4-1 Tauhid-uz-Zat – Permata Yang Indah (Bagian 1)

الدر النفيس
للشيخ محمد نفيس ابن إدريس البنجاري

PERMATA YANG INDAH
TITIAN SUFI MENUJU TAUḤĪDULLĀH
Oleh: Syekh Muhammad Nafīs Ibnu Idrīs Al-Banjārī

Rangkaian Pos: 004 Tauhid-uz-Zat - Permata Yang Indah

هو

PASAL EMPAT

TAUḤĪD AŻ-ŻᾹT

(Bagian 1)

 

Tauḥīd aż-Żāt berarti menegaskan Allah pada zat. Maqam Tauḥīd aż-Żāt adalah maqam tertinggi yang, karenanya, menjadi terminal akhir dari pemandangan dan musyāhadah kaum ‘ārifīn. Di Maqam Tauḥīd aż-Żāt ini, akan diperoleh kenikmatan (lażżah) yang dapat terlintas di hati manusia, karena ia menjadi perhentian (kesudahan) tertinggi yang mampu dicapai oleh makhluk. Maqam yang berada di atas maqam ini, tidak satu pun di antara pengetahuan makhluk yang mampu mencapainya, bahkan para nabi dan malaikat sekalipun. Ketidakmampuan untuk mencapai maqam yang di atasnya, atau yang disebut Maqam Żāt Allah ini, disiratkan oleh firman-Nya:

وَ يُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ

Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.” (Ᾱli ‘Imrān [3]: 28).

Maksud yang tersirat dari ayat ini adalah bahwa Allah s.w.t. memperingatkan kamu dalam hal upayamu untuk mengenal atau memperoleh Maqam Żāt-Nya. Hal itu akan menjadi perbuatan sia-sia belaka dan merupakan pekerjaan pandir. Nabi s.a.w. bersabda:

كُلُّكُمْ فِيْ ذَاتِ اللهِ أَحْمَقُ

Kamu sekalian di dalam zat Allah benar-benar bodoh.

Hampir sama dengan maksud ayat di atas, Hadis ini juga memperingatkan seseorang akan kepandiran dan kedunguannya yang berusaha untuk memperoleh Żāt Allah. Syaikh ‘Abd al-Wahhāb asy-Sya‘rānī q.s., di dalam kitab al-Jawāhir wa ad-Durar dalam menyadur perkataan syaikhnya, Sayyidī ‘Alā al-Khawwās r.a. – menyatakan bahwa:

“Tidak satu pun di antara para makhluk yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Ḥaqq ta‘ālā, sebab, Dia bukanlah ‘Ayn yang bisa dicerna oleh akal, yang berada dalam hukum-hukum akal (rasional). Dia bukanlah sesuatu yang dapat dicerna oleh penyaksian (syuhūd) lewat mata hati dan juga pandangan lewat mata kepala. Dia bukanlah sesuatu yang dapat atau yang pernah dikenali. Tetapi Dia bukan pula sesuatu yang tidak dikenal sebagaimana beberapa kalangan menganggapnya demikian. Dia adalah Sesuatu Yang Melintasi semua hukum kemanusiaan yang terbatas.”

Dengan demikian, jika kita sudah menyadari bahwa Allah s.w.t. adalah Suatu Zat Yang sama sekali tidak kuasa manusia secara khusus atau makhluk secara umum mencerna atau memahami-Nya lewat hukum-hukum nisbi dan terbatas, maka wajib bagi kita untuk menyembah-Nya sebagai Satu Zat Yang Suci dan Gaib. Itulah ‘Ayn yang disaksikan, dan demikianlah sebentuk pengabdian yang sempurna.

Disebutkan bahwa, tidak seorang pun yang berhasil mencapai Maqam Tauḥīd aż-Żāt tersebut kecuali hanya Nabi kita Muḥammad s.a.w., sedangkan para nabi lainnya dan para wali, tingkatannya masih berada di bawah Nabi kita. Kemampuan Nabi menempati posisi puncak dalam hal ini, disebabkan karena tidak satu pun di antara para makhluk-Nya yang telah diciptakan dengan Zat-Nya melainkan hanya Nabi s.a.w. Hal ini seperti termaktub dalam Hadis Jābir r.a., yang nanti akan diterangkan dalam kesimpulan.

Bagaimana cara mengesakan Allah pada zat? Yaitu, dipandang dengan mata kepala dan mata hati bahwasanya tiada yang maujud di alam wujud ini melainkan Allah s.w.t. Semata. Dalam konteks ini, kita mengibaratkan kelenyanpan (fanā’) semua zat kita dan zat makhluk lainnya di bawah Zat Allah s.w.t. Kita harus meyakini bahwa Allah-lah Semata Yang merupakan Wujud Yang sebenarnya. “Wujud-wujud” yang lain bukanlah maujud yang berdiri sendiri. “Wujud” selain wujud Allah s.w.t. berdiri (qā’im) semata-mata karena Wujud Allah. “Wujud” yang lain hanyalah bersifat ilutif (khayālī), yang pada dasarnya adalah sesuatu yang tiada, bersifat wahm (sangkaan dan keragu-raguan) belaka, dan batil.

Menurut Syaikhunā al-‘Ᾱrif bi Allāh Maulānā asy-Syaikh Ṣiddīq Ibn ‘Umar Khān r.a.:

“Rahmat Allah-lah yang menyebabkan munculnya asal segala wujud. Wujud makhluk bukanlah wujud yang sejati (ḥaqīqah) tetapi merupakan wujud yang seolah-olah kita lihat di dalam mimpi, seandainya kita terbangun maka wujud itu pun akan menghilang. Seperti itulah wujud selain Allah. Apabila kita mati niscaya hilanglah ia, dan akan menjadi baru lagi manakala kita dibangkitkan. Wujud-wujud selain Allah tidak memiliki hakikat yang sesungguhnya.”

Nabi s.a.w. bersabda:

النَّاسُ نِيَامٌ فَإِذَا مَاتُوا انْتَبَهُوْا

Manusia itu sebenarnya tidur, maka apabila mereka mati barulah mereka terbangun.

Mengenai perihal mati, kalangan Sufi membaginya menjadi dua macam: Pertama, mati ḥissī (inderawi), yang diilustrasikan dengan berpisahnya ruh dari jasad. Kedua, mati ma‘nawī, yaitu yang diisyaratkan oleh Rasūlullāh s.a.w. dengan sabdanya:

مُوْتُوْا قَبْلَ أَنْ تَمُوْتُوْا وَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَيِّتٍ يَمْشِيْ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى أَبِيْ بَكْرٍ

Matikanlah dirimu sebelum kematianmu (yang ḥissī) dan barang siapa yang hendak melihat sosok mayit yang berjalan di atas bumi, maka lihatlah Abu Bakar.

Hal ini menunjukkan akan kematian jiwa (nafs) amarah, dan sekaligus menunjukkan bahwa segala sesuatu selain Allah pada dasarnya adalah fana’ dan tidak memiliki wujud yang hakiki. Wujud Allah adalah Wujud Yang Hakiki atau Wujud Yang Sebenarnya. Hal ini terlihat dalam sabda Nabi s.a.w.:

أَلاَ كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلاَ اللهُ بَاطِلٌ

Ketahuilah bahwa setiap sesuatu selain Allah adalah batil.

Dalil yang menunjukkan atas Kehakikian Allah dan kebatilan selain-Nya sangat banyak, misalnya firman-Nya di dalam al-Qur’ān:

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ، وَ يَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَ الْإِكْرَامِ

Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (ar-Raḥmān [55]: 26-27).

Penafsiran ayat ini secara lebih luas adalah bahwa segala sesuatu yang ada pada makhluk (hewan, manusia, dan sebagainya) atau yang tersusun dari zat dan sifat pasti mengalami kehancuran yang disebabkan oleh masa, baik kehancurannya sudah berlangsung di masa lalu, di masa sekarang, maupun di masa mendatang. Adapun yang kekal adalah hanya Zat Tuhan Yang memiliki kebesaran dan kemuliaan. Firman-Nya:

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” (al-Qaṣaṣ [28]: 88).

Maksudnya adalah bahwa segala sesuatu akan binasa pada masa yang telah lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang, melainkan hanya Zat Allah s.w.t. Kalangan ulama memperluas penjelasannya:

وَ هُوَ الْآنَ عَلَى مَا هُوَ عَلَيْهِ كَانَ

“Allah Yang ada di masa sekarang adalah Allah Yang ada di masa lalu.”

Jadi, tidak seperti makhluk, Allah s.w.t. melintasi batas-batas masa, sehingga jika masa mampu menghancurkan makhluk maka tidak demikian dengan Allah s.w.t. – bahkan masa adalah ciptaan-Nya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh at-Tirmiżī, Nabi s.a.w. bersabda:

وَ الَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّكُمْ دَلَيْتُمْ بِحَبْلٍ إِلَى الْأَرْضِ لِحَبِطَ عَلَى اللهِ ثُمَّ قَرَأَ: هُوَ الْأَوَّلُ وَ الْآخِرُ….. الآيَةَ.

Demi Tuhan yang jiwa Muḥammad berada di tangan (qudrah)-Nya, jika kamu mengulurkan tali (dari langit) ke bumi niscaya sampailah ia kepada Allah. Kemudian Rasūl membaca: “Huwa al-Awwal wa al-Ᾱkhir…..” hingga akhir ayatnya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *