003 Tentang Kefardhuan Wudhu’ – FIQH Populer Terjemah FATHUL MU’IN

FIQH Populer
Terjemah Fath-ul-Mu‘in
Penulis: Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul-‘Aziz al-Malibari
(Judul Asli: Fatḥ-ul-Mu’īni Bi Syarḥi Qurrat-il-‘Aini Bi Muhimmāt-id-Dīn)

Penerjemah: M. Fikril Hakim, S.H.I. dan Abu Sholahuddin.
Penerbit: Lirboyo Press.

فِيْ فُرُوْضِ الْوُضُوْءِ

TENTANG KEFARDHUAN WUDHU’

 

(وَ فُرُوْضُهُ سِتَّةٌ) أَحَدُهَا: (نِيَّةٌ) وُضُوْءٍ أَوْ أَدَاءِ (فَرْضِ وُضُوْءٍ) أَوْ رَفْعِ حَدَثٍ لِغَيْرِ دَائِمِ حَدَثٍ، حَتَّى فِي الْوُضُوْءِ الْمُجَدَّدِ أَوِ الطَّهَارَةِ عَنْهُ، أَوِ الطَّهَارَةِ لِنَحْوِ الصَّلَاةِ، مِمَّا لَا يُبَاحُ إِلَّا بِالْوُضُوْءِ، أَوِ اسْتِبَاحَةٍ مُفْتَقِرٍّ إِلَى وُضُوْءِ كَالصَّلَاةِ وَ مَسَّ الْمُصْحَفِ. وَ لَا تَكْفِيْ نِيَّةُ اسْتِبَاحَةِ مَا يُنْدَبُ لَهُ الْوُضُوْءُ، كَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوِ الْحَدِيْثِ، وَ كَدُخُوْلِ مَسْجِدٍ وَ زِيَارَةِ قَبْرٍ. وَ الْأَصْلُ فِيْ وُجُوْبِ النِّيَّةِ خَبَرُ، إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ. أَيْ إِنَّمَا صِحَّتُهَا لِإِكْمَالِهَا. وَ يَجِبُ قَرْنَهَا (عِنْدَ) أَوَّلِ (غَسْلِ) جُزْءٍ مِنْ (وَجْهٍ)، فَلَوْ قَرَنَهَا بِأَثْنَائِهِ كَفَى وَ وَجَبَ إِعَادَةُ غَسْلِ مَا سَبَقَهَا. وَ لَا يَكْفِيْ قَرْنُهَا بِمَا قَبْلَهُ حَيْثُ لَمْ يَسْتَصْحِبْهَا إِلَى غُسْلِ شَيْءٍ مِنْهُ، وَ مَا قَارَنَهَا هُوَ أَوَّلُهُ، فَتَفُوْتُ سُنَّةُ الْمَضْمَضَةِ إِنِ انْغَسَلَ مَعَهَا شَيْءٌ مِنَ الْوَجْهِ – كَحُمْرَةِ الشَّفَةِ – بَعْدَ النِّيَّةِ فَالْأَوْلَى أَنْ يُفَرِّقَ النِّيَّةُ بِأَنْ يَنْوِيَ عِنْدَ كُلِّ مِنْ غَسْلِ الْكَفَّيْنِ وَ الْمَضْمَضَةِ وَ الْاِسْتِنْشَاقِ سُنَّةَ الْوُضُوْءِ، ثُمَّ فَرْضَ الْوُضُوْءِ عِنْدَ غَسْلِ الْوَجْهِ، حَتَّى لَا تَفُوْتَ فَضِيْلَةُ اسْتِصْحَابِ النِّيَّةِ مِنْ أَوَّلِهِ. وَ فَضِيْلَةُ الْمَضْمَضَةِ وَ الْاِسْتِنْشَاقِ مَعَ انْغِسَالِ حُمْرَةِ الشَّفَةِ.

Rukun Wudhu’

(Kefardhuan wudhu’ ada enam). Yang pertama adalah (niat) wudhu’ atau mengerjakan (kefardhuan wudhu’) atau mengerjakan (kefardhuan wudhu’) atau menghilangkan hadats bagi selain orang yang selalu hadats. (11) Semua niat tersebut juga berlaku sampai di dalam wudhu’ yang diperbaharui (22). Boleh juga berniat bersuci dari hadats, bersuci untuk sesamanya shalat yakni dari setiap hal yang tidak diperbolehkan dilakukan kecuali dengan wudhu’ atau berniat supaya diperbolehkan melakukan setiap hal yang membutuhkan wudhu’ seperti shalat dan menyentuh mushhaf. Tidak cukup niat supaya diperbolehkan melakukan hal yang disunnahkan untuk berwudhu’ seperti membaca al-Qur’ān dan hadits, dan tidak pula niat untuk diperbolehkan masuk masjid dan ziarah qubur. Dasar dari kewajiban berniat ini adalah hadits: Keabsahan sebuah amal hanyalah dengan kesempurnaan niat. Wajib membarengkan niat (ketika mengawali membasuh bagian wajah). (33) Jika seseorang membarengkan niat di tengah pembasuhan bagian wajah maka hal tersebut mencukupi dan wajib baginya mengulangi membasuh bagian yang telah mendahului niat. Tidak cukup membarengkan niat dengan anggota sebelum wajah sekira orang tersebut tidak melanggengkan niat sampai membasuh bagian dari wajah. Anggota wajah yang dibarengi niat adalah awal pembasuhan, maka kesunnahan berkumur akan hilang bila bagian wajah – seperti bagian merah bibir – terbasuh saat berkumur setelah berniat wudhu’. Oleh karenanya, yang lebih baik adalah memetakan niat dengan berniat ketika membasuh kedua telapak tangan, berkumur dan menghirup air ke hidung dengan niat sunnah, kemudian disusul dengan niat fardhu wudhu’ ketika membasuh wajah hingga kesunnahan melanggengkan niat dari awal membasuh wajah tidak hilang, dan tidak hilang pula kesunnahan berkumur dan menghirup air dari hidung dengan terbasuhnya bagian merahnya bibir. (44).

(وَ) ثَانِيْهَا: (غَسْلُ) ظَاهِرِ (وَجْهِهِ) لِآيَةٍ: * (فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ) * (وَ هُوَ) طُوْلًا (مَا بَيْنَ مَنَابِِت) شَعْرِ (رَأْسِهِ) غَالِبًا (وَ) تَحْتَ (مُنْتَهَى لِحْيَيْهِ) – بِفَتْحِ اللَّامِ – فَهُوَ مِنَ الْوَجْهِ دُوْنَ مَا تَحْتَهُ، وَ الشَّعْرِ النَّابِتِ عَلَى مَا تَحْتَهُ، (وَ) عَرْضًا (مَا بَيْنَ أُذُنَيْهِ). وَ يَجِبُ غَسل شَعْرِ الْوَجْهِ مِنْ هُدْبٍ وَ حَاجِبٍ وَ شَارِبٍ وَ عُنْفُقَةٍ وَ لِحْيَةٍ – وَ هِيَ مَا نَبَتَ عَلَى الذَّقَنِ – وَ هُوَ مُجْتَمَعٌ اللَّحَيَيْنِ – وَ عُذَارٍ – هُوَ مَا نَبَتَ عَلَى الْعَظْمِ الْمُحَاذِيْ لِلْأُذُنِ – وَ عَارِضٍ – وَ هُوَ مَا انْحَطَ عَنْهُ إِلَى اللِّحْيَةِ -. وَ مِنَ الْوَجْهِ حُمْرَةُ الشَّفَتَيْنِ وَ مَوْضِعُ الْغَمَمِ – وَ هُوَ مَا نَبَتَ عَلَيْهِ الشَّعْرُ مِنَ الْجَبْهَةِ دُوْنَ مَحَلِّ التَّحْذِيْفِ عَلَى الْأَصَحِّ، وَ هُوَ مَا نَبَتَ عَلَيْهِ الشَّعْرْ الْخَفِيْفُ بَيْنَ ابْتِدَاءِ الْعُذَارِ وَ النَّزْعَةِ – وَ دُوْنَ وَتَدِ الْأُذُنِ وَ النَّزْعَتَيْنِ – وَ هُمَا بَيَاضَانِ يَكْتَنِفَانِ النَّاصِيَةِ – وَ مَوْضِعُ الصَّلَعِ – وَ هُوَ مَا بَيْنَهُمَا إِذَا انْحَسَرَ عَنْهُ الشَّعْرُ -. وَ يُسَنُّ غُسْلُ كُلِّ مَا قِيْلَ إِنَّهُ لَيْسَ مِنَ الْوَجْهِ. وَ يَجِبُ غُسْلُ ظَاهِرِ وَ بَاطِنِ كُلِّ مِنَ الشُّعُوْرِ السَّابِقَةِ – وَ إِنْ كَثَفَ – لِنُدْرَةِ الْكَثَافَةِ فِيْهَا، لَا بَاطِنُ كَثِيْفِ لِحْيَةٍ وَ عَارِضٍ – وَ الْكَثِيْفُ مَا لَمْ تَرَ الْبَشَرَةُ مِنْ خِلَالِهِ فِيْ مَجْلِسِ التَّخَاطُبِ عُرْفًا – وَ يَجِبُ غُسْلُ مَا لَا يَتَحَقَّقُ غَسْلُ جَمِيْعِهِ إِلَّا بِغَسْلِهِ، لِأَنَّ مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ وَاجِبٌ.

Kefardhuan wudhu’ yang kedua adalah (membasuh bagian luar wajah) (55) sebab telah dijelaskan dalam ayat al-Qur’ān: Maka basuhlah wajah kalian semua. (Wajah) dari sisi lebarnya adalah (anggota di antara tempat tumbuhnya rambut) (66) secara umumnya (dan) bagian bawah (tempat akhir dua tulang rahang). Tulang rahang adalah termasuk dari bagian wajah, bukan bagian yang berada di bawah tulang rahang dan rambut yang tumbuh di bagian bawah tulang tersebut. Sedang wajah dari sisi lebarnya (adalah anggota di antara dua kuping). Wajib membasuh rambut yang tumbuh di wajah seperti bulu mata, alis, kumis, rawis, jenggot – yakni rambut yang tumbuh di bawah dagu sedang dagu adalah tempat berkumpulnya dua tulang rahang – , rambut ati-ati – yakni rambut yang tumbuh pada tulang yang melurusi kuping, – rambut jabang – yakni rambut yang berada pada posisi akhir rambut ati-ati sampai jenggot. Sebagian dari bagian wajah adalah merah dua bibir dan tempat ghamam (sinom; jawa) – adalah tempat tumbuhnya rambut kening – bukan tempat taḥdzīf (77) menurut pendapat yang ashaḥḥ – yakni daerah tumbuhnya rambut tipis di antara awal rambut ati-ati dan tempat dua sisi dahi yang tak berambut – , dan bukan pasak telinga dan dua naz‘ah – dua naz‘ah adalah dua daerah bebas rambut yang mengelilingi ubun-ubun – , dan bukan tempat botak – yakni daerah di antara dua naz‘ah ketika rambut rontok – . Disunnahkan untuk membasuh setiap anggota yang tidak disebut sebagai wajah. Wajib membasuh bagian luar dan dalam setiap rambut-rambut yang telah lewat – walaupun tebal – sebab hal tersebut jarang terjadi. Tidak wajib membasuh bagian dalam rambut yang tebal dari jenggot dan jabang. Katagori tebal adalah selama tidak terlihat dari sela-sela rambut di tempat perbincangan secara umumnya. Wajib membasuh anggota yang tidak mungkin terbasuh keseluruhannya kecuali dengan membasuhnya, sebab perkara yang tidak mungkin sempurna kewajibannya kecuali dengan perkara tersebut, maka hukumnya wajib.

(وَ) ثَالِثُهَا: (غَسْلُ يَدَيْهِ) مِنْ كَفَّيْهِ وَ ذِرَاعَيْهِ (بِكُلِّ مِرْفَقٍ) لِلْآيَةِ. وَ يَجِبُ غَسْلُ جَمِيْعِ مَا فِيْ مَحَلِّ الْفَرْضِ مِنْ شَعْرٍ وَ ظُفْرٍ، وَ إِنْ طَالَ. (فَرْعٌ) لَوْ نَسِيَ لُمْعَةً فَانْغَسَلَتْ فِيْ تَثْلِيْثٍ، أَوْ إِعَادَةِ وُضُوْءٍ لِنِسْيَانٍ لَهُ، لَا تَجْدِيْدٍ وَ احْتِيَاطٍ، أَجْزَأَهُ. (وَ) رَابِعُهَا: (مَسْحُ بَعْضِ رَأْسِهِ) كَالنَّزْعَةِ وَ الْبَيَاضِ الَّذِيْ وَرَاءَ الْأُذُنِ بَشَرٌ أَوْ شَعْرٌ فِيْ حَدِّهِ، وَ لَوْ بَعْضَ شَعْرَةٍ وَاحِدَةٍ، لِلْآيَةِ. قَالَ الْبَغَوِيُّ: يَنْبَغِيْ أَنْ لَا يُجْزِئَ أَقَلُّ مِنْ قَدْرِ النَّاصِيَةِ، وَ هِيَ مَا بَيْنَ النَّزْعَتَيْنِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَمْسَحْ أَقَلَّ مِنْهَا، وَ هُوَ رِوَايَةٌ عَنْ أَبِيْ حَنِيْفَةَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى، وَ الْمَشْهُوْر عَنْهُ وُجُوْبُ مَسْحِ الرُّبُعِ. (وَ) خَامِسُهَا: (غَسْلُ رِجْلَيْهِ) بِكُلِّ كَعْبٍ مِنْ كُلِّ رِجْلٍ، لِلْآيَةِ. أَوْ مَسْحُ خُفَّيْهِمَا بِشُرُوْطِهِ. وَ يَجِبُ غُسْلُ بَاطِنِ ثَقْبٍ وَ شَقٍّ.

(Fardhu yang ketiga) adalah (membasuh kedua tangan) yakni dari dua telapak tangan dan dua lengan (besertaan setiap siku-siku) karena adanya ayat al-Qur’ān yang telah menjelaskan. Wajib membasuh seluruh anggota yang berada pada tempat yang wajib dibasuh dari rambut (88) dan kuku, walaupun kuku tersebut panjang.

(Cabang Masalah). Kalau seandainya seseorang lupa tidak membasuh sedikit dari anggota wudhu’ lalu anggota tersebut terbasuh pada basuhan yang ketiga atau saat mengulangi wudhu’ karena lupa, bukan karena memperbaharui wudhu’ dan berhati-hati (99) maka hal tersebut mencukupi. (Fardhu yang keempat) adalah (mengusap sebagian kepala) – seperti daerah dua sisi dahi yang tak berambut dan warna putih yang berada di belakang kuping – , yakni berupa kulit ataupun rambut yang masih pada batasannya (1010) – walaupun sebagian satu rambut saja – sebab ayat yang menjelaskan hal tersebut. Imām Baghawī mengatakan: Sebaiknya tidak mencukupi sebuah usapan yang kurang dari kadar ubun-ubun yakni anggota yang di antara dua naz‘ah sebab Nabi s.a.w. tidak pernah mengusap kurang dari kadar tersebut, (1111) dan hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imām Abū Ḥanīfah – semoga Allah mengasihinya – . Pendapat yang masyhur dari madzhab Abū Ḥanīfah adalah wajib membasuh seperempat dari kepala. (Fardhu yang kelima) adalah (membasuh kedua kaki) besertaan setiap mata kaki dari setiap kaki karena ayat al-Qur’ān yang telah menjelaskan, atau mengusap kedua muzah dengan syarat-syaratnya (1212). Wajib untuk membasuh bagian tubuh yang berlubang dan robek.

(فَرْعٌ) لَوْ دَخَلَتْ شَوْكَةٌ فِيْ رِجْلِهِ وَ ظَهَرَ بَعْضُهَا، وَجَبَ قَلْعُهَا وَ غَسْلُ مَحَلِّهَا لِأَنَّهُ صَارَ فِيْ حُكْمِ الظَّاهِرِ، فَإِنِ اسْتَتَرَتْ كُلُّهَا صَارَتْ فِيْ حُكْمِ الْبَاطَنِ فَيَصِحُّ وُضُوْؤُهُ. وَ لَوْ تَنَفَّطَ فِيْ رِجْلٍ أَوْ غَيْرِهِ لَمْ يَجِبْ غُسْلُ بَاطِنِهِ مَا لَمْ يَتَشَقَّقْ، فَإِنْ تَشَقَّقَ وَجَبَ غَسْلُ بَاطِنِهِ مَا لَمْ يَرْتَتِقْ.

(Cabangan Masalah). Kalau seandainya kaki seseorang tertancap duri dan sebagian duri tersebut tampak, maka wajib untuk mencabutnya dan membasuh bekas duri menancap sebab tempat tersebut dihukum menjadi anggota luar. Jika semua duri terbenam maka duri dihukumi bagian dalam hingga sahlah wudhu’nya. Kalau seandainya kaki atau anggota lain melepuh, mata tidak wajib untuk membasuh bagian dalamnya selama anggota itu tidak sobek. Jika anggota tersebut sobek, maka wajib untuk membasuh bagian dalamnya selama belum melekat.

(تَنْبِيْهٌ) ذَكَرُوْا فِي الْغُسْلِ أَنَّهُ يُعْفَى عَنْ بَاطِنٍ عَقْدِ الشَّعْرِ أَيْ إِذَا انْعَقَدَ بِنَفْسِهِ وَ أُلْحِقَ بِهَا مِنِ ابْتُلِيَ بِنَحْوِ طَبَّوُعٍ لَصَقَ بَأُصُوْلِ شَعْرِهِ حَتَّى مَنَعَ وُصُوْلَ الْمَاءِ إِلَيْهَا وَ لَمْ يُمْكِنْ إِزَالَتُهُ. وَ قَدْ صَرَّحَ شَيْخُ شُيُوْخِنَا زَكَرِيَّا الْأَنْصَارِيُّ بِأَنَّهُ لَا يُلْحَقُ بِهَا، بَلْ عَلَيْهِ التَّيَمُّمُ. لكِنْ قَالَ تِلْمِيْذُهُ – شَيْخُنَا -: وَ الَّذِيْ يُتَّجَهُ الْعَفْوُ لِلضَّرُوْرَةِ.

(Peringatan). Para ulama menyebutkan dalam masalah mandi bahwa anggota dalam dari rambut yang tersimpul diampuni – di-ma‘fuw – jika rambut tersebut tersimpul dengan sendirinya. Disamakan dengan hal tersebut adalah seseorang yang diuji dengan sejenis telur kutu yang melekat pada pangkal-pangkal rambut hingga mencegah masuknya air ke tempat tersebut dan tidak mungkin dihilangkan. Gurunya guru kita Syaikh Zakariyyā al-Anshārī telah menjelaskan bahwa permasalahan itu tidak bisa disamakan, bahkan orang tersebut harus bertayammum. Namun muridnya yakni guru kita Ibnu Ḥajar mengatakan: Bahwa pendapat yang unggul adalah diampuni sebab hal itu termasuk dalam keadaan darurat. (1313).

(وَ) سَادِسُهَا: (تَرْتِيْبٌ) كَمَا ذُكِرَ مِنْ تَقْدِيْمِ غَسْلِ الْوَجْهِ فَالْيَدَيْنِ فَالرَّأْسِ فَالرِّجْلَيْنِ لِلاتِّبَاعِ. وَ لَوِ انْغَمَسَ مُحْدِثٌ، وَ لَوْ فِيْ مَاءٍ قَلِيْلٍ بِنِيَّةٍ مُعْتَبَرَةٍ مِمَّا مَرًّا أَجْزَأَهُ عَنِ الْوُضُوْءِ، وَ لَوْ لَمْ يَمْكُثْ فِي الْاِنْغِمَاسِ زَمَنًا يُمْكِنُ فِيْهِ التَّرْتِيْبُ. نَعَمْ، لَوِ اغْتَسَلَ بِنِيَّتِهِ فَيُشْتَرَطَ فِيْهِ التَّرْتِيْبُ حَقِيْقًة، وَ لَا يَضُرُّ نِسْيَانُ لُمْعَةٍ أَوْ لُمَعٍ فِيْ غَيْرِ أَعْضَاءِ الْوُضُوْءِ، بَلْ لَوْ كَانَ عَلَى مَا عَدَا أَعْضَائِهِ، مَانِعٌ كَشَمْعٍ لَمْ يَضُرَّ – كَمَا اسْتَظْهَرَهُ شَيْخُنَا -. وَ لَوْ أَحْدَثَ وَ أَجْنَبَ أَجْزَأَهُ الْغُسْلُ عَنْهُمَا بِنِيَّتِهِ. وَ لَا يَجِبُ تَيَقُّنُ عُمُوْمِ الْمَاءِ جَمِيْعَ الْعُضْوِ بَلْ يَكْفِيْ غَلَبَةُ الظَّنِّ بِهِ.

(Fardhu yang keenam) adalah (tartib) seperti keterangan yang telah disebutkan yakni dari mendahulukan membasuh wajah, lalu kedua tangan, kepala, lalu yang terakhir kedua kaki karena mengikuti Nabi s.a.w. Kalau seandainya seseorang yang berhadats menyelam walaupun di dalam air yang jumlahnya sedikit, dengan niat yang sesuai yakni dari niat yang telah disebutkan, maka hal tersebut mencukupi dari wudhu’, (1414) walaupun orang tersebut tidak diam di dalam air saat menyelam dengan kadar waktu yang seandainya membasuh dengan niat menghilangkan hadats, maka diisyaratkan harus tartib secara nyata. Tidak masalah lupa tidak membasuh sedikit anggota atau beberapa anggota di selain anggota wudhu’ bahkan kalaupun bila di selain anggota wudhu’ terdapat penghalang seperti lilin, maka hal tersebut tidak masalah pula seperti yang telah dijelaskan oleh guru kita. Kalau seandainya seseorang hadats kecil dan junub maka mencukupi baginya dair dua hal tersebut dengan niat mandi saja. (1715) Tidak wajib untuk meyakini telah ratanya air pada seluruh anggota bahkan cukup baginya praduga kuat tentang hal tersebut.

(1516) (1617)

(فَرْعٌ) لَوْ شَكَّ الْمُتَوَضِّئُ أَوِ الْمُغْتَسِلُ فِيْ تَطْهِيْرِ عُضْو قَبْلَ الْفِرَاغِ مِنْ وُضُوْئِهِ أَوْ غُسْلِهِ طَهَّرَهُ، وَ كَذَا مَا بَعْدَهُ فِي الْوُضُوْءِ، أَوْ بَعْدَ الْفِرَاغِ مِنْ طُهْرِهِ، لَمْ يُؤَثَّرْ. وَ لَوْ كَانَ الشَّكُّ فِي النِّيَّةِ لَمْ يُؤَثِّرْ أَيْضًا عَلَى الْأَوْجَهِ، كَمَا فِيْ شَرْحِ الْمِنْهَاجِ لِشَيْخِنَا، وَ قَالَ: فِيْهِ قِيَاسُ مَا يَأْتِيْ فِي الشَّكِّ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ وَ قَبْلَ الرُّكُوْعِ: أَنَّهُ لَوْ شَكَّ بَعْدَ عُضْوٍ فِيْ أَصْلِ غُسْلِهِ لَزِمَهُ إِعَادَتُهُ، أَوْ بَعْضَهُ لَمْ تَلْزَمْهُ. فَلْيُحْمَلْ كَلَامُهُمْ الْأَوَّلِ عَلَى الشَّكِّ فِيْ أَصْلِ الْعُضْوِ لَا بَعْضِهِ.

(Cabangan Masalah). Kalau seandainya seorang yang berwudhu’ atau mandi ragu di dalam menyucikan anggota sebelum selesai dari wudhu’ atau mandinya, maka orang tersebut harus menyucikan anggota yang diragukan itu, begitu pula wajib disucikan anggota yang setelahnya di dalam kasus wudhu’ (1818) Atau keraguan tersebut terjadi setelah selesai dari bersuci, maka hal itu tidak memberi dampak apapun. Kalaupun seandainya adanya keraguan di dalam niat, maka tidak memberi petunjuk pula menurut pendapat yang lebih unggul seperti penjelasan dalam Syaraḥ Minhāj milik guru kita. Guru kita berkata dalam Syaraḥ Minhāj: Penyamaan permasalahan yang akan ada nanti (1919) di dalam kasus keraguan setelah fātiḥah dan sebelum ruku‘ adalah bahwa bila keraguan seorang yang berwudhu’ terjadi setelah selesainya pembasuhan satu anggota di dalam asal pembasuhan, (2020) maka seorang tersebut harus mengulangi wudhu’nya atau keraguan terjadi ketika masih membasuh sebagian anggota, maka tidak wajib mengulanginya. Oleh karena itu, ucapan para ulama yang awal (2121) diarahkan pada kasus keraguan di dalam asal pembasuhan anggota bukan sebagiannya.

Catatan:


  1. 1). Untuk orang yang selalu hadats tidak cukup berniat dengan menghilangkan hadats sebab hadatsnya tidak dapat hilang. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 48 Darul-Fikr. 
  2. 2). Artinya: untuk orang yang memperbaharui wudhu’nya juga berniat dengan niat yang telah disebutkan walaupun sebenarnya dirinya belum batal. Hal ini berbeda dengan pendapat Imām Ramlī yang mengatakan tidak mencukupi. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 48 Darul-Fikr. 
  3. 3). Maksud wajib dalam hal ini adalah kewajiban agar pekerjaan wudhu’nya dipertimbangkan, bukan untuk mengabshakan niatnya. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 49 Darul-Fikr. 
  4. 4). Hilangnya kesunnahan wudhu’ tersebut disebabkan karena kesunnahan berkumur dan menghirup air dari hidung hanya akan didapat jika dilakukan sebelum membasuh wajah, bukan saat bersamaan membasuh wajah. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 49 Darul-Fikr. 
  5. 5). Dikecualikan dari zhahir adalah batin dari wajah seperti bagian dalam hidung, mulut dan mata maka tidak wajib membasuhnya kecuali bagi seorang yang hidungnya terpotong maka wajib membasuh anggota yang terlihat dari bekas potongan tersebut. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 50 Darul-Fikr. 
  6. 6). Maksud dari tempat tumbuhnya rambut adalah tempat tumbuhnya rambut secara realita. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 50 Darul-Fikr. 
  7. 7). Batasan tempat tahdif adalah dengan meletakkan ujung benang di atas kuping yang sejajar dengan bagian atas rambut ati-ati yang dekat dengan pasak telinga, dan meletakkan ujung benang yang lain di kening atas dengan tegak lurus, maka anggota yang turun ke bawah sisi wajah adalah tempat tahdif. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 50 Darul-Fikr. 
  8. 8). Zhahir dan batinnya walaupun sangat panjang dan telah keluar dari batasan umumnya. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 52 Darul-Fikr. 
  9. 9). Wudhu’nya yang dilakukan karena ikhtiyāth saja tidaklah dapat mencukupi tanpa ada darurat. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 52 Darul-Fikr. 
  10. 10). Batasan rambut ubun-ubun ke bawah sampai wajah, rambut samping sampai pundak, rambut ujung belakang kepala sampai tengkuk. Busyr-al-Karīm. Hal. 24. 
  11. 11). Ini merupakan pendapat yang lemah dalam menyalahi ijma‘.I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 52 Darul-Fikr. 
  12. 12). Yakni memakai kedua muzah setelah sempurna bersuci, muzahnya suci, kuat untuk digunakan perjalanan, dan menutupi anggota yang wajib dibasuh saat berwudhu’. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 53 Darul-Fikr. 
  13. 13). Beliau Ibnu Ḥajar juga berkata: Jikalau masih mungkin untuk mencukur rambutnay maka wajib untuk mencukurnya selama tidak menimbulkan rasa sakit yang tidak tertahan secara umumnya. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 54 Darul-Fikr. 
  14. 14). Dengan syarat niat hadats dilakukan setelah seluruh tubuh berada di dalam air. Jika ridak, maka yang terangkat hanyalah hadats wajah saja. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 54 Darul-Fikr. 
  15. 15). Tujuan kalam ini adalah untuk menyangkal Imām Rāfi‘ī yang mengharuskan untuk berdiam di dalam air tersebut dengan kadar waktu yang sekira cukup untuk mentartibkan anggoat wudhu’. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 54 Darul-Fikr. 
  16. 16). Sebenarnya pada tempat ini bukanlah tempatnya untuk meletakkan lafazh istidra’ berupa (نعم) sebab kata membasuh merupakan perbandingan dari menyelam. Artinya jika wudhu’nya dengan tidak menyelam seperti dialirkan dari pancuran, maka harus ada tertib secara hakikat. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 52 Darul-Fikr. 
  17. 17). Sebab telah masuknya hadats kecil ke dalam hadats besar. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 55 Darul-Fikr. 
  18. 18). Contoh: setelah sampai mengusap rambut seseorang ragu dalam pembasuhan tangan, maka anggota tangan wajib untuk di ulangi begitu pula usapan kepalanya. (pen.) 
  19. 19). Referensinya dalam Syaraḥ Minhāj-nya: Jika seseorang ragu sebelum ruku‘nya di dalam asal pembacaan fatihah, maka wajib untuk membacanya atau sebagian dari fatihah, maka tidak wajib. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 55 Darul-Fikr. 
  20. 20). Maksud asal pembasuhan adalah seperti orang yang ragu apakah tangannya telah dibasuh? (pen.) 
  21. 21). Yakni ketika seseorang yang ragu di dalam penyucian anggota sebelum selesainya bersuci. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 55 Darul-Fikr.