004-2 Cabang Permasalahan 3-4 – Perihal Wudhu’ – Kifayat-ul-Akhyar

KIFĀYAT-UL-AKHYĀR
(Kelengkapan Orang Shalih)
Oleh: Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhamamd al-Husaini

Bahagian Pertama
Penerjemah: K.H. Syarifuddin Anwar, K.H. Mishbah Mushthafa
Penerbit: BINA IMAN

Rangkaian Pos: 004 Perihal Wudhu' - Kifayat-ul-Akhyar

Cabang Permasalahan (3)

Andaikata ada orang yang terkumpul padanya hadats kecil, yaitu wudhū’, dan hadats besar, yaitu mandi, maka ada khilāf yang tersebar di antara para Ulama, dan qaul yang shaḥīḥ dan sudah difatwakan, cukup membasuh (mandi) seluruh tubuhnya dengan niat mandi. Tidak wajib mengumpulkan wudhū’nya dan mandinya, dan tidak pula wajib tertib dalam wudhū’ dan mandinya.

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ التَّرْتِيْبُ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ).

[Keenam: Ialah tertib].

Kefardhuan tertib ini juga diambil dari ayat al-Qur’ān, yaitu apabila kita katakan wāw-nya lafazh yang di-‘athaf-kan tersebut bermakna tertib. Dan apabila tidak, maka kefardhuan tertib diambil dari perbuatan dan sabda Rasūlullāh s.a.w. Sebab tidak pernah terdengar oleh kita, melainkan wudhū’nya Nabi pasti dengan cara tertib.

Selain daripada itu, Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda seusainya dari wudhū’:

هذَا وُضُوْءٌ لَا يَقْبَلُ اللهُ الصَّلَاةَ إِلَّا بِهِ.

Inilah wudhu’, yang mana Allah tidak akan menerima shalat seseorang kecuali dengan wudhu’ yang seperti ini.”

(Rawayat Bukhārī).

Lain daripada itu, wudhū’ itu termasuk ibadah yang apabila dalam keadaan ‘udzur, dikembalikan pada separuhnya (yaitu tayammum). Jadi dalam wudhū’, diwajibkan tertib sebagaimana dalam shalat. Maka seandainya orang yang berwudhū’ lupa menjalankan tertib. Wudhū’nya tidak sah, sebagaimana halnya kalau orang lupa membaca al-Fātiḥah di dalam shalat atau lupa bahwa ada najis pada tubuhnya.

Cabang Permasalahan (4)

Seseorang yang kelaminnya selalu mengeluarkan sesuatu yang basah, dan yang basah itu mungkin saja air mani dan mungkin saja air madzi, dan orang itu tidak tahu persis apa itu mani atau madzi. Apa yang menjadi kewajiban orang tersebut? Ada khilāf yang tersebar di antara para ulama. Khilāf ini sudah saya tulis di dalam salah satu kitab karanganku, lebih dari tiga belas qaul; dari qaul yang rājiḥ di dalam kitabnya Imām Rāfi‘ī dan kitab ar-Raudhah, orang tersebut boleh memilih. Memilih mani lalu mandi, dan boleh memilih madzi lalu mencuci cairan yang terkena pada itu menganggap madzi, dan kemudian berwudhū’, berarti di sudah memenuhi sesuatu yang membutuhkan wudhū’. Jadi hadats kecilnya hilang, sementara hadats besarnya masih tetap diragukan. Padahal asalnya, hadats besar tidak ada. Demikian juga apabila orang tersebut mandi.

Ada yang mengatakan: Orangnya wajib berhati-hati. Sebab orang tersebut yakin dirinya menanggung salah satu dari dua hadats dan dia tidak boleh lepas dari tanggungan itu kecuali dengan yakin pula, yaitu dengan berhati-hati. Seperti, kalau orang itu mempunyai tanggungan satu shalat di antara dua shalat, dan dia tidak mengetahui dengan nyata shalat yang mana satu yang menjadi tanggungannya, orang yang demikian wajib mengerjakan kedua-dua shalat sekali. Qaul ini kuat, dan diunggulkan oleh Imām Nawawī raḥimahullāh di dalam syarah kitab at-Tanbīh dan kitab Ru’ūs-ul-Masā’īl karangan beliau. Wallāhu a‘lam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *