002 Tauhid-ul-Asma’ – Permata Yang Indah

الدر النفيس
للشيخ محمد نفيس ابن إدريس البنجاري

PERMATA YANG INDAH
TITIAN SUFI MENUJU TAUḤĪDULLĀH
Oleh: Syekh Muhammad Nafīs Ibnu Idrīs Al-Banjārī

هو

PASAL DUA

TAUḤĪD AL-ASMᾹ’

 

Tauḥīd al-Asmā’ adalah pengesaan Allah s.w.t. atas segala nama. Bagaimana caranya agar anda mengesakan Nama Allah? Yaitu, bahwa pandanglah dengan mata kepala anda dan saksi (syuhūd)-kanlah dengan mata hati anda bahwa segala nama atau asma’ pada dasarnya kembali kepada Allah s.w.t. Yakinkanlah di dalam diri anda bahwa segala sesuatu yang bernama di alam ini tidak lain merupakan penampakan (mazhhar) dari Nama-Nya yang menuntut akan wujud yang dinamai (musammā). Sesungguhnya, tidak ada yang maujud di alam ini kecuali hanya Wujud Allah s.w.t. sedangkan wujud segala sesuatu selain-Nya di alam ini adalah wujud-wujud fantasi (khayālī). Oleh sebab itu, segala nama pada dasarnya hanya pantas dinisbatkan, dan kembali, kepada Yang Maujud, yaitu Allah s.w.t. Wujud Allah berdiri (qā’im) di atas segala asma’. Wujud Allah itu tampak (zhāhir) dalam Keesaan-Nya, dan termanifestasikan melalui segala sesuatu. Segala sesuatu adalah penampakan dari Zat Yang Esa. Allah, Yang tampak dalam segala sesuatu itu, adalah Esa dan tidak menerima ittiḥād ataupun ḥulūl. Mahatinggi Allah dari yang demikian itu! Mahatinggi Allah dari paham-paham yang dibuat sendiri oleh sebagian dari kalangan Sufi yang memiliki pemahaman seperti itu.

Allah sebagai Mahasuci dan Mahatinggi adalah seperti Sesuatu Yang Menyalakan. Yaitu, ibarat sebuah kaca yang dipenuhi dengan warna; sebagian berwarna merah, sebagiannya berwarna kuning, dan sebagiannya oleh cahaya yang terang-benderang dari matahari yang menyinari bumi. Dari sinar matahari ini juga, anda dapat menyaksikan dari daratan bumi betapa indahnya purnama setelah matahari memancarkan cahayanya ke bulan. Jadi, anda menyaksikan pada kaca dan bulan itu ada cahaya, padahal cahaya matahari tidaklah berpindah atau berpisah sama sekali dari zat matahari. Ia hanya memberi sinar untuk menerangi. Matahari, meskipun hanya satu, tetapi mampu memberi sinar kepada banyak hal. Ini merupakan realitas atau kenyataan yang tidak bisa dibantah. Maka, renungkanlah perumpamaan ini dengan pikiran yang jernih! Mudah-mudahan dengan perumpamaan seperti ini, Allah s.w.t. akan memberikan petunjuk kepada anda, sehingga anda benar-benar dapat memahami.

Kemudian, wahai segenap saudaraku yang bijak! Jikalau anda telah berhasil mencapai Maqam Tauḥīd al-Asmā’ ini, maka tajallī (penyingkapan rahasia-Diri) al-Ḥaqq patut anda peroleh. Anda dapat menembus dinding penampakan-Nya, yang menunjukkan pada dua nama (Nama Allah dan nama penampakan-Nya). Penembusan ini menunjukkan pada anda bahwa kedua nama tersebut pada dasarnya membimbing anda untuk mengungkap Samudera Aḥadiyyah Allah.

Menurut Syaikhunā al-‘Ᾱlim al-‘Allāmah n.m. Maulānā Syaikh ‘Abd Allāh Ibn Ḥijāzī asy-Syarqawī al-Misrī R.I. di dalam Syarḥ Ward as-Saḥr:

“Jika tajallī Allah dengan Asmā’-Nya terjadi dengan seseorang, dan seseorang itu tetap berdiri secara istiqāmah dengan keyakinannya, maka ia bukanlah berada dalam wujud kesendiriannya. Seseorang yang seperti ini kerapkali tidak mampu lagi membedakan mana wujudnya sendiri dan mana Wujūd al-Ḥaqq.”

Seorang yang seperti ini pada dasarnya hanyalah makhluk Allah, yang menunjukkan penampakan-Nya. Allah adalah tempat realitasnya. Dan Allah adalah hakikat dari dirinya di mana pun ia berada. Allah Yang Mahatinggi berfirman dalam al-Qur’ān:

فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ

Maka ke mana pun kamu menghadap di situlah Wajah Allah.” (al-Baqarah [2]: 115).

Maknanya adalah di mana saja pun anda berada, niscaya di sana ada Wujud Allah; di mana pun anda menghadapkan wajah dan hati, atau bahkan ruh dan akal, maka di sana pulalah Wujud Allah berada.

Manakala proses tajallī al-Ḥaqq sedang berlabuh dalam diri dan hati seseorang, maka kerap disaksikan pemandangan yang mungkin terkesan aneh. Kadang-kadang dari lidah seorang hamba keluar kata-kata yang tidak sesuai dengan syari‘ah, maka itulah yang merupakan bahaya dari musyāhadah. Orang-orang yang sedang berada dalam “mabuk Allah” (ekstasi) tersebut tidak menyaksikan lagi wujud alam (akwān) ini sebab di mata dan hatinya hanya ada Wujud Allah s.w.t Syaikh ‘Abd al-Karīm al-Jīlī q.s. melukiskan hal ini:

“Jika seorang hamba sudah memandang Wujud Tuhannya, maka ia akan terdindingi untuk memandang makhluk. Sebab, tidak ada wujud yang disaksikan kecuali hanya Wujud Allah.”

Kita bisa menyaksikan al-Ḥallāj, misalnya, yang dengan mabuk dan kehilangan kesadarannya, merupakan contoh personal dari pernyataan dimaksud. Namun, orang-orang berpendapat lain mengenai fenomena seperti al-Ḥallāj ini. Mereka mengatakan bahwa perkataan orang yang mabuk tidak boleh dipercayai. Padahal, Sulṭān al-Auliyā’ Maulānā Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī q.s. menegaskan bahwa:

“Sekiranya al-Ḥallāj itu berada di masaku, niscaya akan aku selamatkan dia dengan tanganku, kemudian aku mencegah orang-orang untuk membunuhnya.”

Terdapat dua metode yang biasanya dilalui oleh para “pemabuk Allah” dalam upaya menuju penyaksian-Nya. Kedua metode ini pada dasarnya mirip-mirip dengan Asmā’ Allah, yaitu: Pertama, Jāmi‘ (yang menghimpun), yaitu yang menghimpun segala penampakan, yakni syuhūd al-kaṡrah fi al-waḥdah (menyaksikan yang banyak dalam yang satu). Menyaksikan realitas yang banyak dari alam ini ke dalam satu Zat Allah s.w.t. Kedua, Māni‘ (yang menghalangi). Maksudnya adalah sesuatu yang menghalangi atau menutupi Zat Allah dari segenap penampakannya. Konteks ini disebut dalam idiom syuhūd al-waḥdah fi al-kaṡrah, yaitu menyaksikan Yang Satu di dalam yang banyak. Ia merupakan kebalikan dari yang pertama. Jadi, jika yang pertama mengandaikan realitas yang banyan ini disaksikan dalam Wujud Yang Esa, maka yang kedua meniscayakan Yang Esa disaksikan di dalam realitas-realitas penampakan-Nya. Dalam hal ini, semakin jelaslah bahwa sumber dari realitas semesta tidak lain berasal dari Wujūd al-Ḥaqq Yang Esa.

Pemaparan kedua idiom nama tersebut akan memperkuat argumentasi yang dibangun dalam rangka menegaskan bahwa sekalian alam semesta pada dasarnya terhimpun kepada Allah s.w.t. Hal ini juga semakin memperkokoh anggapan bahwa segenap permulaan berasal dari Allah dan segenap kesudahannya pun kembali kepadanya, sebagaimana firman-Nya:

وَ للهِ الْأَمْرُ وَ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

Dan kepunyaan Allah segala urusan dan kepada-Nyalah kamu semua akan dikembalikan.

Andaikata anda memandang bahwa kemuliaan yang tampak pada hamba berasal dari Allah, maka pandangan itu tidak lain adalah pengejawantahan dari penampakan Nama al-Karīm (Mahamulia) Allah. Demikian juga, bila anda menyaksikan seorang yang sangat sabar dari penyakit yang dideritanya, lalu anda ber-musyāhadah dan kemudian menyadarinya bahwa yang sabar itu bersumber dari Allah, maka kesabaran hamba tersebut adalah penampakan dari Nama aṣ-Ṣabūr (Mahasabar)-Nya. Al-Karīm dan aṣ-Ṣabūr adalah dua di antara sekian banyak Asmā’ Allah. Sama dengan kedua Asmā’-Nya ini, Nama-nama lainnya juga dapat memanifestasi dalam wujud para hamba melalui perbuatan-perbuatan mereka yang dinamai. Begitulah kiranya cara memandang dan menyaksikan penampakan Asmā’ Allah s.w.t. pada setiap wujud yang bernama.

Di antara kalangan ‘ārif, ada yang berpendapat bahwa Allah s.w.t. tidak mempunyai Sifat yang berdiri-sendiri, dan juga tidak ada penambahan Sifat sebagaimana yang tampak dalam segala sifat maknawi. Bagi Allah, menurut kalangan ini, hanya memiliki Asmā’. Golongan ini melandaskan pendapatnya dari dua dalil:

Pertama, dalil Naqli, yaitu al-Qur’ān dan Ḥadīts. Menurut mereka, tidak ada pernyataan di dalam al-Qur’ān dan Ḥadīts yang menerangkan bahwa Allah s.w.t. memiliki Sifat-sifat. al-Qur’ān dan Ḥadīts hanya memberikan informasi bahwa Allah s.w.t. hanya memiliki Asmā’. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

وَ للهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا

Dan bagi Allah itu beberapa Nama yang baik (al-Asmā’ al-Ḥusnā) maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Nama-nama itu.” (al-A‘rāf [7]: 180).

Rasūlullāh s.a.w. sendiri menyiratkan hal ini dalam sabdanya:

وَ إِنَّمَا تَدْعُوْنَ مَنْ هُوَ سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ مُتَكَلِّمٌ وَ هُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ.

Sesungguhnya yang kalian seru itu adalah Tuhan Yang Mendengar, Melihat, Berkata-kata, dan Dia bersama kalian di mana pun kalian berada.

Kedua, dalil aqli, yakni akal. Kalangan ‘ārif tersebut berpandangan bahwa sesungguhannya andaikata Allah mempunyai Sifat, maka pastilah Dia Tidak Dikenal (Majhūl), sebab tidak ada satu pun dari segala yang memiliki sifat itu melainkan sesuatu yang majhul. Allah, menurut mereka, adalah Tuhan Yang Maha Makrifat di antara segala makrifat (pengetahuan). Ia Maha Diketahui di antara segala yang kita ketahui. Allah tidak memerlukan Sifat-sifat yang bertujuan supaya makhluk mengenal-Nya. Mahasuci Allah dari bersifat! Jadi: “Bagaimana mungkin kita akan menisbatkan Allah dengan Sifat-sifat tertentu, sementara Nash al-Qur’ān dan Ḥadīts saja tidak mengakui hal itu?”

Demikianlah beberapa catatan tentang Tauḥīd al-Asmā’. Maqam ini merupakan maqam tahap kedua dari maqam-maqam kaum ‘ārif, kaum penempuh laku hidup spiritual (sālik), dan orang-orang selain mereka seperti kalangan majdzūb (kalangan yang tiba-tiba diraih Allah). Maqam Tauḥīd al-Asmā’ merupakan natijah atau faedah dan buah hasil dari maqam pertama (Tauḥīd al-Af‘āl). Maqam Tauḥīd al-Asmā’ inilah yang akan menyampaikan anda menuju maqam selanjutnya, yaitu Maqam Tauḥīd aṣ-Ṣifat, maqam yang ketiga dari maqam-maqam kalangan ‘ārif.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *