BAB III
Anas bin Mālik r.a. berkata: “Rasūlullāh s.a.w. ditanya tentang khamer yang dijadikan cuka?”, lantas Rasūl bersabda: “Jangan””
(HR. Muslim, dan Tirmidzī, lalu beliau berkata dalam hadits tersebut adalah Ḥasan Shaḥīḥ).
Rasūlullāh s.a.w. bersabda dengan beberapa jumlah kalimat yang telah dicatat sejarah. Seluruhnya merupakan nasihat yang baik dan teladan. Beliau ditanya tentang khamer yang dijadikan cuka, lantas beliau menjawab bahwa hal itu tidak diperkenankan. Dan beberapa imam telah menta‘wil hadits di atas. Masing-masing menurut pendapatnya. Dan kamu akan melihatnya dengan jelas dalam kesimpulan hadits.
(إِزَالَةُ النَّجَاسَةِ) : Menghilangkan najis termasuk kewajiban syara‘ menurut arti bahasanya, ia adalah kotoran. Menurut pengertian syara‘, najis ialah sesuatu yang kotor yang membikin salat tidak sah sekiranya tidak terdapat kemurahan.
(الْخَمْرُ) : Khamer, lafal al-Khamru adalah mu’annats. Terkadang menggunakan tā’ marbūthah di akhirnya. Para ulama berbeda pendapat tentang pengertiannya yang sejati. Namun menurut kebanyakan mereka, khamer adalah nama setiap yang memabukkan.
(حَسَنٌ صَحِيْحٌ) : Ḥasan Shaḥīḥ. Dua sifat yang berlainan membikin musykil bila dikumpulkan. Sebab Ḥasan lebih rendah daripada derajat Shaḥīḥ. Dikumpulkan antara dua sifat tersebut maka pengertian masing-masing jadi baur. Jawabnya mesti ada kalimat yang dibuang yaitu “atau”. Jadi artinya hadits tersebut Ḥasan atau Shaḥīḥ. Hal sedemikian ini sering terjadi di dalam perkataan bangsa ‘Arab. Sebabnya orang yang mengutip perkataan masih ragu. Sebagian mereka berkata bahwa hadits tersebut Shaḥīḥ. Sebagian lagi berkata bahwa hadits tersebut adalah Ḥasan. Sebagian lagi ada yang berpedoman kepada sanad hadits yang banyak. Jadi dikatakan “Ḥasan Shaḥīḥ” itu lebih tinggi nilainya daripada Shaḥīḥ saja. Sebab banyak jalur perawian hadits bisa saling menguatkan. Dan ini hanyalah istilah Imām Tirmidzī.
Dari dia (Anas bin Mālik) r.a.: “Pada hari perang Khaibar, Rasūlullāh s.a.w. memerintah kepada Abū Thalḥah, lalu dia mengumumkan: “Sesungguhnya Allah dan Rasūl-Nya telah melarangmu untuk makan daging keledai piaraan. Sesungguhnya ia adalah najis.”
(Muttafaq ‘alaih).
Taat kepada Rasūlullāh s.a.w. adalah wajib dengan nas al-Qur’ān yang terang. Perhatian Rasūlullāh s.a.w. untuk mengembangkan dakwah dengan cepat sekali seperti ether. Beliau menyuruh seorang yang mengumumkan kepada manusia terhadap apa yang harus diikuti dan apa yang haram diperoleh seperti daging keledai piaraan. Sebab ia telah dikatakan najis.
Pada saat itu, kaum muslimin mendengar seruan itu, mereka cepat mengabulkannya, lantas mereka menumpahkan belanga yang sedang dibuat memasak daging keledai. Mereka mencucinya dan hampir saja masak. Karena taat kepada Allah dan Rasūl-Nya dan apa yang disiapkan Allah kepada mereka daripada pahala di surga ‘Adn.
(وَ عَنْهُ) : Dari Anas.
(خَيْبَرَ) : Hari perang Khaibar yang terjadi pada tahun ketujuh hijriyah. Khaibar adalah kota sekitar delapan pos dari kota Madinah bagi orang yang hendak pergi ke Syam. Lafal Khaibar adalah bahasa Yahudi. Artinya benteng.
(أَبُوْ طَلْحَةَ) : Zaid bin Sahl bin al-Aswad bin Ḥaram bin Amar an-Najjārī al-Madanī. Dia pernah ikut perang Badar dan beberapa peperangan yang lain. Dia membunuh dua puluh orang dalam perang Hunain.
Di perang Uhud, beliau mendapat sedikit cobaan, dia termasuk tokoh sahabat. Dia meriwayatkan 92 hadits. Anaknya dan Anas dan beberapa orang telah meriwayatkan hadits daripadanya. Setelah Nabi meninggal dunia, beliau hidup empat puluh tahun lagi. Beliau tidak pernah berbuka kecuali pada hari Adhḥā dan ‘Īd-ul-Fithri. Beliau tidak pernah berpuasa pada saat Nabi masih hidup karena beliau sibuk dengan peperangan.
(يَنْهَاكُمْ) : Dengan menggunakan kalimat mufrad sebab dianggap sudah cukup begitu. Menurut riwayat lain menggunakan kalimat (يَنْهَيَانِكُمْ) sesuai dengan asalnya.
(الْحُمُرُ) : Jama‘ lafal al-Ḥimār (الْحِمَارُ). Dan berkali-kali keharaman keledai dihapus, namun pada akhirnya tetap diharamkan sebagaimana berkali-kali qiblat di-mansūkh. Begitu juga nikah mut‘ah dan berwudhu’ setelah menyentuh barang yang dimasak atau dipanggang dengan api. Imām Suyūthī berkata:
Perkara tempat berkali-kali di-mansūkh. Beberapa ayat dan hadits yang menjelaskannya, yaitu qiblat, nikah mut‘ah, keledai begitu juga berwudhu’ karena menyentuh barang yang dipanggang atau dimasak dengan api.
(رِجْسٌ) : Najis dan pengertian inilah yang sesuai dengan hadits di atas yang dicantumkan dalam bab ini.
‘Amr bin Khārijah r.a. berkata: “Rasūlullāh s.a.w. menyampaikan khutbah di muka kami di Minā? Beliau sedang naik di atas kendaraan, lantas air liurnya mengalir di belikatku.”
(HR. Aḥmad bin Tirmidzī. Menurut Imām Tirmidzī, hadits tersebut adalah shaḥīḥ).
Bagi seorang yang berkhutbah hendaklah menjelaskan kepada orang banyak apa yang memperbaiki agama dan dunia mereka. Dan hendaklah Khutbahnya sesuai dengan keadaan dan waktu. Maka khutbah haji hendaknya dijelaskan di muka mereka apa yang berkenaan dengan ibadah haji berupa hukum halal dan haram sebagaimana dilakukan oleh Rasūlullāh s.a.w. dalam khutbahnya di Minā. Beliau menjelaskan hukum haji.
Rasūlullāh s.a.w. melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa air liur untanya mengalir kepada salah satu sahabatnya, lantas beliau tidak ingkar kepadanya, dan tidak memerintahnya untuk menjauh. Hal ini menetapkan bawah air liur binatang yang boleh dimakan dagingnya adalah suci.
(مِنَى) : Lembah yang dikenal orang. Tempat tersebut diberi nama Minā karena binatang yang ditumpahkan di sana amat banyak pada hari ‘Īd-ul-Adhḥā.
(رَاحِلَتُهُ) : Unta yang layak ditunggangi.
(لُعَابُهَا) : Air liur yang mengalir dari mulut.
‘Amr bin Khārijah al-Muntafiq adalah sahabat Nabi s.a.w. yang hafal beberapa hadits ‘Abd-ur-Raḥmān bin Ghunmin meriwayatkan hadits darinya.
‘Ā’isyah r.a. berkata: “Rasūlullāh s.a.w. mencuci air mani, lalu keluar untuk melakukan shalat dengan baju itu dan aku melihat bekas cuciannya.”
(Muttafaq ‘alaih).
Menurut riwayat Muslim: “Sungguh aku menggaruk air mani di pakaian Rasūlullāh s.a.w., lalu beliau salat dengannya.”
Sebagian lafal hadits sebagai berikut: “Sungguh aku menggaruk air mani kering di pakaian beliau dengan kukuku.”
Allah telah memuliakan dan mengutamakan manusia di atas seluruh hewan dengan kesucian dan kemuliaan asalnya. Umm-ul-Mu’minīn ‘Ā’isyah r.a. telah memberitahukan bahwa beliau pernah menggaruk air mani dengan kukunya di pakaian Rasūlullāh s.a.w.
(الْمَنِيُّ) : Mani seseorang lelaki adalah putih kental yang memancar waktu keluarnya sedikit demi sedikit dengan syahwat. Bila air maninya keluar, maka dia akan lemas. Sedang baunya seperti mayang kurma (mirip dengan bau adonan).
(أَفْرُكُهُ) : Aku menggaruknya sehingga terpisah-pisah air maninya dan bekasnya hilang.
(فَرْكًا) : Mashdar ta’kīdī taqrīrī.
(أَحُكُّهُ) : Aku menggaruknya sehingga terpisah-pisah, dan bekasnya hilang.
Membersihkan air mani bila masih basah maka dibasuh dengan air. Tapi bila sudah kering, cukup digaruk. Ada beberapa pendapat para imam dalam masalah tersebut sebagai berikut: Imām Abū Ḥanīfah, ulama-ulama yang mengikutinya, Imām Mālik dan sebagian riwayat dari pendapat Imām Aḥmad menyatakan bahwa air mani adalah najis. Mereka berpedoman dengan hadits-hadits yang menyatakan air mani dicuci. Begitu juga hadits ‘Ammār yang menyatakan: “Sesungguhnya engkau mencuci pakaianmu bila tersentuh tahi, air, kencing, air mani, darah dan muntah.”
Para ulama tersebut juga mengkiaskannya pula kepada seluruh kotoran yang sudah bercampur dengan makanan di perut lalu dikeluarkan dari tubuh. Dan ada alasan lagi yaitu setiap sesuatu yang mengharuskan wudhu’ adalah najis, termasuk air mani. Di samping dikenakan, air mani itu keluar dengan melewati jalan air kencing.
Oleh karena itu, Imām Mālik menta’wil hadits yang menerangkan menggaruk air mani dengan dicampur air. Sedang ‘Ā’isyah menggaruk pakaian Rasūl, barangkali Rasūl tidak mengetahuinya. Atau air mani Rasūl adalah suci dan itu termasuk suatu keistimewaan beliau.
Menurut pendapat Imām Abū Ḥanīfah bahwa bila air mani basah, harus dicuci dengan air. Tapi bila kering, cukup digaruk sehingga bisa menjalankan dua hadits di atas. Begitulah caranya bila sandal yang najis.
Menurut pendapat Syāfi‘ī, beberapa ahli hadits dan Imām Aḥmad dalam riwayat yang paling shaḥīḥ darinya menyatakan bahwa air mani adalah suci. Mereka berpedoman dengan hadits Ibnu ‘Abbās bahwa Rasūlullāh s.a.w. ditanya tentang air mani di baju, lalu beliau menjawab: “Sesungguhnya ia sebagaimana ingus, ludah. Sesungguhnya engkau cukup mengusapnya dengan kain atau idhir.” (HR. Dāruquthnī dan al-Baihaqī).
Dalam hadits di atas, Rasūlullāh menyamakan air mani dengan ludah sebagai tanda kesuciannya. Perintah mengusapnya dengan kain atau Idhir untuk menghilangkan sesuatu yang tidak disukai bila dibiarkan dalam pakaian salat.
‘Ā’isyah putri Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. yang telah dibersihkan dari tuduhan perzinaan dengan nas ayat al-Qur’ān yang jelas – Umm-ul-Mu’minīn. Rasūlullāh s.a.w. tidak pernah kawin dengan seorang gadis kecuali dengan ‘Ā’isyah. Dialah sebagai kekasih Rasūl dan ahli fiqih. Beliau meriwayatkan hadits sebanyak 2210 hadits. Beliau berpuasa terus-menerus. Hisyām bin ‘Urwah berkata bahwa ‘Ā’isyah meninggal dunia pada tahun 57 H. Dan dimakamkan di Baqi‘.