Abus-Samḥ r.a. berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesuatu yang terkena air kencing belita perempuan, hendaknya dicuci. Dan diperciki air karena air kecing anak lelaki.”
(HR. Abū Dāūd dan an-Nasā’ī). Menurut al-Ḥākim, hadits tersebut adalah shaḥīḥ.
Sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. yang bijaksana melihat kita sering membawa anak-anak lelaki dan belas kasih kepada mereka, lalu beliau memperingan kenajisan air kencing mereka dengan syarat bayi tersebut belum mencapai umur dua tahun dan belum makan sesuatu kecuali air susu. Beliau menjadikan cara membersihkan dengan diperciki air. Beliau memperberat kenajisan air kencing bayi wanita sehingga cara membersihkannya harus dibasuh dengan air. Untuk najis selain air kencing, cara membersihkannya adalah sama.
(الْجَارِيَةُ) : Bayi perempuan ketika dilahirkan.
(يُرَشُّ) : Diperciki air sekalipun tidak mengalir.
(الْغُلَامُ) : Bayi yang belum makan kecuali air susu.
Perbedaan air kencing bayi lelaki dan perempuan dalam hukumnya sebelum mereka makan sesuatu. Tapi keduanya tetap najis. Untuk membersihkan air kencing bayi lelaki cukup diperciki air tanpa mengalir karena kemurahan dari Rasūl sendiri.
Untuk bayi perempuan, tidak cukup dengan memerciki air, tapi harus dibasuh dengan air. Hikmah hal itu, ada yang mengatakan ta‘abbudiyyah yakni sekedar ibadah belaka dan taat kepada Rasūl. Ada yang mengatakan karena kebanyakan orang senang mengemban anak lelaki sehingga air kencingnya diperingan hukumnya. Ada pada yang mengatakan, sebab air kencing bayi lelaki lebih encer.
Dalam hal tersebut, ulama mempunyai beberapa pendapat. Imām Aḥmad dan Syāfi‘ī berpendapat bahwa kemurahan dari Rasūl tentang air kencing bayi lelaki sebelum makan sesuatu. Abū Ḥanīfah dan pendapat yang masyhur dari Imām Mālik menyatakan dua macam air kencing tersebut adalah sama. Jadi, harus dibasuh seluruhnya.
Abus-Samḥ, namanya adalah Ayyād, budak yang dimerdekakan oleh Nabi s.a.w. Dia adalah sahabat beliau dan meriwayatkan dua belas hadits, di mana Tuan Maham bin Khalīfah yang menyampaikan riwayat darinya.
Asmā’ putri Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. berkata: “Sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. berkata tentang darah haidh yang berada di pakaian. Beliau bersabda: “Engkau garuk, lalu engkau gosok dengan air, lalu kamu cuci dengan air, lantas bikinlah salat.”
(Muttafaq ‘alaih).
Mengikuti ajaran langit dan Islam adalah keharusan bagi Umat. Sungguh Rasūlullāh s.a.w. telah menganjurkan kita untuk bersih dan memerintahkan agar mencuci apa yang jatuh kepada pakaian daripada beberapa najis dan menjadikan Ibu Ḥawā’ karena durhaknya terhadap perintah Allah Yang menciptakannya agar dia hamil dalam keadaan terpaksa dan melahirkan pun demikian. Alalh menjadikannya mengeluarkan darah pada tiap bulan dua kali.
Oleh karena itu, Ibu Ḥawā mengeluarkan darah haidh. Malaikat berkata kepadanya: “Kamu harus mengeluarkan darah haidh, begitu juga keturunanmu yang perempuan.” Lantas darah haidh tersebut menjadi pengadatan darah yang dikeluarkan oleh mereka. Terkadang pakaian wanita yang haidh kepercikan darah, lalu Rasūlullāh s.a.w. memerintahnya agar menggosok, menggaruknya dan mencucinya dengan air sehingga tiga sifatnya hilang.
(الْحَيْضُ) : Menurut arti bahasa, haidh adalah mengalir. Menurut syara‘, haidh adalah darah kebiasaan tabiat wanita karena rahim yang mengkerut pada waktu-waktu tertentu.
(تَحُتُّهُ) : Engkau menggaruknya, maksudnya hendaklah engkau menghilangkan darahnya.
(تَقْرُصُهُ) : Asal arti kalimat tersebut menggosoknya dengan ujung jari-jari agar darah itu pudar dan air yang terpendam dalam kain keluar.
(تَنْضَحُهُ) : Kamu cuci kain itu dengan air. Sebab dalam hadits lain tidak menggunakan lafal tersebut tapi menggunakan lafal ghuslun (mencuci).
Dan akan disebut dalam hadits berikutnya.
Asmā’ putri Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. seorang wanita yang berhijrah. Ia termasuk tokoh di kalangan sahabat. Ia meriwayatkan hadits sebanyak 56 buah. Dua anaknya ‘Abdullāh bin Zubair, ‘Urwah bin Zubair. Ibnu ‘Abbās budak yang dimerdekakan oleh kedua anaknya ‘Abdullāh bin Kīsān dan beberapa orang lagi yang meriwayatkan hadits daripadanya. Ia dijuliki Dzāt-un-nithāqain.
Asmā’ masuk Islam setelah tujuh belas orang. Ia meninggal dunia di Makkah, tahun 73 H. Satupun giginya tidak ada yang jatuh terlepas, otaknya masih normal. Dan sungguh dia telah menjadi tuna netra. Ia termasuk wanita yang berhijrah yang paling terakhir meninggalnya.
Abū Hurairah r.a. berkata: Khaulah berkata: “Wahai Rasūlullāh! Bila darahnya tidak bisa hilang?” Rasūl menjawab: “Cukup air untukmu dan bekasnya tidak berbahaya padamu.”
Manusia berdiri di muka Tuhannya dengan tubuh yang suci, maka dia wajib berpakaian yang suci pula. Bila salah satu najis seperti darah jatuh ke salah satu pakaiannya, maka harus dihilangkan dengan sekuat tenaganya. Bila sulit dihilangkan warna najis yang di pakaian itu, maka akan diampuni baginya. (Seseorang tidak akan berbuat dengan keras terhadap agama kecuali dia akan terkalahkan, ia tidak mampu melakukannya).
Inilah termasuk salah satu kemurahan agama Islam dan kemudahan hukum-hukumnya.
(أَثَرُهُ) : Warnanya.
(سَنَدُهُ ضَعِيْفٌ) : Sebab hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Lahī‘ah, dan ia lemah.
Khaulah adalah Khaulah putri Yasar r.a.
Hadist-hadits yang tercantum dalam bab ini adalah menyimpulkan sebagai berikut:
Khamer, daging keledai piaran, air mani, air kencing bayi lelaki maupun perempuan dan darah haidh adalah najis.
الْفَرْكُ، الْحَكُّ، الْجَارِيَةُ، الْغُلَامُ، تَقْرُصُهُ، النَّضَحُ.