هو
PASAL TIGA
TAUḤĪD AṢ-ṢIFᾹT
(Bagian 1 dari 2)
Tauḥīd aṣ-Ṣifāt adalah pengesaan Allah dari segala sifat. Bagaimana caranya agar Allah mampu berada pada Maqam Tauḥīd aṣ-Ṣifāt ini? Yaitu, bahwa anda harus memandang dan me-musyāhadah-kan dengan mata hati anda dan dengan keyakinan anda bahwa segala sifat yang dapat melekat kepada Zat Allah, semisal Qudrah (Kuasa), Irādah (Kehendak), ‘Ilm (Mengetahui), Ḥayāh (Hidup), Samā’ (Mendengar), Baṣar (Melihat), dan Kalām (Berkata-kata), adalah benar-benar sifat-sifat Allah. Sebab, tidak ada satu pun zat yang dapat memiliki sifat yang sama dengan sifat-sifat tersebut, melainkan hanya Allah s.w.t. Sifat-sifat yang dianggap sering dilekatkan kepada makhluk haruslah dipahami dalam konteks metaforis (majāzī), dan bukan dalam konteks yang sesungguhnya (ḥaqīqī). Jika anda, misalnya, melihat sifat-sifat semisal yang tersebut berdiri di atas, dan ada pada, makhluk, maka itu tidak lain dan tidak bukan semata-semata adalah penampakan dari sifat-sifat Allah jua.
Anda harus membenarkan bahwa sifat-sifat yang berdiri pada makhluk bersifat temporal. Sifat-sifat makhluk tersebut pada akhirnya akan lenyap (fanā’) di hadapan sifat-sifat Allah s.w.t. Jika kita coba hadapkan kedua jenis sifat tersebut, maka hasilnya adalah bahwa “tiada sifat bagi makhluk melainkan sifat Allah s.w.t.”; makhluk tidak mendengar melainkan dengan pendengaran Allah; makhluk tidak melihat melainkan dengan penglihatan Allah; makhluk tidak mengetahui melainkan dengan pengetahuan Allah; makhluk tidak berkata-kata melainkan dengan Kalam Allah. Demikian juga dengan sifat-sifat lainnya yang dapat dilekatkan pada makhluk, semuanya akan kembali kepada sifat-sifat Allah s.w.t. jua.
Dalil yang menunjukkan bahwa tidak ada bagi makhluk untuk mempunyai sifat, dan bahwa yang ada pada makhluk tidak lain adalah penampakan (mazhhar) sifat Allah s.w.t. adalah firman-Nya di dalam sebuah Ḥadīts Qudsī:
مَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ الْمُتَقَرَّبُوْنَ بِمِثْلِ أَدَاءِ مَا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِمْ وَ لاَ يَزَالُ الْعَبْدُ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبُّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَ بَصَرَهُ الَّذِيْ يَبْصُرُ بِهِ وَ لِسَانَهُ الَّذِيْ يَنْطِقُ بِهِ وَ يَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَ رِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا وَ قَلْبَهُ الَّذِيْ يُضْمِرُ بِهِ.
“Orang-orang yang mendekatkan diri tidak merasa dekat dengan-Ku kalau hanya melaksanakan apa yang Aku wajibkan kepada mereka, melainkan mereka juga melaksanakan ibadah-ibadah sunat hingga Aku mencintainya. Maka jika Aku mencintainya niscaya Aku adalah pendengarannya yang dengan itu dia mendengar, penglihatannya yang dengannya dia melihat, lidahnya yang dengannya ia berkata-kata, tangannya yang dengannya ia memegang, kakinya yang dengannya ia berjalan, dan hatinya yang dengannya ia bercita-cita.”
Cara yang harus anda tempuh untuk mencapai tajallī (penyingkapan-Diri) sifat adalah dengan memandang sifat-sifat hamba menjadi hilang disebabkan sifat-sifat Allah. Anda mulai dengan sifat pendengaran. Yakinkan dalam hati anda bahwa pendengaran hamba akan lenyap di hadapan Pendengaran Allah; pendengaran hamba tidak memiliki wujud yang hakiki, sementara yang memiliki Wujud Pendengaran Hakiki hanyalah Allah. Jika anda telah memantapkan hati anda dalam proses tajallī sifat dalam sifat pendengaran ini, maka anda coba pula beralih ke sifat-sifat lainnya. Anda bisa mengurutkan sifat-sifat “melihat,” “berkata-kata,” “mengetahui,” “berkehendak,” “memberi,” dan “melarang,” untuk kemudian “dilenyapkan” di hadapan sifat-sifat Allah s.w.t. Yakinkan dalam hati anda bahwa hamba pada dasarnya tidak memiliki sifat melainkan hanya menerima dari sifat Allah s.w.t. Setelah sifat-sifat kehambaan tersebut hilang di dalam Sifat-sifat Ketuhanan, maka coba pula pandang sifat hidup (ḥayy). Anda harus meyakini bahwa tiada sesuatu pun yang hidup melainkan hanya Allah s.w.t., sehingga sama seperti sifat-sifat lainnya, ḥayy hamba ini pun menjadi hilang di hadapan sifat Ḥayy Allah. Demikianlah, proses tajallī sifat ini harus anda lakukan secara berangsur-angsur (tadrīj) sampai anda merasakan bahwa sifat-sifat kehambaan tersebut sudah habis dan semuanya telah hilang di dalam sifat-sifat Allah s.w.t.
Setelah anda berhasil melalui proses-proses tersebut, maka anda mencapai fanā’ fī Allāh (kehilangan dalam Allah). Anda tiada memandang siapa atau apa pun karena yang anda saksikan hanyalah Zat Allah s.w.t. Dengan demikian, anda telah mengenal Allah s.w.t anda mengenal-Nya dengan pengenalan yang sempurna sehingga itulah keberhasilan besar (kemenangan) yang dilimpahkan-Nya kepada anda. Dalam menikmati kemenangan yang telah anda peroleh tersebut, anda juga akan diberikan sebuah anugerah yang merupakan rahmat-Nya, yakni anda diantarkan pada Maqam Baqā’ bi Ṣifāt Allāh. Dalam maqam-maqam ini, anda akan diberitahukan oleh Allah s.w.t. rahasia-rahasia sifat-Nya yang amat mulia.
Maqam Baqā’ bi Ṣifāt Allāh, sebagai sebuah Maqam Tauḥīd, adalah sebuah maqam yang sangat diharapkan oleh para sālik. Maqam ini menjadi maqam idaman dan maqam dambaan setiap pecinta Ilahi. Karenanya, maqam ini seringkali menjadi terminal perhentian dari para wali (auliyā’) dan bahkan para nabi (anbiyā’). Maqam ini hanya mampu dilampaui oleh Baginda Nabi Muḥammad s.a.w. serta beberapa di antara para anbiyā’ dan auliyā’.
Dalam rangkaian upaya menuju tajallī aṣ-Ṣifāt, prosesnya dilakukan secara berangsur-angsur (tadrīj). Pelaksanaannya tidak dilakukan secara sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap; secara satu persatu. Hal ini diniscayakan sebab sifat-sifat tidaklah memiliki hakikat yang sama. Sifat-sifat itu ada yang lembut, keras, lebih keras, dan keras sekali, sehingga upaya ke-fanā’-an di hadapan sifat-sifat Ilahi juga bertingkat-tingkat. Dengan demikian, proses tadrij dalam hal ini menjadi penting, karena dapat mematangkan diri anda untuk mengenal masing-masing sifat Allah. Dengan kata lain, anda dapat mengenal secara mendalam sifat-sifat Allah karena dilakukan secara satu persatu.
Jadi, begitulah proses yang harus anda upayakan dalam mencapai tajallī (penyingkapan) sifat tersebut. Jika anda telah berhasil memantapkan diri anda pada posisi ini, sehingga tidak satu pun yang akan menggoyahkan pendirian anda, maka tentunya anda juga kuat untuk menghadapi apa yang disebut sebagai tajallī Zat, yaitu sebuah posisi di mana anda mampu “menyingkap” Zat Allah. Untuk mencapai maqam ini, tentunya seperti yang barusan dikatakan, anda harus mampu mengokohkan diri anda pada posisi tajallī Ṣifāt. Jadi, terlebih dahulu anda melewati tajallī sifat untuk memasuki tajallī Zat.
Siapa pun yang berhasil mencapai tajallī Zat tersebut, Allah akan menjadikannya khalifah di muka bumi ini. Allah akan memberikan balasan berupa membebaskannya dari segala marahukuman-Nya. Keadaan ini bisa diumpamakan dengan Ādam a.s. yang telah dijadikan Allah sebagai khalifah di bumi ini, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’ān:
وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً
“Tatkala Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (al-Baqarah [2]: 30).
Khalifah yang dimaksud di sini adalah sosok yang akan mewakili Allah untuk menegakkan hukum-Nya di bumi. Tentu saja, penunjukan Ᾱdam sebagai khalifah Allah ini tidaklah dilakukan secara asal-asalan, sebab Allah telah mengajari Ᾱdam tentang semua nama yang mulia. Hal ini sebagaimana terungkap dalam firman-Nya:
وَ عَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلُّهَا.
“Dan Dia mengajarkan kepada Ᾱdam nama-nama seluruhnya.” (al-Baqarah [2]: 31).
Ᾱdam diberi petunjuk oleh Allah s.w.t. untuk mengetahui segala sesuatu sehingga ia mampu mengetahui hal-hal yang tampak dan yang tersembunyi. Begitulah, karena ia telah dipilih secara langsung oleh-Nya untuk menduduki posisi penting sebagai khalifah. Atas dasar ini pula, sebagian Sufi berpendapat:
مَنْ عَرَفَ اللهَ لَا يَخْفَى عَلَيْهِ شَيْءٌ
“Barang siapa yang mengenal Allah, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi darinya.”
Lebih jauh, kalangan Sufi tersebut menyatakan bahwa orang yang telah mengenal Allah, juga akan dianugerahi ilmu laduni. Ilmu laduni adalah ilmu yang diilhamkan oleh Allah s.w.t. kepada hati hamba-Nya tanpa melalui suatu perantara (wāsiṭah), sebagaimana perantara yang umumnya dibuat untuk memperoleh ilmu pengetahuan – seperti talqin dari syekh-syekh. Tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh secara biasa, ilmu laduni bersifat tetap dan tidak akan hilang ataupun terlupakan. Seseorang yang telah dianugerahi ilmu laduni disebut dengan “alim sejati” (alim yang sebenarnya). Sebaliknya, seseorang yang tidak memperoleh ilmunya dari ilmu laduni, belum bisa disebut sebagai alim sejati. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Abū Yazīd al-Bisṭāmī, dan juga diakui oleh orang-orang selainnya, bahwa:
“Tidaklah disebut sebagai alim jika seseorang masih memperoleh ilmunya dari hafalan kitab-kitab, karena seseorang yang memperoleh ilmunya dari hafalan, pasti akan mudah melupakan ilmunya. Dan bila ia lupa, maka bodohlah dia.”
Seorang alim adalah seorang yang memperoleh ilmunya langsung dari Allah menurut waktu yang dikehendaki-Nya, dengan tidak melalui hafalan dan pelajaran. Orang seperti inilah yang kemudian disebut degnan al-‘ālim ar-Rabbānī (orang yang berpengetahuan ketuhanan), dan ia pulalah yang kemudian diisyaratkan oleh firman-Nya:
عَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
“Dan Kami telah mengajari ilmu dari sisi Kami.” (al-Kahf [18]: 65).
Ayat ini mengandung makna bahwa: “Kami mengajarinya tanpa melalui perantara dengan belajar.” Jika seseorang masih memperoleh ilmunya dengan sebab belajar, maka hal itu bukanlah ilmu laduni. Ilmu laduni hanya dapat diterima oleh hati, dan kemunculannya tidak disebabkan oleh sesuatu hal apa pun yang bersifat usaha. Abū Yazīd al-Bisṭāmī q.s. berkata kepada para ulama eksoterik (ẓāhir – maksudnya, fuqahā’):
أَخَذْتُمْ عِلْمَكُمْ مَيِّتًا عَنْ مَيِّتٍ وَ أَخَذْنَا عِلْمَنَا مِنَ الْحَيِّ الَّذِيْ لاَ يَمُوْتُ
“Anda (para ulama eksoterik) memperoleh ilmu anda dalam keadaan seperti mayit dan dari sesuatu yang mati, sedangkan kami memperoleh ilmu kami dari Yang Mahahidup (Tuhan) Yang Tidak Mati.”
Demikianlah yang disebutkan atau dikutip oleh Imām al-Ghazālī di dalam karya monumentalnya, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn.
Jika seseorang memperoleh ilmu laduni, secara khusus, atau Maqam Tauḥīd aṣ-Ṣifāt, secara umum, tersebut, maka ia akan mampu menyaksikan segala perkara, sama saja perkara itu lahir ataupun batin, tampak ataupun tersembunyi. Baginya, juga terbuka segala hakikat melalui suatu cahaya nyata yang dianugerahi Allah s.w.t. Tidak satu pun dari segala sesuatu yang tidak mampu disaksikannya, sekalipun sekecil partikel atom (żarrah). Al-Qur’ān memberitakan kita mengenai hal ini: