003 Perihal Bersiwak – Kifayat-ul-Akhyar

KIFĀYAT-UL-AKHYĀR
(Kelengkapan Orang Shalih)
Oleh: Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhamamd al-Husaini

Bahagian Pertama
Penerjemah: K.H. Syarifuddin Anwar, K.H. Mishbah Mushthafa
Penerbit: BINA IMAN

[Fasal]

Perihal Bersiwak

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(فَصْلٌ: السِّوَاكُ مُسْتَحَبٌّ فِيْ كُلِّ حَالٍ إِلَّا بَعْدَ الزَّوَالِ لِلصَّائِمِ، وَ هُوَ فِيْ ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ أَشَدُّ اسْتِحْبَابًا، عِنْدَ تَغَيُّرِ الْفَمِ مِنْ أَزْمٍ وَ غَيْرِهِ، وَ عِنْدَ الْقِيَامِ مِنَ النَّوْمِ، وَ عِنْدَ الْقِيَامِ إِلَى الصَّلَاةِ).

[Dalam keadaan bagaimanapun adalah bersiwak (menggosok gigi) itu disunnatkan, kecuali setelah tergelincirnya matahari bagi orang yang berpuasa. Bersiwak juga sangat di-sunnat-kan dalam tiga keadaan ini; yaitu ketika mengalami bau busuk pada mulut yang disebabkan oleh lamanya dia atau lainnya, ketika bangun dari tidur dan ketika berdiri hendak shalat].

Bersiwak itu disunnatkan dengan secara mutlak. Sebab Nabi s.a.w. telah bersabda:

السَّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ.

Bersiwak itu mensucikan mulut dan menimbulkan keridhaan Tuhan Yang Maha Agung.

Hadits ini shaḥīḥ, diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Ḥibbān, al-Baihaqī dan an-Nasā’ī dengan isnād yang shaḥīḥ pula. Imām Bukhārī menyebut Hadits di atas secara ta‘līq dengan shīghat jazmī. Ta‘līq-nya Imām Bukhārī dengan menggunakan shīghat jazmī, menunjukkan bahwa Hadits tersebut shaḥīḥ.

Lafazh Mathharatun dibaca fatḥah mīm-nya atau dibaca kasrah. Maknanya ialah setiap sesuatu yang boleh digunakan untuk bersuci. Siwak disamakan dengan sesuatu (alat) yang boleh digunakan untuk bersuci, karena siwak itu boleh mensucikan mulut.

Apakah bersiwak sesudah tergelincirnya matahari itu makrūh? Ada khilāf. Qaul yang rājiḥ di dalam kitabnya Imām Rāfi‘ī dan kitab ar-Raudhah, hukumnya makrūh. Sebab sabda Rasūlullāh s.a.w.:

لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ.

Sungguh bau mulutnya orang yang sedang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah (besok di hari kiamat) daripada bau harumnya minyak misik.

(Riwayat Bukhārī)

Di dalam riwayatnya Imām Muslim menggunakan kalimat “besok di hari kiamat”. Sebagai gantinya kalimat “di sisi Allah.” Ke-makrūh-an bersiwak itu ditentukan sesudah tergelincirnya mataharai karena perubahan mulut yang disebabkan oleh puasa, bila matahari sudah tergelincir akan nyata sekali. Jadi andaikata mulut seseorang mengalami perubahan sesudah matahari tergelincir, tetapi perubahannya bukan karena puasa, misalnya karena tidur atau lainnya, lalu ia bersiwak untuk menghilangkan bau mulutnya, hukumnya tidak makrūh.

Ada yang mengatakan: Bersiwak itu tidak makrūh secara mutlak. Pendapat ini dikatakan oleh Imam-imam yang tiga, yaitu Abū Ḥanīfah, Mālik dan Imām Aḥmad bin Ḥanbal, dan diunggulkan oleh Imām Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab. Al-Qādhī Ḥusain berkata: Makrūh pada puasa fardhu, bukan puasa sunnat. Sebab dikhawatirkan adanya riya’.

Kata pengarang “bagi orang yang berpuasa,” boleh diambil kesimpulan bahwa ke-makrūh-an bersiwak itu menjadi hilang dengan terbenamnya matahari. Demikian hukum yang shaḥīḥ, tersebut di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab. Ada lagi yang mengatakan: Ke-makrūh-an masih tetap hingga orangnya berbuka puasa. Wallāhu a‘lam.

Kemudian, ke-sunnat-an bersiwak lebih dikukuhkan pada beberapa waktu yang tertentu:

Antara lain ialah: “ketika mulut mengalami perubahan bau yang disebabkan oleh lamanya diam dan lain-lain.” Azmin yaitu diam terlalu lama. Ada yang mengatakan Azmin ialah meninggalkan makan.

Kata-kata “dan lain-lain”, termasuk andaikata bau mulut itu berubah dengan sendirinya karena orangnya makan sesuatu yang berbau tidak enak, seperti bawang putih, bawang merah dan lain-lain.

Di antaranya lagi “ketika bangun dari tidur”. Diberitakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. apabila terjaga dari tidurnya, beliau bersiwak.

Sebagian riwayat lafaznya begini:

يَشُوْصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ.

Beliau membersihkan dan membasuh mulutnya dengan bersiwak.

(Riwayat Bukhārī dan Muslim).

Adapun sebab dikukuhkan serta digalakkan bersiwak sesudah tidur, karena tidur itu tidak terlepas dari diam (diam yang terlau lama) dan meninggalkan makan. Di mana kedua-duanya termasuk penyebab perubahan bau mulut.

Di antaranya “ketika hendak berdiri untuk shalat”, sebab sabda Nabi s.a.w.:

لَوْ لَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ.

Kalau saja aku tidak khawatir memberatkan umatku, tentu sudah keperintahkan mereka supaya besiwak tiap-tiap hendak shalat.

(Riwayat Bukhārī dan Muslim).

Dan diriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a. dari Rasūlullāh s.a.w., bahwa beliau telah bersabda:

رَكَعَتَانِ بِالسِّوَاكِ أَفْضَلُ مِنْ سَبْعِيْنَ رَكَعَةً بِلَا سِوَاكٍ.

Dua rakaat dengan bersiwak itu lebih utama daripada tujuh puluh rakaat tanpa bersiwak.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dari Haditsnya Ḥumaidī dengan isnād yang semua rawinya dianggap dapat dipercaya.

Bersiwak ketika hendak bangun bershalat sangat dituntut, walaupun bau mulutnya tidak berubah.

Sunnat bersiwak ini, tidak dibedakan antara shalat fardhu dan shalat sunnat. Bahkan andaikata orang tersebut melakukan shalat yang mempunyai beberapa salam, seperti shalat Dhuḥā, shalat Tarāwiḥ dan shalat Tahajjud, dia di-sunnat-kan bersiwak tiap-tiap dua rakaatnya. Demikian juga ketika shalat Janāzah dan shalat untuk Thawāf.

Juga tidak ada perbedaannya antara shalat yang bermula dengan berwudhū’ atau dengan bertayammum atau sewaktu tidak adanya kedua perkara yang boleh untuk dijadikan bersuci tersebut. Juga dikukuhkan ke-sunnat-annya bersiwak ketika hendak berwudhū’ walaupun bukan untuk shalat. An-Nasā’ī meriwayatkan sebuah Hadits yang bunyinya begini:

لَوْ لَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ.

Kalau saja aku tidak khawatir memberatkan umatku, tentu sudah kuperintahkan mereka supaya besiwak tiap-tiap hendak berwudhū’.

Ibnu Khuzaimah menganggap riwayat Hadits ini shaḥīḥ, tetapi Imām Bukhārī meriwayatkan Hadits ini secara Ta‘līq.

Bersiwak juga di-sunnat-kan ketika hendak membaca al-Qur’ān. Dan ketika gigi menguning, walaupun bau mulut tidak berubah. Perlu diketahui, bahwa bersiwak berhasil dengan memakai sobekan kain dan segala sesuatu yang kasar dan dapat menghilangkan (bau mulut). Yang lebih utama yaitu menggunakan kayu. Kayu yang lebih utam yaitu kayu Arak. Dan yang lebih utama lagi yaitu menggunakan yang kering lalu dibasahi dengan air.

Di-sunnat-kan mencuci (alat) siwak jika hendak digunakan untuk bersiwak lagi. Andaikata ada seseorang yang hendak bersiwak dengan jari orang lain, sedangkan jari itu kasar, dianggap cukup (memadai), tanpa ada khilāf. Demikian kata Imām Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab. Jika ia menggunakan jarinya sendiri, terdapat khilāf. Qaul yang rājiḥ yang disebut di dalam kitab ar-Raudhah, tidak cukup. Qaul yang rājiḥ yang disebut di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab, mencukupi. Anggapan cukup (memadai) ini, telah dipastikan oleh al-Qādhī Ḥusain, al-Muḥāmilī, al-Baghawī dan Syaikh Abū Ḥāmid. Dan dipilih oleh ar-Ruyānī di dalam kitab al-Baḥr-ul-Muḥīth.

Tidak mengapa, andaikata orang tersebut bersiwak dengan menggunakan siwak milik orang lain dengan seizinnya. Dan di-sunnat-kan bersiwak dengan menggunakan tangan kanan dan memulai dari mulut bagian kanan pula. Dan di-sunnat-kan lagi, menggerak-gerakkan siwak pada atap tenggorokan dengan perlahan-perlahan dan pada wadah gigi geraham. Bersiwak juga di-sunnat-kan ketika hendak masuk rumah dan ketika hendak tidur. Wallāhu a‘lam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *