Syaratnya niat supaya dianggap sah, yaitu harus mantap. Jadi andaikata orangnya ragu-ragu apakah ia sudah berhadats atau belum, kemudian ia berwudhū’ karena untuk berhati-hati, setelah itu ia yakin sudah berhadats, maka wudhū’nya tidak dianggap sah menurut qaul yang ashaḥḥ. Sebab orang tersebut berwudhū’ dalam keadaan hatinya ragu-ragu.
Andaikata orang itu yakin bahwa dirinya sudah berhadats, tetapi ia ragu-ragu apakah ia sudah bersuci atau belum, kemudian sesudah berwudhū’ ternyata ia dalam keadaan berhadats, maka wudhū’nya sah, tanpa ada khilāf. Sebab yang asal adalah dikira tetapnya hadats. Jadi tidak membahayakan keraguannya yang disertai dengan tetapnya hadats itu. Dan kecenderungan niat masih tetap kuat terhadap yang asal, yaitu hadats. Lain dengan masalah yang pertama tadi. Wallāhu a‘lam.
Andaikata orang itu berwudhū’, lalu ada bagian sedikit yang diterlupakan pada basuhan yang pertama, kemudian pada basuhan yang kedua atau ketiga, bagian yang sedikit itu ikut terbasuh, maka wudhū’nya orang tersebut sah menurut qaul yang shaḥīḥ. Lain kalau bagian yang sedikit itu terbasuhnya pada saat memperbarui wudhū’, maka menurut qaul yang shaḥīḥ, tidak mencukupi wudhū’nya.
Perbedaan pada kedua masalah ini, yaitu kalau berniat tajdīd (memperbarui wudhū’), ini tidak mengandung niat fardhu. Lain dengan basuhan yang kedua atau ketiga, niat fardhunya wudhū’ boleh mencakup ketiga basuhan tersebut. Jadi selama wudhū’ itu belum sempurna pada basuhan yang pertama, maka tidak dapat sempurnalah basuhan yang kedua dan ketiga. Masalah kesalahan dalam beri‘tiqad tidak membahayakan. Buktinya, andaikata seseorang yang shalat meninggalkan sujud pada rakaat yang pertama karena lupa, dan pada rakaat yang kedua dia bersujud lagi, walaupun ia meyakinkan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang ia kerjakan. Wallāhu a‘lam.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ غَسْلُ الْوَجْهِ).
[Kedua: Membasuh muka (wajah)].
Membasuh muka adalah permulaan rukun wudhū’ yang jelas (tampak di mata). Allah s.w.t. berfirman:
إِذَا قُلْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ.
“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu.”
(al-Mā’idah: 6).
Dalam membasuh muka, diwajibkan meratakan air. Batas-batas muka ialah mulai dari permulaan bidang dahi hingga hujung dagu untuk ukuran panjang muka. Dan mulai dari telinga yang satu sampai ke telinga yang lain untuk ukuran lebarnya. Tempat mengerik rambut yang ada di kanan kiri dahi tidak termasuk muka. Kedua pelipis tidak termasuk muka menurut qaul yang shaḥīḥ, tersebut di dalam Syaraḥ al-Raudhah. Namun Imām Rāfi‘ī di dalam kitab al-Muḥarrar me-rājiḥ-kan adanya pelipis dua itu termasuk bagian dari muka (wajah).
Kemudian, rambut yang tumbuh pada wajah itu ada dua macam:
Rambut yang tidak keluar dari batas muka, ada kalanya yang langka tebalnya dan ada kalanya yang tidak langka tebalnya. Rambut yang langka tebalnya seperti rambut alis (kanan dan kiri), bulu mata, kumis (kanan dan kiri), dan rambut yang tumbuh pada kedua belah pipi bagian tepi, yaitu yang berhadapan dengan kedua belah telinga, antara pelipis dan rambut cambang. Rambut-rambut tersebut wajib dibasuh semua, luar dan dalamnya dengan menyertakan kulit yang di bawahnya, walaupun lebat. Sebab semua rambut tersebut termasuk bagian dari wajah (muka).
Rambut cambang, jika jarang (tidak lebat), kedua-duanya wajib dibasuh, luar dan dalamnya beserta kulitnya. Dan jika tebal (lebat), wajib dibasuh luarnya saja menurut qaul yang azhhar.
Andaikata sebagian dari rambut cambang itu jarang dan sebagian lagi tebal, menurut qaul yang rājiḥ, rambut yang jarang hukumnya sama seperti hukum rambut yang semuanya jarang, dan rambut yang tebal hukumnya sama seperti hukum rambut yang semuanya lebat. Ukuran mengenai tebal dan jarangnya rambut ada khilāf. Yang shaḥīḥ yaitu: Rambut jarang ialah rambut yang kulitnya dapat dilihat dalam majlis omong-omong (perbicaraan). Rambut tebal ialah rambut yang tiada kelihatan oleh pandangan mata pada kulit yang ditumbuhinya.
Macam rambut yang kedua ialah rambut yang keluar dari batas wajah, yaitu rambut jenggot, rambut cambang, rambut kepala, rambut yang tumbuh di tepi pipi (di hadapan telinga), dan rambut pucuknya kumis, yang memanjang maupun yang melebar. Menurut qaul yang rājiḥ, wajib membasuh luarnya saja. Sebab dengan membasuh luarnya saja sudah boleh digunakan untuk bertatap muka dengan orang lain. Ada yang mengatakan: Tidak diwajibkan membasuhnya, sebab rambut-rambut tersebut sudah keluar dari batas-batas wajah.
Imām Nawawī di dalam tambahannya pada kitab ar-Raudhah berkata: Wajib membasuh sebagian dari kepala, leher dan bawah dagu bersamaan dengan membasuh mukanya. Maksudnya agar nyata pemerataan airnya. Andaikata seseorang dipotong hidungnya atau mulutnya, ia wajib membasuh apa yang kelihatan dari bekas pemotongan itu, sama ada dalam berwudhu’ ataupun mandinya, menurut qaul yang shaḥīḥ. Sebab apa yang tampak itu telah berubah menjadi bagian luarnya wajah. Juga wajib membasuh apa yang tampak kemerah-merahan pada kedua bibirnya. Dan di-sunnat-kan hendaknya mengambil air untuk wudhū’ dengan kedua-dua belah tangan.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ غَسْلُ الْيَدَيْنِ مَعَ الْمِرْفَقَيْنِ).
[Ketiga: Membasuh kedua tangan beserta sikunya].
Sebab firman Allah ta‘ālā:
وَ أَيْدِيْكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ.
“Dan hendaknya kamu membasuh kedua tanganmu beserta sikunya.”
(al-Mā’idah: 6).
Lafazh ilā itu ada yang menggunakan arti mushāḥabah (serta), seperti lafazh ilā yang terdapat di dalam firman Allah:
مَنْ أَنْصَارِيْ إِلَى اللهِ.
“Siapakah yang akan menjadi para penolongku beserta Allah.”
(Āli ‘Imrān: 52).
Dalil bahwa ilā di atas menggunakan arti mushāḥabah (serta), yaitu Hadits yang diriwayatkan dari sahabat Jābir r.a. Beliau berkata:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ (ص) يُدِيْرُ الْمَاءَ عَلَى الْمَرَافِقِ.
“Aku pernah melihat Rasūlullāh s.a.w. memutar-mutarkan air pada siku tangannya.”
Hadits ini diceritakan oleh ad-Dāraquthnī dan al-Baihaqī, dan kedua orang ini tidak menganggap dha‘īf pada Hadits di atas. Dan diberitakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah memutar-mutarkan air pada siku tangannya dan bersabda: Inilah wudhū’, yang mana Allah tidak akan menerima shalat seseorang kecuali dengan wudhū’ yang seperti ini.
Orang yang berwudhū’ wajib meratakan air ke seluruh rambut dan kulit, sehingga sekiranya di bawah kukunya terdapat kotoran yang boleh menghalang-halangi sampai air pada kulit itu, maka wudhū’nya tidak sah. Dan shalatnya menjadi batal karenanya. Wallāhu a‘lam.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ مَسْحُ بَعْضِ الرَّأْسِ).
[Keempat: Mengusap sebagian kepala].
Sebab firman Allah s.w.t.:
وَ امْسَحُوْا بِرُؤُسِكُمْ.
“Dan usaplah kepalamu.”
(al-Mā’idah: 6).
Yang dimaksud ayat ini, bukannya mengusap keseluruhan kepala. Sebab ada sebuah Hadits yang diberitakan dari sahabat al-Mughīrah r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah berwudhu’ dan mengusap ubun-ubunnya serta sorban dan kedua muzah-nya (semacam sepatu tinggi). Hadits ini diriwayatkan oleh Imām Muslim.
Lain daripada itu, orang yang melalukan tangannya di atas kepala anak yatim, boleh juga dikatakan: Mengusap kepalanya.
Oleh karena itu, yang menjadi kewajiban dalam berwudhū’ ialah apa saja yang boleh disebut masḥi (mengusap), walaupun hanya sebagian dari sehelai rambut atau sekedar tempat rambut dari kulit kepalanya. Adapun syaratnya rambut yang diusap, haruslah rambut yang tidak keluar dari batas kepala seandainya orang tersebut memanjangkan rambutnya karena keriting.
Menurut qaul yang shaḥīḥ, tidak mengapa andaikata rambut yang dipanjangkan itu melewati batas kepala. Andaikata seseorang itu membasuh kepala sebagai ganti mengusap kepala, atau memercikkan air di kepala tadi tetapi airnya tidak mengalir, atau meletakkan tangannya yang sudah ada airnya tetapi tidak menjalankan tangannya, maka mencukupilah wudhū’nya menurut qaul yang shaḥīḥ.
Imām Nawawī di dalam tambahannya pada kitab ar-Raudhah berkata: Mengusap kepala tidak semestinya menggunakan tangan. Akan tetapi boleh menggunakan kayu atau sobekan kain dan lain-lain. Andaikata orang lain yang mengusap kepalanya, sudah cukup. Orang perempuan dalam masalah mengusap kepala ini, sama dengan orang lelaki.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ الْخَامِسُ: غُسْلُ الرِّجْلَيْنِ مَعَ الْكَعْبَيْنِ).
[Kelima: membasuh kedua kaki beserta mata kakinya].
Sebab firman Allah s.w.t.:
وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ.
“Dan hendaklah kamu membasuh kedua kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
(al-Mā’idah: 6).
Kalau menurut qirā’ah yang membaca nashab lafazh arjula, kewajiban membasuh kaki sudah nyata. Takdirnya: Waghsilu arjulakan. Kalau menurut qirā’ah yang membaca jarr “arjulikum”, maka sunnat Rasūlullāh telah menunjukkan kewajiban membasuh. Andaikata mengusap kaki diperbolehkan, tentu Rasūlullāh s.a.w. sudah menerangkan, walaupun hanya sekali, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi pada selain membasuh kedua kaki ini.
Imām Nawawī di dalam Syaraḥ Muslim berkata: Para Ulama sudah sepakat mengenai apa yang dimaksud dengan kedua mata kaki, yaitu dua tulang yang tampak menonjol di antara betis dan telapak kaki, dan pada tiap-tiap sebelah kaki terdapat dua mata kaki. Orang-orang dari golongan Rāfidhah telah menyimpang dari memaksudkan ayat ini, semoga Allah ta‘ālā mengeji (to degrade; despise; revile; abuse – dari kata: keji) pendapat golongan Rāfidhah itu. Mereka mengatakan: Pada setiap sebelah kaki terdapat hanya satu mata kaki, yaitu tulang yang terdapat pada punggung telapak kaki. Demikian ini telah diberitakan dari Muḥammad bin Ḥasan. Akan tetapi ini tidak benar. Ḥujjah yang digunakan oleh para Ulama yang menetapkan bahwa pada setiap kaki terdapat dua mata kaki, ialah apa yang telah mereka nukil dari Ulama Ahli Lughat (bahasa) dan Ahli ilmu Isytiqāq. Hadits shaḥīḥ yang kita bahas di sini juga telah menunjukkan bahwa para setiap sebelah kaki terdapat dua mata kaki. Sebab di dalam Hadits tersebut ada kata-kata:
فَغَسَلَ رِجلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ، وَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى كَذَالِكَ.
“Lalu beliau membasuh kakinya yang kanan hingga kedua mata kaki dan begitu juga beliau membasuh kakinya yang kiri.”
Jadi Hadits ini telah menetapkan dua mata kaki pada setiap kaki.
Aku hendak katakan: Haditsnya an-Nu‘mān bin Basyīr r.a. sudah jelas mengandung arti bahwa setiap kaki terdapat dua mata kaki. An-Nu‘mān berkata: Rasūlullāh s.a.w. mengatakan kepada kita:
أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ، فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْصِقُ مِنْكَبَهُ بِمِنْكَبِ صَاحِبِهِ وَ كَعْبَهُ بِكَعْبِهِ.
“Rapikan barisanmu! Lalu aku melihat setiap seorang di antara kita merapatkan bahunya pada bahu temannya, dan merapatkan mata kakinya pada mata kaki temannya.”
(Riwayat Bukhārī).
Sudah maklum bahwa yang dimaksud Hadis tersebut ialah mata kaki yang berupa tulang persendian kaki. Dan tidak cocok, kalau mata kaki di situ adalah mata kaki yang terdapat pada punggung telapak kaki. Wallāhu a‘lam.
Dan ketahuilah, bahwa membasuh kaki sampai dengan kedua mata kaki itu wajib, jika orangnya tidak bermaksud mengusap muzah (semacam sepatu – khuffain)). Bacaan jarr pada lafazh arjulikum, itu barangkali diperuntukkan bagi orang yang mengusap kedua muzah-nya. Orang yang berwudhu’ wajib membasuh seluruh kedua kakinya dengan air. Dan air tersebut juga harus mereka ke semua kulit dan rambut, sehingga wajib pula membasuh kulit yang pecah-pecah.
Andaikata ada orang meletakkan lilin atau pacar di celah-celah kulit kaki yang pecah-pecah itu, maka wudhū’nya tidak sah, dan shalatnya juga tidak sah. Jadi lilin dan pacar itu harus dihilangkan dahulu. Demikian juga harus menghilangkan tahi nyamuk manakala orang itu bangun dari tidurnya. Maka dari itu, hendaklah orang mau menjaga hal-hal yang seumpama tahi nyamuk tersebut. Jadi andaikata orang itu berwudhū’ lalu lupa menghilangkan tahi nyamuk itu, dan baru diketahuinya sesudah berwudhū’, maka ia wajib mencuci tempat tahi itu dan kembali mencuci anggota sesudahnya lagi. Dan wajib pula ia mengulangi shalatnya. Wallāhu a‘lam.