50. عَنْ أَنَسٍ (ر) قَالَ: (رَأَى النَّبِيُّ (ص) رَجُلًا، وَ فِيْ قَدَمِهِ مِثْلُ الظُّفْرِ لَمْ يُصِبْهُ الْمَاءُ فَقَالَ: اِرْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوْءَكَ). أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَ النَّسَائِيُّ.
Anas r.a. berkata: Nabi s.a.w. melihat seorang lelaki yang di tumitnya terdapat seperti kuku yang tidak terbasahi dengan air, lalu beliau bersabda: “Kembalilah dan berwudhu’lah dengan baik.”
(HR. Abū Dāūd dan Nasā’ī).
Seorang yang bodoh tidak boleh mendapatkan udzur karena menjalankan kewajiban dengan keteledoran. Sebab Rasūlullāh s.a.w. telah memerintahkan kepada seorang lelaki untuk berwudhu’ dengan baik dan menjalankannya dengan cara yang lebih sempurna, lalu disuruh mengulangi lagi sebagaimana keterangan dalam riwayat lain.
Mengapa demikian? Sebab bekas yang belum dibasuh dengan air itu bila dibiarkan maka akan membatalkan wudhu’ atau wudhu’nya tidak sah. Oleh karena itu, Rasūlullāh s.a.w. ingkar dengan terang-terangan kepada orang yang meremehkan dalam membasuh tumitnya dengan merata seraya bersabda: “Celaka bagi tumit-tumit dari api neraka.”
(لَمْ يُصِبْهُ الْمَاءُ) : Tidak terbasuh oleh air wudhu’.
(فَأَحْسِنْ وُضُوْءَكَ) : Berwudhu’ dengan cara yang lebih sempurna sebagaimana dalam riwayat yang lain: (اِرْجِعْ فَأَتِمَّ وُضُوْءَكَ) “Kembalilah lalu berwudhu’lah dengan sempurna.”
Jadi harus cepat dibasuh, bila tidak, maka wudhu’nya tidak sah.
51. وَ عَنْهُ (ر) قَالَ: (كَانَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ وَ يَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ). مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari dia (Anas) r.a.: “Rasūlullāh s.a.w. berwudhu’ dengan air satu mud, dan mandi besar dengan air satu gantang sampai lima mud.”
(Muttafaqun ‘alaih).
Perbuatan dan perkataan Rasūlullāh s.a.w. adalah untuk mempermudah umatnya. Dan Rasūlullāh s.a.w. berwudhu’ dengan air satu mud dan mandi dengan air satu gantang sampai lima mud tanpa berbuat sesuatu yang tidak mengesahkannya dan tidak menghamburkan air.
Oleh karena itu, ikutilah perbuatan dan perkataan Rasūlullāh s.a.w. agar kita mendapat kerelaan Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Tinggi.
(وَ عَنْهُ) : Dari dia (Anas).
(الْمُدُّ) : Mud adalah takaran yang terkenal sekitar memuat dau kati. Demikan menurut pendapat Imām Abū Ḥanīfah. Imām Mālik, Aḥmad dan Syāfi‘ī berkata: “Satu mud adalah satu sepertiga kati ‘Irāqī (1 1/3).”
(الصَّاعُ) : Gantang adalah takaran yang terkenal yang memuat empat mud (delapan kati). Bila dengan kati ‘Irāqī, maka lima sepertiga kati (5 1/3).
(خَمْسَةُ أَمْدَادٍ) : Lima mud sama dengan sepuluh kati. Bila dengan kati ‘Irāqī maka enam dua pertiga kati.
Tidak boleh isrāf dalam menggunakan air dan cukup dengan air sedikit yang dibutuhkan dalam berwudhu’ atau mandi besar tanpa menodainya atau berbuat sesuatu yang mengakibatkan tidak sah.
Mengerjakan wudhu’ atau mandi besar dengan cara yang sempurna atau yang dianjurkan adalah mengikuti jejak Rasūlullāh s.a.w. yang mulia. Jadi tidak merupakan pembatasan. Sebab biasanya manusia dalam hal tersebut berbeda.
52. وَ عَنْ عُمَرَ (ر) قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): (مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُسْبِغُ الْوَضُوْءَ، ثُمَّ يَقُوْلُ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ). أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَ التِّرْمِذِيُّ وَ زَادَ: (اللهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَ اجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ).
‘Umar r.a. berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Seseorang di antaramu yang berwudhu’, lalu melakukannya dengan sempurna, kemudian membaca: Asyhadu an lā ilāha illallāhu waḥdahu lā syarīka lah, wa asyhadu anna muḥammadan ‘abduhu wa rasūluh. Artinya: Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Maka pintu surga yang delapan di buka untuknya. Dia boleh masuk ke dalamnya dari pintu mana yang dikehendaki.”
(HR. Muslim dan Tirmidzī).
Tapi menurut riwayat Tirmidzī terdapat tambahan sebagai berikut:
(اللهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَ اجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ)
Artinya: “Ya Allah! Jadikanlah aku tergolong orang-orang yang sering bertaubat dan jadikanlah aku tergolong orang yang suka bersuci.”
Balasan besar dalam mematuhi perintah-perintah syara‘ yang akan diperoleh oleh seseorang di akhirat. Barang siapa yang berwudhu’, lalu bersaksi bahwa Allah adalah Maha Esa, perbuatan-Nya tidak ada yang bersekutu dengan-Nya, maka dia adalah seorang mu’min yang sempurna yang suka bersuci.
Dia disuruh memilih unutk masuk ke dalam surga dari pintu mana yang dikehendakinya, sebagai balasan dia meniadakan sekutu kepada-Nya dan beribadah dengan ikhlas.
(مَا مِنْكُمْ) : Perkataan kepada orang-orang yang hadir. Maksudnya adalah umat yang mengabulkan dakwah Rasūlullāh s.a.w. baik kaum wanita atau orang yang tidak hadir pada saat itu.
(مِنْ أَحَدٍ) : Huruf min (مِنْ) adalah shilah yakni tambahan. Bukan bermaksud mendatangkan huruf yang tidak ada artinya. Namun maksud tambahan di sini adalah huruf yang didatangkan hanya untuk menguatkan. Huruf min (مِنْ) diberi nama tambahan untuk menguatkan karena tidak ada sangkut-pautnya dengan susunan kalimat.
Huruf min (مِنْ) dalam kedudukannya dinamakan shilah (penyambung) karena ia sebagai penyambung ke suatu tujuan yang tepat, yaitu perkataan tersebut menjadi indah. Jadi tidak sekedar sisipan belaka.
Min (مِنْ) bisa dijadikan tambahan dengan dua syarat:
Aḥadun (أَحَدٌ) adalah nama untuk orang yang layak diajak bicara.
(فَيُسْبِغُ الْوَضُوْءَ) : Berwudhu’ dengan sempurna dan setiap anggota dipenuhi haknya. Setelah berwudhu’ dengan sempurna, dia membaca doa yang diterangkan dalam hadits tersebut yang sudah terkenal.
(وَحْدَهُ) : Kedudukan lafal waḥdahu (وَحْدَهُ) menjadi ḥāl mu’akkidah. Artinya Allah Yang Maha Esa dalam ketuhanannya, yakni Allah tidak berbilang, tersusun atau ada sekutunya.
(لَا شَرِيْكَ لَهُ) : Tiada sekutu bagi-Nya. Sekutu adalah Yang membantu dalam urusan-Nya. Ia meniadakan segala macam syirik yang diketahui.
(وَ رَسُوْلُهُ) : Dan Rasūl-Nya. Menurut arti bahasa, Rasūl adalah seorang yang menyampaikan sesuatu dari orang lain.
Menurut syara‘, Rasūl adalah manusia yang merdeka, lelaki yang diberi wahyu berupa syara‘ dan diperintahkan untuk menyampaikannya.
(إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ) : Kecuali dibuka untuknya. Dalam doa ini, kalimat futiḥat (فُتِحَتْ) menggunakan fi‘il mādhī sebab akan kejadian dengan sungguh dalam alam yang nyata kelak. Jadi maksudnya di hari kiamat pintu-pintu surga tersebut akan dibuka untuknya.
(الْجَنَّةُ) : Al-Jannah menurut arti bahasa, adalah kebon, menurut syara‘ adalah nama desa kenikmatan yang terdapat apa yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia yang disediakan oleh Allah untuk kekasih-kekasihNya sebagai keanugerahan dari-Nya.
(أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ) : Pintu surga yang delapan:
(التَّوَّابِيْنَ) : Orang yang sering bertaubat. Lafal Tawwābīna adalah jama‘ lafal tawwāb (التَّوَّابُ) yakni kembali kepada Allah dengan bertaubat dari dosanya.
(الْمُتَطَهِّرِيْنَ) : Orang-orang yang bersuci dengan sempurna dari hadas kecil maupun besar, kotoran, dosa, kekurangan dari sifat yang tercela dan akhlak yang jahat.
Untuk doa-doa yang dibaca orang ketika membasuh setiap anggota, maka tidak ada dalilnya, dan para ulama salaf juga tidak melakukannya. Demikian menurut pendapat Imām Nawawī.
Lantas Rasūl memberitahukan hal itu kepada para sahabatnya agar mereka menjalankan apa yang diperintahkan.
‘Umar bin Khaththāb bin Nifail al-‘Adawī Abū Ḥafsh. Dia adalah Khalīfah Rāsyidah yang kedua dan salah seorang dari sepuluh orang yang diberi kabar gembira untuk masuk surga. Dia permulaan orang yang dijuluki Amīr-ul-Mu’minīn. Seorang faqih yang adil. Beliau meriwayatkan 539 hadits. Beliau mati syahid pada tahun dua puluh tiga Hijriyah. (23 H.). Usianya 63 tahun dan dimakamkan di kamar Nabawī.