah.”
Syaikh Ibrāhīm Ibn Sufyān q.s. mengatakan bahwa:
“Fanā’ dan baqā’ mengandung nilai keikhlasan Waḥdāniyyah (Keesaan) dan merupakan bentuk pengabdian yang sejati. Bentuk-bentuk pengabdian selain dari keduanya dapat dianggap sebagai sesat dan Zindik.”
Jika seseorang telah berhasil mencapai maqam fanā’ fī Allāh dan baqā’ bi Allāh, niscaya ia akan memperoleh lezatnya cita rasa musyāhadah akan Allah dari apa yang telah dicita-citakannya, di mana ia tidak memperolehnya dari maqam-maqam lainnya. Orang ini sampai pada derajat orang-orang ṣiddīq, yakni orang-orang yang didekatkan kepada Allah (muqarrabīn), sehingga ia menjadi ahl at-tawḥīd yang sebenarnya, dan ia kemudian disebut pula sebagai ‘ārif bi Allāh yang sejati. Di dalam setiap tarikan nafas orang ini, diperoleh pahala dari Allah sebanyak seribu kali orang yang mati syahid dalam perang fī sabīl Allāh. Hal ini seperti terungkap dalam pernyataan Quṭb al-Gawṡ Muḥyī an-Nufūs Mawlānā as-Sayyid Abū Bakr al-‘Īdurūs q.s.:
إِنَّ لِلْعَارِفِيْنَ بِكُلِّ نَفَسٍ دَرَجَةُ أَلْفِ شَهِيْدٍ
“Sesungguhnya, setiap tarikan nafas kaum ‘ārif memperoleh pahala seribu kali lipat daripada pahala orang yang mati syahid – pada jalan Allah (sabīl Allāh).”
Adapun jumlah tarikan nafas manusia normal dalam sehari-semalam adalah sekitar dua puluh delapan ribu. Wa Allāh A‘lam.