Situasi dan Kondisi Zamannya.
Tidak berbeda dengan situasi zaman yang dihadapi ayahandanya, Imām ‘Alī Zainul ‘Ābidīn r.a. dan saudaranya, Imām Zaid bin ‘Alī Zainul ‘Ābidīn r.a.; Imām Muḥammad al-Bāqir r.a. juga menghadapi tekanan situasi yang amat berat dirasakan oleh setiap anggota keluarga keturunan Ahlul-Bait dan oleh setiap Muslim yang jujur pada umumnya. Bersama ayah dan saudaranya ia menghadapi kekuasaan sewenang-wenang Bani Umayyah. Dengan kemantapan iman yang diwarisi dari para sesepuhnya dan dengan kebulatan hati ia bersama keluargnya turut berusaha keras memperbaiki keadaan untuk memulihkan kembali kebenaran, keadilan dan kemerdekaan serta mempertahankan nilai-nalai luhur yang telah ditetapkan agama Allah dan Rasul-Nya. Pada masa itu para penguasa Bani Umayyah sudah terlampau jauh bergelimang di dalam nafsu keduniawian sehingga tak segan-segan meremehkan nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip ajaran Islam yang telah dibangun oleh Rasul Allah s.a.w. selama lebih dari 20 tahun. Para penguasa Bani Umayyah tanpa tedeng aling-aling menempuh cara hidup yang sama sekali menyimpang dari batas-batas yang telah ditetapkan oleh syari‘at Islam. Tidak hanya di dalam kehidupan mereka sehari-hari bersama keluarga dan para penghuni istana “kekhalifahan” saja, tetapi bahkan membiasakan para pegawai dan para penguasa bawahannya hidup meniru-niru atasannya yang berkerumun di sekitar istana Damaskus. Kehidupan raja-raja dan pangeran-pangeran Persia dan Rumawi yang mereka cela dan mereka musuhi, ternyata mereka tiru dan mereka ikuti. Keadaannya sudah terlampau jauh dibanding dengan keadaan pada zaman hidupnya Rasul Allah s.a.w. dan zaman para Khalīfah Rāsyidūn. Para penguasa Bani Umayyah sungguh menemukan impian sesepuh mereka, Abū Sufyān bin Ḥarb, ketika ia memeluk Islam setelah jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum Muslimin. Kepemimpinan Abu Sufyan atas orang-orang Quraisy memang telah hancur dengan jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum Muslimin, tetapi dengan jatuhnya kekhalifahan ummat Islam ke tangan Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān, orang-orang Bani Umayyah bukan hanya menguasai semua orang Quraisy saja, melainkan menguasai juga seluruh kaum Muslimin.
Orang-orang Bani Umayyah tampaknya berpegang kepada semboyan: “Rakyat harus mengikuti raja-rajanya”. Untuk mewujudkan semboyan itu dalam kenyataan, mereka memperkokoh kedudukan dan kekuasaannya dengan cara-cara yang bertentangan dengan hatinurani manusia. Kekejaman, kezhaliman, pengejaran, pembunuhan dan penghamburan harta kekayaan ummat dilakukan sekehendak hati mereka sendiri, demi kelestarian kekuasaan dan kesenangan serta kenikmatan hidupnya. Kaum Muslimin yang jujur kepada agamanya dan yang patuh melaksanakan Sunnah Rasul-nya menjadi bulan-bulanan (orang yang mudah dijadikan korban) dan sasaran, terutama mereka yang mencintai dan mendukung Ahlul-Bait Rasul Allah s.a.w.
Akan tetapi jalan sejarah yang hendak disulap oleh para penguasa Bani Umayyah itu cukup memberi pelajaran yang sangat baik bagi kaum Muslimin tentang siapakah sebenarnya yang patut memimpin kehidupan ummat Islam. Dalam keadaan yang serba gelap tidak menentu itu ummat Islam seolah-olah dijadikan alas kekuasaan Bani Umayyah. Namun Imām Muḥammad al-Bāqir r.a. tidak membiarkan sejarah berjalan menurut kemauan para penguasa Bani Umayyah. Dengan bekerja keras ia memberi pengertian kepada ummat tentang kezhaliman dan penyimpangan yang dilakukan oleh para penguasa dari ajaran Islam yang semestinya. Ia lebih keras lagi bekerja dan berjuang pada masa kekuasaan al-Ḥajjāj bin Yūsuf, seorang penguasa yang kebengisan dan kekejamannya sangat terkenal dalam sejarah Islam. Mengenai penguasa yang bengis ini, Khalīfah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azīz r.a. (seorang Khalīfah Bani Umayyah satu-satunya yang hidup zuhud, jujur dan adil) mengatakan sebagai berikut: “Seandainya semua bangsa di dunia mengerahkan jin dan setannya masing-masing untuk menghadapi kita, kemudian kepada mereka kita hadapkan al-Ḥajjāj, tentu kitalah yang akan menang.”
Memang benar, bahwa Imām Muḥammad al-Bāqir r.a. dalam perjuangannya melawan kebatilan tidak menempuh cara yang ditempuh oleh saudaranya, Imām Zaid r.a., tetapi hakekat dan tujuannya adalah satu dan sama, yaitu membela keselamatan ummat dan menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Kisah sejarah tentang pembantaian datuknya di Karbala yang didengarnya sejak masih kanak-kanak, praktek pengejaran dan penindasan yang dilihatnya sehari-hari di masa remaja hingga dewasa, dan pendidikan yang diterimanya dari ayahandanya, semuanya itu membuatnya “matang” berfikir untuk dapat memberikan pimpinan rohani kepada kaum Muslimin yang berhimpun di sekitarnya, baik mereka yang menjadi pengikut Ahlul-Bait maupun mereka yang mengharapkan adanya perubahan keadaan.