004 Allah SWT Qadim – Jam’-ul-Jawaami’

JAM‘-UL-JAWĀMI‘

Kajian dan Penjelasan dua Ushul
(Ushul Fiqh dan Ushuluddin)

Penyusun:
Darul Azka
Kholid Afandi
Nailul Huda

Penerbit: Santri salaf crew.

وَ اللهُ تَعَالَى قَدِيْمٌ لَا ابْتِدَاءَ لِوُجُوْدِهِ حَقِيْقَتُهُ مُخَالَفَةٌ لِسَائِرِ الْحَقَائِقِ قَالَ الْمُحَقِّقُوْنَ لَيْسَتْ مَعْلُوْمَةً الْآنَ، وَ اخْتَلَفُوْا هَلْ يُمْكِنُ عِلْمُهَا فِي الْآخِرَةِ.

Allah ta‘ālā itu qadīm (Maha Dahulu) yang tidak ada permulaan bagi wujud-Nya. Hakikat (esensi) Allah berbeda dengan segala bentuk hakikat. Berkata para ulama’ muḥaqqiq, bahwa hakikat Allah tidak dapat diketahui sekarang. Dan mereka berbeda pendapat, apakah mungkin mengetahui hakikat Allah di akhirat?

 

ALLAH S.W.T. QADĪM

Kemudian, Allah ta‘ālā itu qadīm, Maha Dahulu. Yakni yang tidak ada permulaan bagi wujud-Nya. Karena andaikan Allah itu baru, pastilah butuh pada pencipta. Allah Maha Luhur dari sifat-sifat yang tidak layak semacam itu.

Dzāt Allah berbeda dengan segala dzāt lainnya. Allah tidak disekutui oleh sesuatu dalam hakikat (esensi)-Nya, tidak dalam sifat-sifatNya, tidak pula dalam perbuatan-perbuatanNya. Mayoritas ulama’ muḥaqqiqīn, di antaranya Qādhī Abū Bakar al-Bāqillāniy, Imām al-Ghazālī dan Imām Ilkiyā, menyatakan bahwa tidak mungkin bagi manusia mengetahui hakikat Allah di dunia. Ini juga dipedomani oleh kalangan Shūfiyyah.

Berbeda halnya dengan pendapat banyak ulama’ mutakallimīn, mereka menyatakan bahwa dzāt Allah dapat diketahui oleh manusia di dunia, karena mereka dibebani kewajiban untuk mengetahui keesaan Allah, dan pengetahuan akan keesaan-Nya bergantung pada pengetahuan akan dzāt-Nya. Namun, alasan ini disanggah, tidak benar bahwa mengetahui keesaan Allah bergantung pada mengetahui dzāt-Nya. Akan tetapi mengetahui keesaan Allah bergantung pada mengetahui Allah dengan sembarang sisi pengetahuan, dan Allah lebih mengetahui sifat-sifatNya. Seperti jawaban Nabi Mūsā a.s. atas pertanyaan Fir‘aun, sebagaimana dikisahkan Allah dalam al-Qur’ān:

قَالَ فِرْعَوْنُ وَ مَا رَبُّ الْعَالَمِيْنَ. قَالَ رَبُّ السَّموَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ مَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوْقِنِيْنَ. (الشعراء: 23-24)

Fir‘aun bertanya: “Siapa Tuhan semesta alam itu?” Mūsā menjawab: “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya. (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 23-24).

Kemudian, berpijak pada pendapat pertama, para ulama’ muḥaqqiqīn berbeda pendapat, mungkinkah mengetahui hakikat Allah di akhirat? Sebagian dari mereka menyatakan bahwa hal itu memungkinkan, karena Allah dapat dilihat kelak di akhirat, sebagaimana dalam pembahasan selanjutnya. Sebagian lagi menyatakan bahwa tidak mungkin mengetahui hakikat Allah di akhirat. Dan, dapat dilihatnya Allah tidak menyimpulkan dapat diketahuinya hakikat-Nya. Pendapat kedua ini dipegang oleh Imām al-Ḥaramain dan Imām al-Ghazāliy.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *