003 Sifat Mutlak – Insan Kamil – Syaikh Abd. Karim al-Jaili

INSAN KAMIL
Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman

Karya: Syaikh Abd. Karim Ibnu Ibrahim al-Jaili

Penerjemah: Misbah El Majid. Lc.
Diterbitkan oleh: Pustaka Hikmah Perdana.

Bab 3

SIFAT MUTLAK

 

Ash-Shifat (sifat) sejatinya adalah sebuah berita yang mengabarkan kepada diri anda tentang keadaan sesuatu yang disifati. Yakini apa yang sampai kepada pemahaman anda esensi dan keadaan suatu yang disifati, yang dengan itu anda bisa memakrifahi sesuatu tersebut, berikut anda bisa mengumpulkan dalam estimasi anda, serta menjabarkannya dalam pikiran anda, pun mengeksiskannya dalam logika anda, terlebih Dzauq (intuisi) anda yang dengan itu anda bisa menghadirkan ‘rasa’ akan keadaan al-Maushūf (yang disifati) dengan sifat itu sendiri, lalu mewacanakan sifat-sifat tersebut dalam diri anda. Pada tahap ini boleh jadi sifat-sifat itu mendominasi diri anda dan membuat anda menemukan “dzauq” (intuisi), juga sebaliknya melahirkan dzauq yang berlawanan. Maka pahami dengan seksama, telisik dengan cermat agar dzauq (intuisi) yang hadir dalam diri anda benar-benar membiaskan ‘rasa’ pada pendengaran anda yang bersendikan rahmat kebersamaan anda dengan-Nya dan anda pun terlepaskan dari jerat-jerat simbolistik yang mengantarkan diri anda tenggelam dalam samudera fanā’ bersama-Nya. Demikian pula anda akan tersucikan dari Ḥijāb (tirai penghalang). Ketahuilah bahwasanya ash-Shifat (sifat) itu selalu mengikuti al-Maushūf (yang disifati), yakni tidak bersifat dengan sifat-sifat selain diri anda, tidak pula dengan sifat-sifat jiwa anda, dan anda sama sekali tidak berarti di hadapan sifat-sifat itu, kecuali jika anda mengetahui bahwasanya diri anda adalah inti (dzāt) al-Maushūf (yang disifati) dan anda benar-benar yakin bahwa anda mengetahuinya secara hakiki. Pada tahap tingkat spiritual (Maqām) ini ilmu mengikuti anda secara primer dan anda tidak butuh peneguhan atas pengetahuan yang anda yakni, karena sifat terkait erat dengan yang disifati dalam segala hal, ia (sifat) ada dengan wujud al-Maushūf (yang disifati), ia (sifat) hilang dengan ketiadaan yang disifatinya.

Sifat dalam lanskap pandangan ulama ‘Arab terbagi atas dua macam:

  1. Sifat keutamaan. Sifat keutamaan adalah sifat yang terkait dengan inti (dzāt) manusia seperti al-Ḥayāh (kehidupan).
  2. Sifat utama. Sifat utama adalah sifat yang terkait dengan keutamaan dan sesuatu yang diluar keutamaan seperti al-Karam (kemuliaan) dan sifat sejenis lainnya.

Para ahli hakekat mengatakan nama-nama al-Ḥaqq terbagi atas dua bagian yakni nama-nama yang terkait dengan penyifatan Diri-Nya, yang oleh para ahli ilmu grametika bahasa disebut dengan nama-nama an-Na‘ūtiyyah (nama-nama yang berdimensikan sifat). Bagian Pertama: Berdimensikan inti (dzāt)-Nya, seperti: Maha Esa, Maha Tunggal, Berdiri Sendiri, Tempat bergantung segala sesuatu. Maha Agung, Maha Hidup, Maha Mulia, Maha Besar, Maha Tinggi, dan lain sebagainya. Bagian Kedua: Berdimensikan sifat Diri-Nya, seperti al-‘Ilm (berpengetahuan) dan al-Qudrah (yang berkemauan) atau sifat yang terkait dengan Diri-Nya, seperti al-Mu‘thī (Maha Memberi), al-Khallāq (Maha Mencipta), juga sifat yang berkait dengan Af’āl (perbuatan-perbuatan)- Nya. Asal penafsiran dalam sifat-sifat ketuhanan adalah, isim-Nya (ar-Raḥmān)- Maha Pemurah-, hal mana isim tersebut melingkupi segala sesuatu yang bersifat universal, perbedaan antara nama ar-Raḥmān dengan nama Allah dalam manifestasi sifat universal ar-Raḥman merupakan manifestasi daripada sifat-sifatNya secara universal, sedang Allah penampakan inti nama-Nya secara utuh.

Ketahuilah, bahwasanya ar-Raḥmān adalah nama al-Ḥaqq yang melahirkan pengetahuan tentang inti martabat ketinggian dari wujud paripurna dengan syarat kesempurnaan mutlak tanpa ada keterkaitan dengan makhluk, sedangkan isim (Allah) adalah pengetahuan akan dzat Wājib-ul-Wujūd (wujud yang mesti ada dengan sendirinya) dengan syarat kemutlakan kesempurnaan-Nya yang termanifestasikan dalam sifat-sifat kesempurnaan makhluk-Nya. Allah bersifat umum sedang ar-Raḥmān bersifat khusus yakni isim ar-Raḥmān dikhususkan dengan kesempurnaan-kesempurnaan Ilāhiyyah (ketuhanan) sedang nama (Allāh) mencakup al-Ḥaqq dan mukhlūq. Manakala ar-Raḥmān dikhususkan dengan kesempurnaan dari kesempurnaan-kesempurnaan Ilāhiyyah (ketuhanan), maknanya bergeser dari tempatnya ke nama-nama yang layak al-Mulk serta nama-namaNya yang lain. Maisng-masing dari nama-nama tersebut maknanya meliputi sifat-sifat yang ada pada tiap-tiap martabat, berbeda dengan nama-Nya ar-Raḥmān, pemaknaan umumnya adalah sentara kesempurnaan yang mencakup segenap kesempurnaan, ia merupakan sifat universal untuk segala sifa-sifat Ulūhiyyah (ketuhanan).

Ketahuilah, bahwasanya sifat di mata para ahli hakekat adalah tidak bisa dicapai dengan penglihatan mata dan tidak berujung, berbeda dengan dzāt ia bisa digapai dengan penglihatan, namun penglihatan yang berdimensi al-Kasyf (intuitif), dengan demikian para ahli hakekat tersebut mampu me-mukāsyafah-i inti (dzāt)-Nya. Di mata mereka inti (dzāt)-Nya sangat jelas sedang sifat-sifatNya di mata para ahli hakekat tidak jelas dan tidak terbatas, contoh sederhananya orang yang prosesi ritualnya tumbuh dan berkembang akan meningkat dari martabat kebendaan menuju martabat kequdusan dan akan dibukakan pengetahuan intuisi (kasyf) untuknya, dengan begitu ia akan memakrifahi (memahami dengan pemahaman hakiki) bahwasanya inti (dzāt)-Nya adalah inti (dzāt) dirinya. Daya persepsi dan ilmunya mengantarkan dirinya kepada Makrifatullāh. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “ Barang siapa yang memahami dirinya, akan makrifah (faham) Tuhannya.” Orang yang telah memahami kesejatian dirinya, ia akan memahami inti (dzāt) daripada sifat-sifat yang terlanskapkan dalam sifat-sifat ketuhanan vis avis sifat-sifat dirinya. Karenanya para ahli hakekat tidak akan pernah mampu melihat sifat-sifatNya yang termanifestasikan dalam segenap wujud, karena sifat-sifatNya tidak terbatas dan tidak berujung.

Semisal siifat al-‘Ilmiyyah (pengetahuan) jika telah digapai seorang hamba ketuhanan, ia tidak akan pernah bisa mengetahuinya secara rinci (parsial) selain al-Qadar yang diturunkan ke dalam qalbunya, sedang al-Idrāk (daya persepsi) lahir dari sifat al-‘Ilmiyyah (pengetahuan), seperti jikalau ditanyakan kepada seseorang, berapakah jumlah laki-laki yang ada dikomunitasnya? Ia lalu berusaja mengetahui nama-nama mereka dan berusaha mengidentifikasi karakter, kepribadian dan sifat-sifat mereka yang tidak terkira ragamnya, demikianlah hingga ia dapat menyimpulkan secara garis besar akan kesejatian kelaki-lakian seorang pria secara gradual dan bukan secara parsial. Dalam tataran kemanusian (ciptaan) saja kita tidak mampu mengindentifikasi sifat-sifat manusia secara universal, bagaimana pula dengan sifat-sifat ketuhanan, sungguh kesempurnaan sifat-Nya tidak berpulang dan tidak memiliki kata akhir. Dengan semantis logika seperti itu dapat difahami jikalau para ahli hakekat berkeyakinan bahwa yang bisa digapai adalah inti (dzāt)-Nya, sedang sifat-sifatNya tidak terjangkau dalam pengertian tidak ada batasan dan akhirannya, bukan dalam pengertian subtansi sifatnya. Maka hanya dzāt yang bisa dilihat dalam lanskap hakiki, sedang sifat-sifat dalam dimensi hakekat tidak bisa dilihat karena tidak berujung dan tidak terbatas.

Para peniti jalan Allah (Sālikīn) banyak sekali yang terhijabkan dengan masalah ini, yang sedemikian itu tatkala mereka telah menggapai maqām Kasyf (pengetahuan intuisi) dan dimakrifahkan kepada mereka inti (dzāt)-Nya. Mereka mencari gapaian sifat-sifatNya namun mereka tidak mendapatinya dalam diri mereka lalu mengingkarinya. Mereka lantas tidak memenuhi panggilan-Nya manakala Dia menyeru kepada diri mereka, lebih dari itu mereka tidak melakukan ritual ibadah dan ubudiyah kepada-Nya. Jika diberitahukan kepada mereka firman-Nya yang telah diturunkan kepada Mūsā: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.” Q.S. Thāhā 20:14. Mereka akan berkata kepada-Nya, Engkau tidak lain adalah makhluk, sebab mereka tidak percaya kepada al-Ḥaqq, bahwasanya Diri-Nya tidak bisa dilihat dengan sifat-sifatNya, dalam persepsi mereka sifat-sifat al-Ḥaqq ada pada inti (dzāt)-Nya. Tafsir menifestasi ketuhanan yang ada dibenak mereka berbeda dengan tafsir (pemahaman) ketuhanan yang Shaḥīḥ (valid) dan Syāmil (utuh), maka lahirlah leingkaran dalam diri mereka yang demikian itu karena mereka mengira bahwa sifat-sifatNya bisa dilihat dalam inti (dzāt)-Nya, dengan syuhūd (kesaksian) seperti yang terjadi pada kesaksian inti (dzāt). Mereka tidak mengetahui bahwa realita tersebut merupakan sesuatu yang mustahil, meski pada makhluk sekalipun, sebab kesejatian diri anda hanya bisa dilihat dan ditentukan dengan inti (dzāt) diri anda sendiri. Adapun sifat-sifat yang ada dalam diri anda seperti keberanian, kedermawaan, keilmuan dan sifat-sifat lainnya tidak bisa dipersepsi secara kesaksian hakiki, akan tetapi bisa dilihat melalui penampakan yang lahir dari diri anda secara parsial dan perlahan-lahan. Jika sifat-sifat tersebut mendominasi diri anda, maka akan tampak pada diri anda sifat-sifat tersebut dan meninggalkan bekas-bekas (pengaruh) pada diri anda, jika sifat-sifat itu nihil dari diri anda, maka sifat-sifat itupun lenyap sari diri anda, hingga sifat-sifat tersebut tidak bisa disaksikan dan tidak memiliki bekas sedikitpun dalam diri anda. Di sinilah peran signifikan akal terlihat fungsinya, ia akan mengantarkan pemahaman anda selaras dengan tradisi yang melanskapi diri anda, sejalan dengan hukum kehidupan yang ada.

Ketahuilah, bahwasanya dzāt-dzāt ketinggian hanya bisa diketahui dengan Tharīqah (jalan) Kasyf (pengetahuan intuitif) dan Kasyf al-Ilāhiyyah (intuisi ketuhanan), kau hanya ada pada-Nya dan Dia hanya ada pada dirimu tanpa Ḥulūl (panteisme), tanpa Ittiḥād (bersatu secara dzāt) bahwa hamba adalah hamba dan Rabb adalah Rabb (Tuhan adalah Tuhan). Seorang hamba tidak akan pernah menjadi Tuhan dan Tuhan tidak akan pernah menjadi hamba, anda akan bisa mengetahui kesejatian Qudrah (kudrat) tersebut melalui jalan Kasyf (pengetahuan intuitif) dan Dzauq (intuisi) serta intuisi ketuhanan yang melintas batas pengetahuan inderawi dan nalar logika. Dan semua itu tidak akan terjadi melainkan pasca as-Sahaq (lenyap dan lebur) secara dzāt. Adapun tanda-tanda Kasyf itu adalah fanā’ (sirna) nya diri seorang hmaba dengan penampakan Rabb-nya kemudian fanā’ kedua kalinya dengan hadirnya sirr (rahasia) Rubūbiyyah (ketuhanan), kemudian fanā’ ketiga kalinya dari keterkaitan sifat-sifatNya dengan hakekat inti (Dzāt)-Nya. Jika seseorang telah berhasil menggapai tingkat spiritual (maqām) ini, maka inti sifat kemanusiaan dirinya lenyap (sirna), ia dapat melihat inti (dzāt)-Nya. Pada tahap ini ke-Dia-an Dia termanifestasilan dalam ke-aku-an anda yang terlanskapkan dalam ilmu, kudrat, pendengaran, penglihatan, keagungan, keperkasaan, kediqdayaan,dan manifestasi-manifestasi ketuhanan lainnya. Penampakan subtansi ke-Dia-an Dia bergantung dari daya persepsi anda dalam mensirnakan inti (dzāt) diri anda dalam membangun kebersamaan dan kedekatan (Qurb) bersama-Nya, dan itu ada pada kekuatan hasrat anda, cita-cira anda, serta kadar pengetahuan anda. Terkait dengan ini anda bisa saja berkata: “Inti (dzāt)-Nya tidak bisa dilihat dengan i‘tibār ia merupakan inti segala sifat, tataran permaknaan ini berdasarkan firman Al-Ḥaqq: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.” Q.S. al-An’ām 6:103, karena penglihatan merupakan sifat, barang siapa yang tidak bisa melihat sifat, ia tidak akan pernah bisa melihat dzāt. Jika anda berkata: Inti (dzāt)-Nya bisa dilihat, maka hal itu dengan i‘tibār seperti apa yang telah kami paparkan diatas, masalah ini banyak disepelekan banyak orang, bahkan sering dinafikan para Sālik (peniti jalan Allah) terlebih ahli ketuhanan tidak ada satupun dari mereka yang menyoal dan memberi perhatian khusus tentang masalah ini sebelum saya (al-Jaily). Maka jernihkan pikiran dan hati anda, tafakkuri dengan penuh seksama, sisihkan waktu secara khusus untuk merenungkan masalah ini, agar anda bisa memukasyafahi tajallī-Nya secara hakiki, serta dapat merasakan Dzauq (intuisi) kenikmatan sifat diri dengan sifat-sifat al-Ḥaqq, jika makrifah anda itu terus berkembang, anda akan mengetahui: Kaifiyyah (prosesi) pensifatan dengan sifat-sifatNya, yang dengan itu anda akan memakrifahi sifat-sifatNya secara hakiki. Pada tingkat makrifah hakiki inilah sesuatu yang tak berujung dapat diketahui akhirannya. Pahami betul masalah ini, sebab masalah ini tidak pernah bisa difahami selain insan-insan yang telah dipersiapkan al-Ḥaqq mampu mewadahi kesempurnaan. Mereka itulah al-Muqarrabūn (insan-insan yang terdekat) dengan Sang Maha Perkasa dan Maha Mulia, dan hanya sedikit sekali insan-insan terkasih dan dikasihi-Nya bisa Wushūl (sampai) ke tingkat spiritual tersebut.

Ketahuilah, bahwasanya isim-Nya ar-Raḥmān dalam artian bahasa, menunjukkan kekuatan sifat-Nya pada sesuatu yang disifati, dan penampakan-Nya pada sesuatu tersebut. Karenanya liputan rahmat-Nya mencakup segala sesuatu, hingga para penghuni neraka-pun tidak luput dari cakupan rahmat-Nya. Ketahuilah nama-Nya (ar-Raḥmān) ini, terkandung di bawahnya segenap nama-nama ketuhanan yang berdimensikan Diri-Nya, termasuk tujuh sifat Diri-Nya yang utama yaitu: al-Ḥayāh (hidup), al-‘Ilm (tahu atau berpengetahuan), al-Qudrah (berkuasa), al-Irādah (berkemauan), al-Sam‘u (mendengar), al-Bashar (melihat), al-Kalām (berbicara). Huruf Alif yang ada pada tujuh sifat itu sejatinya bermakna al-Ḥayāh (Maha Hidup). Tidakkah anda lihat rahasia hidup al-Ḥaqq dalam setiap Maujūdāt (segala wujud), semua yang wujud tegak hidup dengan hidup-Nya, demikian pula dengan huruf Alif, ia menghidupkan segala huruf, tidak ada satu hurufpun yang terlepas dari huruf Alif, di mana ada huruf disitu ada huruf Alif, baik berupa lafazh maupun tulisan. Huruf Bā’ ‘ibārat Alif yang terhamparkan, huruf Jīm ibarat Alif yang dilengkungkan dua ujungnya, demikian pula dengan huruf-huruf yang lain. Terkait dengan etos ke-raḥmān-an ini, maka esensi huruf Alif ‘ibārat penampakan kehidupan Raḥmāniyyah (ketuhanan) yang terlanskapkan dalam segala wujud. Huruf Lām, ‘ibārat penampakan al-‘ilm (ilmu pengetahuan)-Nya, ilmu yang dimaksud pada pengibaratan ini adalah kesejatian ilmu-Nya, sedangkan tempat untuk memakrifahi ilmu tersebut adalah segala wujud ciptaan-Nya. Huruf Rā’ ‘ibārat penampakan Qudrah (Kuasa)-Nya yang termanifestasikan dalam semesta alam dan isinya alam, dari al-‘Adam (ketiadaan) menjadi Maujūd (ada), yang dengan itu bisa dilihat sesuatu yang tidak tampak, dan bisa ditemukan sesuatu yang tidak ada. Huruf Hā’ ‘ibārat penampakan al-Irādah (kehendak)-Nya, adapun tempatnya Ghaib-ul-Ghaib (super misteri), kehendak ketuhanan yang sangat misteri dalam diri al-Ḥaqq tidak akan bisa diketahui, dan tidak akan pernah bisa dilihat. Segala apa yang Dia kehendaki Allah, maka kehendaki-Nya adalah sebuah keniscayaan, dengan demikian al-Irādah merupakan keghaiban murni. Huruf Mīm, ‘ibārat penampakan as-Sam‘u (mendengar)-Nya seperti halnya anda tidak bisa mendengar suatu percakapan dari seseorang, jika orang itu tidak menggerakkan lisannya untuk berbicara? Demikian pula anda tidak akan bisa menyimak pesan-pesan ketuhanan, jika anda tidal mampu bermukasyafah, dan menggapai intuisi ketuhanan, karena manifestasi Sam‘u-Nya tertampakkan baik melalui al-Qaul (perkataan), al-Lafzh (rentahan huruf), atau Ḥāl (kondisi spiritual). Lingkaran pada permukaan huruf Mīm mengisyaratkan, tempat mendengar kalām-Nya, dengan demikian huruf Mīm ‘ibārat tempat mendengar kalam-Nya, dengan demikian huruf Mīm ‘ibārat tempat mendengar Kalām (ujaran-ujaran) segala yang wujud baik yang tersurat maupun yang tersirat, baik yang terucapkan maupun yang tidak terucapkan. Adapun huruf Alif yang ada di antara huruf Mīm dan Nūn, ‘ibārat penampakan al-Bashar (melihat)-Nya, ia juga merupakan isyārat bahwasanya al-Ḥaqq tidak melihat, melainkan dengan inti (dzāt)-Nya. Huruf Alif itu dihilangkan dalam tulisan, namun terungkapkan isyārat, bahwasanya al-Ḥaqq, tidak bisa dilihat oleh makhluk-Nya melainkan dengan Diri-Nya, dan orang seorang tidak akan pernah bisa melihat kesejatian Diri-Nya dengan sesuatu selain Diri-Nya. Adapun penetapannya dalam lafazh, isyārat pembedaan (titik pilah) al-Ḥaqq di antara inti (dzāt)-Nya dengan makhluk-Nya, terlebih pensucian dan peninggian al-Ḥaqq dari sifat-sifat kemakhlukan makhluk-Nya, karena mereka (para makhluk-Nya) diliputi sifat kerendahan, kehinaan dan kekurangan, sedang al-Ḥaqq Maha Suci dan Maha Sempurna. Huruf Nūn, ibarat penampakan Kalām (berbicara)-Nya, pararel dengan firman-Nya: “Nūn, demi Qalam dan apa yang mereka tulis.” Q.S. al-Qalam 68:1, Nūn dalam ayat tersebut, merupakan Kināyah (metafora) daripada Lauḥ-ul-Maḥfūzh, yang sejatinya adalah Kitābullāh (kitab Allah) halmana kandungan isinya seperti yang diwartakan al-Ḥaqq: “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitāb.” Q/S/ al-An‘ām 6:38, maka jelas sekali bahwa hakekat kitab-Nya adalah Kalām-Nya.

 

Ketahuilah, bahwasanya huruf Nūn ibarat lukisan citra segala makhluk-Nya dengan segala iḥwāl (keadaan)-nya dan sifat-sifat-nya yang terlanskapkan dalam kesatuan dari yang banyak, lukisan tersebut ‘ibārat kalimat Allah yang bermaknakan (Kun)-Jadilah, maka jadilah, sejalan dengan al-Qalam (pena) dalam al-Lauḥ, yang merupakan wajah penampakan kalimat presensi (al-Ḥadrah). Semua yang keluar dari lafazh (Kun) ia berada dalam lingkup Lauḥ-ul-Maḥfūzh, atas dasar inilah kami memaklumatkan bahwasanya huruf Nūn merupakan penampakan Kalāmullāh. Ketahuilah, bahwasanya nuqthah (titik) yang berada diatas huruf Nūn merupakan isyārat inti (dzāt)-Nya, yang tertampakkan pada segenap citra makhluk-Nya. Awal manifestasi ketuhanan pada segenap makhluk-Nya adalah inti (dzāt)-Nya, kemudian tampaklah makhluk tersebut, karena Nūn inti (dzāt)-Nya lebih tinggi dan lebih tampak dibandingkan Nūn makhluk-Nya, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Shadaqah adalah sesuatu yang kali pertama berada si telapak tangan ar-Raḥmān (Maha Pemurah), kemudian berada di telapak tangan insan peminta.” Hal senada juga ditegaskan Sufi agung Shādiq al-Akbar r.a.: “Aku tidak melihat sesuatupun, melainkan aku melihat Allah sebelumnya.” Jika anda mengetahui bahwa nuqthah (titik) dalam huruf Nūn merupakan isyārat inti (dzāt)-Nya, maka ketahuilah bahwa lingkaran huruf Nūn merupakan isyārat segenap makhluk-Nya. Kami telah paparkan masalah ini dengan detil pada karya kami al-Kahfi war-Raqīm, fī Syarḥi Bismillāh-ir-Raḥmān-ir-Raḥīm, jika anda ingin mengkaji lebih dalam lagi silakan menela’ah kitab tersebut, jika kita perpanjang membahas rahasia-rahasia huruf isim ini, berikut pengejawantahan huruf-hurufnya, niscaya akan terhamparkan misteri-misteri yang berserak di jagad ini, berikut akan tertampakkan keajaiban-keajaiban yang mengkoyak pemahaman anda. Kami sengaja menyudahi paparan ini hingga disini, agar tidak membuat anda bersikap manja dalam menyibak misteri ketuhanan. Allah adalah Dzāt Maha Penolong, kepada-Nya semua harapan dimuarakan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *