002 Perihal Kulit Bangkai, Dan Wadah-wadah – Kifayat-ul-Akhyar

KIFĀYAT-UL-AKHYĀR
(Kelengkapan Orang Shalih)
Oleh: Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhamamd al-Husaini

Bahagian Pertama
Penerjemah: K.H. Syarifuddin Anwar, K.H. Mishbah Mushthafa
Penerbit: BINA IMAN

[Fasal]

Perihal Kulit Bangkai, Dan Wadah-wadah

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(فَصْلٌ: وَ جُلُوْدُ الْمَيْتَةِ تَطْهُرُ بِالدِّبَاغِ إلَّا جِلْدَ الْكَلْبِ وَ الْخِنْزِيْرِ وَ مَا تَوَلَّدَ مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا.)

[Semua kulit bangkai boleh menjadi suci sebab disamak, kecuali kulit anjing dan babi dan anak yang lahir dari kedua-duanya atau dari salah satunya].

Hewan yang najis sebab mati, jika disamak kulitnya, kulit itu boleh menjadi suci dengan sebab penyamakan. Baik hewan yang halal dimakan dagingnya maupun hewan yang tidak halal dimakan dagingnya. Yang menjadi dalil kesuciannya yaitu Haditsnya Maimūnah r.a. ketika ia ditanya oleh Nabi Muḥammad s.a.w. perihal kambingnya. Nabi Muḥammad bertanya:

لَوْ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا! فَقَالُوْا: إِنَّهَا مَيْتَةٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): يُطَهِّرُهُ الْمَاءُ وَ الْقَرَظُ.

Andaikata kamu ambil kulitnya, tentu lebih bagus?” Para sahabat berkata: “Kambing itu bangkai”. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Kulitnya itu boleh disucikan dengan air dan daun salam.

(Riwayat Abū Dāūd, an-Nasā’ī – isnād ḥasan).

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ.

Apabila kulit bangkai itu sudah disamak, maka ia menjadi suci.

(Riwayat Muslim).

Kemudian, kulit itu apabila sudah disamak, bagian luarnya menjadi suci tanpa ada khilāf. Demikian juga bagian yang dalam, menurut qaul jadīd yang masyhur. Oleh karena itu, boleh dipakai sebagai sajadah, boleh dibuat baju lalu dipakai untuk shalat, boleh digunakan untuk hal-hal yang kering atau yang basah, boleh dijual, boleh dihibahkan dan boleh diwasiatkan.

Apakah boleh dimakan, kalau kulit itu dari binatang yang halal dimakan? Imām Rāfi‘ī mengunggulkan hukum jawāz (boleh). Imām Nawawī mengunggulkan hukum ḥarām.

Kemudian, cara menyamak kulit itu yaitu dengan benda-benda yang sepat dan pahit, sepertas tawas, babakan pala, daun salam, kulit delima dan babakan kayu afas (jawa: segawai).

Menyamak kulit boleh dengan menggunakan benda yang terkena najis atau dengan benda najis. Misalnya menyamak dengan kotoran (tahi) merpati, demikian menurut qaul yang ashaḥḥ. Menyamak kulit tidak cukup hanya dengan tanah lalu dipanaskan, menurut qaul yang shaḥīḥ. Kulit yang sudah disamak harus dicuci dan tidak ada khilāf kalau menyamaknya dengan benda yang najis. Demikian juga jika disamak dengan benda yang suci, menurut qaul yang ashaḥḥ.

Para Ulama Madzhab Syāfi‘ī berkata: Penyamakan kulit itu barulah dikatakan berhasil apabila sudah memenuhi tiga syarat ini. Yaitu:

1). Harus menghilangkan sisa-sisa daging yang masih terdapat pada kulit itu.

2). Keadaan kulit harus menjadi baik.

3). Hasil penyamakan apabila direndam dalam air tidak kembali rusak atau berbau busuk. Wallāhu a‘lam.

Adapun kulit anjing dan babi serta anak dari kedua-duanya tidak dapat menjadi suci dengan disamak, menurut Ulama madzhab Syāfi‘ī, tanpa ada khilaf. Sebab anjing dan babi pada masa hidupnya sudah najis. Padahal menyamak itu hanya mensucikan kulit, yang najisnya disebabkan oleh mati. Lain daripada itu, tujuan menyamak ialah menghilangkan sisa-sisa daging dan menolak adanya perubahan sifat. Sudah maklum bahwa keadaan hidup itu lebih kuat daripada penyamakan dalam hal menghilangkan sisa-sisa daging dan menolak adanya perubahan sifat. Jadi, kalau dalam keadaan hidup saja, anjing dan babi tidak dapat memberikan faedah bagi kesuciannya, apalagi penyamakan kulitnya (setelah menjadi bangkai).

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ عَظْمُ الْمَيْتَةِ وَ شَعْرُهَا نَجِسٌ إِلَّا الْآدَمِيَّ)

[Tulang dan rambut (bulu) bangkai itu najis. Kecuali bangkainya anak Ādam. Adapun rambut dan tulang bangkainya anak Ādam itu suci].

Yang menjadi dalil najisnya rambut bangkai dan tulang bangkai itu ialah firman Allah s.w.t.:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ.

Kamu semua diharamkan makan bangkai.” (al-Mā’idah: 3).

Mengharamkan sesuatu yang tidak haram dan tidak mengandung bahaya untuk dimakan, itu menunjukkan kenajisannya. Tidak ada keraguan lagi bahwa tulang dan rambut termasuk anggota bagian dari hewan. Tetapi dalam masalah rambut, terdapat khilāf, apakah menjadi najis sebab mati ataukah tidak? Khilāf ini menimbulkan dua pendapat.

Pendapat yang pertama tidak najis, sebab rambut tidak ditempati roh (hidup). Jadi ia tidak najis sebab mati. Buktinya, jika seseorang rambutnya dipotong, dia tidak merasakan sakit. Pendapat yang kedua yang lebih jelas wajahnya (sudut pandangnya) mengatakan, rambut itu najis. Pendapat inilah yang diterangkan oleh pengarang dengan jelas. Sebab, jika rambut ditempati oleh roh, maka sudah jelas najisnya. Jika tidak ditempati oleh roh, juga tetap najis, karena diikutkan pada keseluruhan badan hewan. Sebab rambut termasuk anggota bagian dari hewan. Seperti halnya, rambut juga wajib dibasuh pada waktu bersuci dan janābah.

Dalam masalah tulang, juga terdapat khilāf. Ada yang mengatakan, sama dengan rambut. Madzhab yang kuat memastikan kenajisannya. Sebab orang yang dipotong tulangnya, pasti merasakan sakit. Bula halus, bulu kasar, bulu sayap, semuanya disamakan dengan rambut.

Jadi, jika kita menghukumkan najisnya rambut, maka oleh karena di dalam rambut manusia terdapat dua qaul yang masing-masing didasarkan atas kenajisannya sebab mati, andaikata kita katakan najisya sebab mati, rambut manusia yang mati pun najis. Dan andaikata kita katakan tidak najis sebab mati, yaitu menurut qaul yang rājiḥ, rambut manusia juga tidak najis.

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ لَا يَجُوْزُ اسْتِعْمَالُ أَوَانِي الذَّهَبِ وَ الْفِضَّةِ وَ يَجُوْزُ اسْتِعْمَالُ غَيْرِهِمَا مِنَ الْأَوَانِيْ)

[Tidak boleh, menggunakan wadah emas atau wadah perak. Dan boleh, menggunakan wadah selain yang terbuat dari emas ataupun perak].

Hal tersebut berdasarkan pada apa yang terkandung di dalam sebuah Hadits shaḥīḥ riwayat Ḥudzaifah r.a. Beliau berkata: Aku mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

لَا تَلْبَسُوا الْحَرِيْرَ وَ لَا الدِّيْبَاجَ وَ لَا تَشْرَبُوْا فِيْ آنِيَةِ الذَّهَبِ وَ الْفِضَّةِ، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَ لَكُمْ فِي الآخِرَةِ.

Kamu jangan sekali-kali mengenakan kain sutra halus atau sutra tebal, dan jangan meminum apa yang ada di dalam wadah emas atau perak. Sebab sutra, emas dan perak, itu semua untuk orang-orang kafir di dunia dan untuk kamu besok di akhirat.

(Riwayat Bukhārī dan Muslim).

Dan di dalam riwayat yang lain berbunyi:

الَّذِيْ يَشْرَبُ فِيْ آنِيَةِ الذَّهَبِ وَ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِيْ بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ.

Barang siapa yang meminum di dalam wadah terbuat dari emas dan perak, maka sebenarnya (nanti) akan bergejolak di dalam perutnya api dari neraka Jahannam.

Dan seterusnya ada lagi lain-lain Hadits yang bermaksud sama, di antaranya: “Barang siapa yang memakan dan meminum….. dan seterusnya, yang bermaksud larangnya amat keras sekali, seolah-olah orang yang meminum itu menuangkan api neraka di dalam perutnya, sehingga terdengar suaranya seperti air yang menggelegak di dalam periuk.

Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari api neraka dan dari perbuatan yang menjadikan kita masuk neraka.

Imām Nawawī berkata di dalam kitab Syaraḥ Muslim: Para Ulama Madzhab Syāfi‘ī berkata: Ijma‘ sudah menetapkan keharaman makan, minum dan segala macam bentuk penggunaan terhadap wadah emas dan perak, kecuali apa yang diriwayatkan oleh Imām Dāūd dan qaul qadīm-nya Imām Syāfi‘ī, yaitu tidak haram, tetapi hanya makruh. Para Ulama Ahli Taḥqīq tidak menganggap adanya perbedaan dari Imām Dāūd tersebut boleh membatalkan ijma‘. Adapun qaul-nya Imām Syāfi‘ī, dita’wili. Seperti apa yang diterangkan oleh pengarang kitab al-Ghāyah Wat-Taqrīb. Lain daripada itu, Imām Syāfi‘ī telah menarik kembali qaul qadīm-nya. Jadi jelaslah, bahwa ijma‘ sudah tetap pada keputusan haramnya menggunakan wadah emas atau perak untuk hal-hal seperti makan, minum, bersuci, makan dengan sendok emas atau perak, menguapi pakaian dengan alat penguap emas dan perak dan segala macam bentuk penggunaan.

Di antara bentuk penggunaan lagi, yaitu untuk wadah celak, alat untuk mencelak, wadah minyak ghāliyah dan lain-lain. Baik dibuat wadah ukuran besar atau ukuran kecil.

Dalam masalah haramnya penggunaan ini, laki-laki dan perempuan sama saja. Tidak ada khilāf. Hanya saja untuk soal perhiasan, antara laki-laki dan perempuan ada perbedaan. Karena bagi perempuan, ia mempunyai maksud menghias diri untuk suaminya atau tuannya.

Haram, menggunakan air mawar atau minyak yang ada di botol emas atau perak. Hukum haram ini adalah qaul yang shaḥīḥ. Di dalam kitab al-Qananī dikatakan: Demikian juga haram menghias toko, rumah dan majlis-majlis pertemuan dengan wadah-wadah emas atau perak. Dan inilah yang benar.

Sebagian Ulama Madzhab Syāfi‘ī membolehkan hal tersebut, dan itu adalah salah. Sebab segala sesuatu yang asalnya haram, maka melihat sesuatu itu juga haram. Imām Syāfi‘ī sudah menerangkan dengan pasti, demikian juga para Ulama Mazhabnya, bahwa andaikata seseorang berwudhū’ atau mandi dari wadah emas atau perak, orang tersebut melakukan maksiat.

Haram, menyimpan wadah emas atau perak yang berupa apa saja tanpa digunakan, menurut qaul yang shaḥīḥ. Sebab segala sesuatu yang haram menggunakannya, haram pula menyimpannya, seperti alat-alat hiburan. Semoga Allah menyelamatkan diri kita dari perbuatan yang menyebabkan kita masuk ke dalam neraka.

Tukang emas, haram membuat wadah emas atau perak. Dan seandainya dia membuatkan untuk orang lain, dia tidak berhak menerima upahnya, sebab perbuatannya itu adalah maksiat. Andaikata ada seseorang yang memecah-mecahkan wadah emas atau perak, dia tidak wajib menggantinya. Dan yang punya tidak boleh menuntut ganti ruginya. Begitu pula tidak boleh melaporkannya kepada hakim yang zalim pada zaman kita sekarang ini, sebab hakim-hakim tersebut jahil, dan saling menggunakan wadah-wadah emas dan perak, hingga mereka berani minum minuman keras sembil diiringi alat-alat hiburan.

Di dalam Hadis riwayat Abū Hurairah disebutkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:

يُمْسَخُ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِيْ فِيْ آخِرِ الزَّمَانِ قِرْدَةً وَ خَنَازِيْرَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ! أَلَيْسَ يَشْهَدُوْنَ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ: بَلَى، وَ لكِنَّهُمُ اتَّخَذُو الْمَعَازِفَ وَ الْقَيْنَاتِ، فَبَاتُوْا عَلَى لَهْوِهِمْ وَ لَعِبِهِمْ، فَأَصْبَحُوْا وَ قَدْ مُسِخُوْا قِرْدَةً وَ خَنَازِيْرَ.

Besok pada akhir zaman, ada segolongan manusia dari umatku dihapus mukanya hingga mengjadi kera dan babi. Para sahabat bertanya: Bukankah mereka telah bersaksi bahwa “Tidak ada tuhan yang disembah kecuali Allah, dan bahwa engkau adalah Utusan Allah?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: Ya, mereka membaca kalimat syahadah. Akan tetapi mereka suka mengadakan alat-alat musik dan perempuan-perempuan yang bernyanyi-nyanyi. Semalaman suntuk mereka bersenang-senang dan bermain-main, lalu keesokan harinya wajah mereka sudah diganti dengan wajah kera dan babi.

Di dalam Hadisnya Anas diberitakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:

مَنْ جَلَسَ إِلَى قَيْنَةٍ يَسْتَمِعُ مِنْهَا صُبَّ فِيْ أُذُنَيْهِ الْآنُكَ.

Barang siapa yang duduk di dekat seorang biduan (penyanyi wanita) untuk mendengarkan suara nyanyiannya, kelak kedua telinganya akan diisi dengan cucuran timah (yang dicairkan).

Wadah-wadah, selain dari emas dan perak, meskipun terbuat dari benda-benda yang berharga, seperti yaqut, fairuz, dan lain-lain, apakah haram menggunakannya? Ada khilāf di antara para Ulama. Ada yang mengatakan haram, sebab ia melahirkan perasaan sombong diri, berlebih-lebihan dan boleh mematahkan perasaan orang-orang fakir. Qaul yang shaḥīḥ, tidak haram. Tidak ada khilāf, mengenai tidak diharamkannya wadah-wadah itu karena bagus perbuatannya, mahal harganya, dan juga tidak makruh, seperti kain sutra dan kain yang terbuat dari bulu halus yang bagus-bagus.

 

Cabang Permasalahan.

Andaikata ada seseorang yang membuat wadah dari tembaga atau yang semisalnya, lalu disepuh dengan emas atau perak, maka jika wadah tersebut ditaruh di atas api, lalu sebagian emasnya ada yang keluar, hukumnya haram menurut qaul yang shaḥīḥ. Dan kalau diganggang di atas api dan tidak mengeluarkan emasnya atau peraknya, menurut qaul yang rājiḥ (yang diunggulkan) di dalam bab ini, hukumnya tidak haram. Tetapi menurut qaul yang rājiḥ (yang diunggulkan) di dalam bab Zakat-nya emas dan perak, adalah haram.

Imām an-Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab berkata: Andaikata seseorang menyepuh pedang atau alat-alat lain yang berupa alat-alat perang maupun selainnya, disepuhnya dengan emas, yang sekira-kira kalau dipanaskan di atas api, emasnya tidak keluar, di dalam masalah ini terdapat dua jalan. Qaul yang ashaḥḥ, yang dipastikan oleh para Ulama ‘Irāq, hukumnya haram, berpegang kepada Hadis di atas.

Kata pengarang; ini termasuk cincin, tempat tinta, tempat perhiasan dan lain-lain. Maka dari itu, semua orang Islam harus menjauhkan diri dari hal-hal yang tersebut di atas. Wallāhu a‘lam.

Imām an-Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab berkata: Menyepuh puncak atap rumah dan temboknya dengan emas atau perak, hukumnya haram, tanpa ada khilāf. Kemudian kalau seandainya dipanaskan di atas api, lantas mengeluarkan emasnya atau peraknya, maka membiarkannya juga haram. Dan kalau tidak, ya tidak. Pendapat Imām an-Nawawī ini diikuti oleh Imām Ibnu Rif‘ah dalam masalah memastikan keharamannya. Wallāhu a‘lam.

1 Komentar

  1. Hanief berkata:

    Terimakasih sangat membantu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *