004 Mengenai Baligh – Kasyifat-us-Saja’

كاشفة السجا في شرح سفينة النجا
Kāsyifat-us-Sajā fī Syarḥi Safīnat-un-Najā
(Tirai penutup yang tersingkap dalam mensyarahi kitab Safīnat-un-Najā [Perahu Keselamatan])
لمحمد نووي بن عمر الجاوي
Oleh: Muḥammad Nawawī bin ‘Umar al-Jāwī

Alih Bahasa: Zainal ‘Arifin Yahya
Penerbit: Pustaka Mampir

(فَصْلٌ): فِيْ بَيَانِ بُلُوْغِ الْمُرَاهِقِ وَ الْمُعْصِرِ

(FASAL) mengenai penjelasan balighnya anak yang mendekati usia bāligh dan anak yang mendekati usia haidh.

 

(عَلَامَاتُ الْبُلُوْغِ ثَلَاثٌ) فِيْ حَقِّ الْأُنْثَى وَاثْنَانِ فِيْ حَقِّ الذَّكَرِ

(Tanda-tanda bāligh itu ada tiga) pada ketentuan orang perempuan, dan dua pada ketentuan orang laki-laki.

أَحَدُهَا (تَمَامُ خَمْسَ عَشَرَةَ سَنَةً) قَمَرِيَّةً تَحْدِيْدِيَّةً بِاتِّفَاقٍ (فِي الذَّكَرِ وَ الْأُنْثَى)

Tanda pertama yaitu (telah genap berusia 15 tahun) dengan hitungan kalender bulan [Hijriyyah] secara penentuan pasti, dengan berdasarkan kesepakatan ulama, (pada laki-laki dan perempuan)

وَابْتِدَاؤُهَا مِنِ انْفِصَالِ جَمِيْعِ الْبَدَنِ.

Dan permulaan perhitungan usia itu dari terpisahnya seluruh tubuh [awal kelahiran].

(وَ) ثَانِيْهَا (الْاِحْتِلَامُ)

(Dan) tanda yang kedua yaitu (mimpi keluar air mani).

أَيِ الْإِمْنَاءُ وَ إِنْ لَمْ يَخْرُجِ الْمَنِيُّ مِنَ الذَّكَرِ كَأَنْ أَحَسَّ بِخُرُوْجِهِ فَأَمْسَكَهُ

Yakni mengalami kondisi keluarnya air mani, meskipun tidak keluar air mani dari penis, seperti ia merasakan akan keluar mani, lalu ia menahannya.

وَ سَوَاءٌ خَرَجَ مِنْ طَرِيْقِهِ الْمُعْتَادِ أَوْ غَيْرِهِ مَعَ الْاِنْسِدَادِ الْأَصْلِيِّ

Dan sama saja, keluar air mani itu dari caranya yang biasa [alamiah], atau dari selainnya, disertai dengan mengalami bersumbatnya saluran keluar yang asli.

وَ سَوَاءٌ كَانَ فِيْ نَوْمٍ أَوْ يَقَظَةٍ بِجِمَاعٍ أَوْ غَيْرِهِ.

Dan sama saja, keadaan keluar air mani itu di saat tidur ataupun terjaga, melalui persetubuhan ataupun lainnya.

(فِي الذَّكَرِ وَ الْأُنْثَى لِتِسْعِ سِنِيْنَ) قَمَرِيَّةً تَحْدِيْدِيَّةً عِنْدَ الْبَيْجُوْرِيِّ وَ الشَّرْبِيْنِيِّ

(bagi laki-laki dan perempuan di usia 9 tahun) dengan [hitungan] kalender bulan [Hijriyyah] secara penentuan pasti, menurut Syaikh al-Baijūrī dan Syaikh asy-Syarbīnī.

وَ الَّذِي اعْتَمَدَهُ ابْنُ حَجَرٍ وَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ أَنَّهَا تَقْرِيْبِيَّةٌ،

Sedangkan pendapat yang dipegang kuat oleh Syaikh Ibnu Ḥajar dan Syaikh-ul-Islām [Syaikh Abī Yaḥyā Zakariyyā al-Anshārī] bahwa hal itu secara perkiraan.

وَ نَقَلَ عَبْدُ الْكَرِيْمِ عَنِ الرَّمْلِيِّ أَنَّهَا تَقْرِيْبِيَّةٌ فِي الْأُنْثَى وَ تَحْدِيْدِيَّةٌ فِي الذَّكَرِ.

Dan Syaikh ‘Abd-ul-Karīm menukil dari Syaikh ar-Ramlī: “Sesungguhnya penghitungan itu secara perkiraan pada perempuan, dan secara penentuan pasti pada laki-laki.”

(وَ) ثَالِثُهَا (الْحَيْضُ فِي) حَقِّ (الْأُنْثَى لِتِسْعِ سِنِيْنَ) تَقْرِيْبِيَّةً

(Dan) tanda yang ketiga yaitu (ḥaidh bagi) hak diri (perempuan pada usia 9 tahun), dengan [hitungan] secara perkiraan,

بِأَنْ كَانَ نَقْصُهَا أَقَلَّ مِنْ سِتَّةَ عَشَرَ يَوْمًا وَ لَوْ بِلَحْظَةٍ

Yaitu dengan sekiranya ada berkurang usianya itu lebih sedikit [kurang] dari 16 hari, walaupun [kurangnya itu] dengan seukuran waktu yang sebentar.

وَ أَمَّا حَبْلُهَا فَلَيْسَ بُلُوْغًا بَلْ عَلَامَةٌ عَلَى بُلُوْغِهَا بِالْإِمْنَاءِ قَبْلَهُ،

Dan adapun kehamilan seorang perempuan, maka hal itu bukan pertanda bāligh, akan tetapi tanda bāligh-nya adalah dengan sebab keluar air mani sebelum kehamilan itu.

وَ أَمَّا الْخُنْثَى فَحُكْمُهُ أَنَّهُ إِنْ أَمْنَى مِنْ ذَكَرِهِ وَ حَاضَ مِنْ فَرْجِهِ حُكِمَ بِبُلُوْغِهِ

Dan adapun khuntsā [orang berkelamin dua jenis], maka hukum bāligh-nya adalah bahwasanya jika ia mengeluarkan air mani dari penisnya dan ḥaidh dari vaginanya, maka dihukumi dengan bāligh baginya.

فَإِنْ وُجِدَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا مِنْ أَحَد فَرْجَيْهِ فَلَا يُحْكَمُ بِبُلُوْغِهِ،

Lalu jika ditemukan salah satunya [air mani atau ḥaidh], atau kedua-duanya dari salah satu dari dua kelaminnya itu, maka tidak dihukumi dengan bāligh baginya.

وَ إِنَّمَا ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ أَوَّلَ مَسْأَلَةٍ فِي الْفِقْهِ عَلَامَاتِ الْبُلُوْغِ لِأَنَّ مَنَاطَ التَّكْلِيْفِ عَلَى الْبَالِغِ دُوْنَ الصَّبِيِّ وَ الصَّبِيَّةِ

Sesungguhnya pengarang [Syaikh Sālim bin Sumair] menyebutkan masalah permulaan dalam Ilmu Fiqih akan tanda-tanda bāligh, hanyalah karena sesungguhnya tempat bergantungnya pembebanan hukum itu [berotasi] pada usia bāligh, bukan pada anak kecil laki-laki dan anak kecil perempuan.

لكِنْ يَجِبُ عَلَى سَبِيْلِ فَرْضِ الْكِفَايَةِ عَلَى أَصْلِهِمَا الذُّكُوْرِ وَ الْإِنَاثِ أَنْ يَأْمُرَهُمَا بِالصَّلَاةِ وَ مَا تَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ كَوُضُوْءٍ وَ نَحْوِهِ بَعْدَ اسْتِكْمَالِهِمَا سَبْعَ سِنِيْنَ إِذَا مَيَّزَا،

Akan tetapi wajib secara fardhu kifāyah bagi orang tua kedua anak-anak itu, baik berjenis lelaki maupun perempuan, agar ia memerintahkan kedua anak itu untuk shalat, dan hal-hal yang berkaitan atasnya, seperti wudhū’ dan semacamnya, setelah kedua anak itu genap berusia 7 tahun, apabila kedua anak itu telah memasuki usia tamyīz.

وَ حَدُّ التَّمْيِيْزِ هُوَ أَنْ يَصِيْرَا بِحَيْثُ يَأْكُلَانِ وَحْدَهُمَا وَ يَشْرِبَانِ وَحْدَهُمَا وَ يَسْتَنْجِيَانِ وَحْدَهُمَا،

Dan batasan usia tamyīz itu adalah kedua anak itu telah menjadi [sosok yang mulai mandiri], dengan sekiranya keduanya dapat makan dengan sendiri, dan minum dengan sendiri, dan ber-istinjā’ dengan sendiri.

فَلَا يَجِبُ الْأَمْرُ إِذَا مَيَّزَا قَبْلَ السَّبْعِ بَلْ يُسَنُّ،

Maka tidak wajib memerintahkan hal itu apabila kedua anak itu telah memasuki usia tamyīz sebelum berusia 7 tahun, akan tetapi hanya disunnahkan.

وَ أَنْ يَأْمُرَهُمَا أَيْضًا بِشَرَائِعِ الدِّيْنِ الظَّاهِرَةِ نَحْوَ الصَّوْمِ إِذَا أَطَاقَا،

Dan hendaknya orang tua memerintahkan kedua anak itu juga terhadap syarī‘at-syarī‘at Agama Islam yang lahiriyyah, seperti puasa jika keduanya mampu.

وَ لَا بُدَّ مَعَ صِيْغَةِ الْأَمْرِ مِنَ التَّهْدِيْدِ كَأَنْ يَقُوْلَ لَهُمَا: صَلِّيَا وَ إِلَّا ضَرَبْتُكُمَا،

Dan tidak boleh tidak, disertai dengan melontarkan bentuk kata perintah [mesti melakukan] pengancaman [menakut-nakuti], seperti ia mengatakan kepada kedua anak itu: “Shalatlah kalian berdua, jika tidak, maka aku akan memukul kalian!”

وَ أَنْ يُعَلِّمَهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وُلِدَ بِمَكَّةَ وَ أُرْسِلَ فِيْهَا وَ مَاتَ فِي الْمَدِيْنَةِ وَ دُفِنَ فِيْهَا،

Dan hendaknya orang tua mengajarkan kepada dua jenis anak itu, bahwa Nabi s.a.w. dilahirkan di kota Makkah dan diutus [menjadi Rasūl] di sana, dan beliau wafat di Madīnah dan dikebumikan di sana.

وَ يَجِبُ أَيْضًا أَنْ يَضْرِبَهُمَا عَلَى تَرْكِ ذلِكَ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ فِيْ أَثْنَاءِ الْعَاشِرَةِ بَعْدَ كَمَالِ التِّسْعِ لِاحْتِمَالِ الْبُلُوْغِ فِيْهِ

Dan wajib pula memukul kedua anak itu, karena meninggalkan hal-hal itu, dengan pukulan yang tidak menyakitkan, di pertengahan usia 10 tahun setelah genap 9 tahun, karena memungkinkan bāligh-nya anak itu di usia tersebut.

وَ لِلْمُعَلِّمِ أَيْضًا الْأَمْرُ لَا الضَّرْبُ إِلَّا بِإِذْنِ الْوَلِيِّ،

Dan bagi pendidik juga [wajib memberi] perintah tersebut, bukan melakukan pukulan, kecuali dengan seizin wali.

وَ مِثْلُهُ الزَّوْجُ فِيْ زَوْجَتِهِ فَلَهُ الْأَمْرُ لَا الضَّرْبُ إِلَّا بِإِذْنِ الْوَلِيِّ،

Dan sama seperti pendidik, suami terhadap istrinya, maka bagi suami [boleh memberi] perintah, bukan [melakukan] pukulan, kecuali dengan seizin wali.

وَ السِّوَاكُ كَالصَّلَاةِ فِي الْأَمْرِ وَ الضَّرْبِ

Dan masalah ber-siwak sama seperti shalat, dalam hal memerintahkan dan memukul.

وَ حِكْمَةُ ذلِكَ التَّمْرِيْنُ عَلَى الْعِبَادَةِ لِيَعْتَادَهَا فَلَا يَتْرُكَهَا إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى.

Dan hikmah dari hal itu sebagai latihan untuk beribadah, agar ia terbiasa melakukan ibadah, sehingga ia tidak akan [lancang] meninggalkan ibadah, in syā’ Allāh ta‘ālā.

(وَ اعْلَمْ) أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْآبَاءِ وَ الْأُمَّهَاتِ عَلَى سَبِيْلِ فَرْضِ الْكِفَايَةِ تَعْلِيْمُ أَوْلَادِهِمُ الطَّهَارَةَ وَ الصَّلَاةَ، وَ سَائِرَ الشَّرَائِعِ

(Ketahuilah) bahwasanya wajib atas para bapak dan para ibu, secara ketentuan hukum fardhu kifāyah, [untuk] mengajarkan anak-anak mereka tentang bersuci, dan shalat dan berbagai ketentuan syariat lainnya.

وَ مُؤْنَةُ تَعْلِيْمِهِمْ فِيْ أَمْوَالِهِمْ إِنْ كَانَ لَهُمْ مَالٌ،

Dan pembiayaan belajar anak-anak itu pada harta-harta anak-anak tersebut, jika mereka memiliki harta.

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَفِيْ مَالِ آبَائِهِمْ

Lalu jika tidak ada [hartanya], maka pada harta bapak-bapak mereka,

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَفِيْ مَالِ أُمَّهَاتِهِمْ،

Lalu jika harta para bapak tidak ada, maka pada harta ibu-ibu mereka.

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَفِيْ بَيْتِ الْمَالِ،

Lalu jika harta para ibu tidak ada, maka pada Bait-ul-Māl [kas negara].

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَعَلَى أَغْنِيَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ.

Lalu jika kas Bait-ul-Māl tidak ada, maka menjadi tanggungan orang-orang kaya kaum muslimin.

 

[فَائِدَةٌ] إِذَا قِيْلَ لَكَ: لِمَ وَجَبَ عَلَى الصَّبِيِّ غَرَامَةُ الْمُتْلَفَاتِ، وَ قَدْ قَالَ الْعُلَمَاءُ بِرَفْعِ الْقَلَمِ عَنْهُ؟

(FAIDAH) Apabila dikatakan kepadamu: “Mengapa wajib atas seorang anak kecil membayar denda sesuatu yang dirusak [olehnya]?, padahal sungguh para Ulama telah mengatakan mengenai diangkatnya pena dari anak kecil.

قُلْتُ: الْأَقْلَامُ ثَلَاثَةٌ: قَلَمُ الثَّوَابِ وَ قَلَمُ الْعِقَابِ وَ قَلَمُ الْمُتْلَفَاتِ،

Katakan olehmu: “Pena-pena itu ada tiga macam, yaitu (1) pena ganjaran, (2) pena siksaan, dan (3) pena perkara-perkara yang dirusak.

فَقَلَمُ الثَّوَابِ مَكْتُوْبٌ لَهُ، وَ قَلَمُ الْعِقَابِ مَرْفُوْعٌ عَنْهُ، وَ قَلَمُ الْمُتْلَفَاتِ مَكْتُوْبٌ عَلَيْهِ وَ مِنْهَا الدِّيَةُ،

Adapun pena ganjaran tercatat baginya [ganjarannya], dan pena siksaan diangkat darinya [tidak dicatat], dan pena sesuatu yang dirusak tercatat dalam tanggung jawabnya, dan di antaranya adalah [tanggung] diyat [membayar denda].

وَ كَذلِكَ الْمَجْنُوْنُ وَ النَّائِمُ إِلَّا أَنَّ قَلَمَ الثَّوَابِ وَ الْعِقَابِ مَرْفُوْعَانِ عَنْهُمَا.

Demikian pula bagi orang gila dan orang yang tidur, hanya saja pena ganjaran dan siksaan di angkat dari kedua orang itu.

وَ أَمَّا الْقِصَاصُ وَ الْحَدُّ فَلَا يَجِبَانِ عَلَيْهِمْ لِعَدَمِ إِلْتِزَامِهِمْ لِلْأَحْكَامِ

Adapun qishāsh dan ḥadd, maka dua hal itu tidak wajib [dilaksanakan] kepada mereka [anak kecil, orang gila dan orang tidur], karena tidak ada keniscayaan [pembebasan] terhadap mereka akan hukum-hukum”.

قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَ عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ” أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَ التِّرْمِذِيِّ،

Nabi s.a.w. bersabda (KS-881): “Diangkat pena dari tiga orang, (1) dari orang yang tidur hingga ia terjaga, (2) dari anak kecil hingga ia bermimpi basah [bāligh], dan (3) dari orang yang gila hingga ia berfungsi akalnya.” Hadits dikeluarkan oleh Imām Abū Dāūd dan Imām at-Tirmidzī.

فَالْمُرَادُ بِالْقَلَمِ قَلَمُ التَّكْلِيْفِ دُوْنَ قَلَمِ الضَّمَانِ لِأَنَّهُ مِنْ خِطَابِ الْوَضْعِ

Adapun yang dimaksud dengan pena [di hadits ini], adalah pena pembebanan hukum, bukan pena pertanggung-jawabkan, karena sesungguhnya pena pembebanan hukum itu termasuk khithāb-ul-wadh‘i [penetapan hukum yang terkait antara Allah dan makhluk-Nya].

فَيَجِبُ ضَمَانُ الْمُتْلَفَاتِ وَ الدِّيَةِ عَلَيْهِمْ مِنْ مَالِهِمْ بِخِلَافِ الْقِصَاصِ وَ الْحَدِّ.

Maka wajib [membayar] tanggungan dari sesuatu yang dirusak dan [membayar] diyat atas diri mereka, [yang diambil] dari harta mereka, berbeda halnya dengan qishāsh [hukuman mati] dan ḥadd [hukuman pidana yang telah ditentukan jenis dan jumlahnya].

Catatan:


  1. KS-88 Di dalam Sunan Tirmidzī, hadits ke 1428 (Kitab al-Ḥudūdī ‘an Rasūlillāh, Bab mā jā’a fī man lā yajibu ‘alaih-il-Ḥaddu) dari ‘Alī bin Abī Thālib, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَشِبَّ وَ عَنِ الْمَعْتُوْهِ حَتَّى يَعْقِلَ. Di dalam Sunan an-Nasā’ī hadits ke 3429 (Kitab ath-Thalāq, Bab man lā yaqa‘u thalāquhu min-al-Azwāji), dari ‘Ā’isyah, dengan lafazh wa ‘an-ish-Shaghīri ḥattā yakbura. Terdapat di dalam Sunan Abū Dāūd, hadits ke 4403 (Kitab al-Ḥudūd, Bab fil-Majnūni yasriqu aw yushību ḥaddan), dari ‘Alī bin Abī Thālib. Di dalam Sunan Ibni Mājah, hadits ke 2041 (Kitab ath-Thalāq, Bab thalāq-il-Ma‘tūhi wash-Shaghīri wan-Nā’imi), dari ‘Ā’isyah, dengan lafazh wa ‘an-ish-Shaghīri ḥattā yakbura. Di dalam Musnad Aḥmad, hadits ke 896, 910, 1122, 1290, dan 1292 (‘Alī bin Abī Thālib) dan hadits ke 23553, 23562 dan 23692 [‘Ā’isyah], dengan redaksi sedikit beda. Terdapat di Sunan Dārimī, hadits ke 2184 (Kitab al-Ḥudūd, Bab rufi‘-al-Qalamu ‘an tsalātsatin), dari ‘Ā’isyah, dengan lafazh wa ‘an-ish-Shaghīri. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *