BAB II
Ḥudzaifah bin al-Yamān berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Janganlah minum dengan bejana emas dan perak dan jangan makan dengan piring emas atau perak. Sesungguhnya ia untuk kaum kafir di dunia dan untukmu di akhirat.”
(Muttafaq ‘alaih).
Bejana emas dan perak akan dipakai oleh orang-orang yang sombong dan suka mewah. Rasūlullāh s.a.w. melarang kita baik lelaki atau perempuan untuk minum atau makan dengannya. Beliau memberikan janji kebaikan kepada kita dengan meninggalkan hal itu. Sedang janji tersebut adalah benar. Barang siapa yang meninggalkannya di dunia karena taat kepada perintah Nabi s.a.w. maka di akhirat akan mendapat balasan yang layak.
Rasūl juga mengancam kepada orang yang melanggar dengan siksaan yang menghinakan dirinya sebagai balasan atas pelanggaran perintah beliau. Hal itu, dia akan diisi perutnya dengan api neraka Jahannam.
(الْآنِيَةُ) : Ia adalah jama‘ lafal inā’un (إِنَاءٌ). Artinya bejana air salah satu sarana bersuci. Dan sungguh Rasūl melarang menggunakan sebagian bejana. Oleh karena itu, penyusun buku ini menggunakan bab ini. Sebab bejana tersebut mempunyai hukum tersendiri.
(فَإِنَّهَا لَهُمْ) : Dhamīr dalam lafal lahum (لَهُمْ) kembali kepada orang-orang kafir yang tidak disebut dalam hadits di atas. Sebab mereka diketahui dari mafhūm (pengertian) kalimat hadits.
(فِي الدُّنْيَا) : Di dunia. Hal ini memberitakan apa yang mereka lakukan. Bukan memberitahukan bahwa hal itu dihalalkan bagi mereka. Sebab mereka juga dianjurkan menjalankan cabang-cabang syariat menurut qaul yang rājiḥ sebagaimana pemahaman ayat-ayat al-Qur’ān.
(وَ لَكُمْ فِي الْآخِرَةِ) : Dan untukmu di akhirat. Maksudnya untuk kaum muslimin.
Haram makan dan minum dengan bejana emas atau perak baik bagi lelaki atau perempuan sama saja.
Ḥudzaifah bin al-Yamān al-Absī adalah ‘Abdillāh termasuk sahabat yang terdahulu dalam masuk Islam. Dia adalah sahabat yang besar. Dia adalah orang yang terpercaya di sisi Rasūlullāh s.a.w. Dia mengikuti perang Uhud. Dan Rasūl memberitahukan kepadanya apa yang bakal terjadi daripada fitnah.
Ḥudzaifah meriwayatkan 100 hadits. Beberapa sahabat Rasūl dan tabi‘in meriwayatkan hadits dari beliau. Dan beliau meninggal dunia di al-Mada’in pada tahun 36 H.
Ummu Salamah berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Orang yang minum dengan bejana perak, sesungguhnya dia laksana menggelegak api neraka Jahannam ke perutnya.”
(Muttafaq ‘alaih).
Orang yang minum dengan bejana emas dan perak berhak mendapat siksaan Allah Yang Maha Mulia. Sebab dia telah melanggar perintah Allah Yang Maha Bijaksana. Pada hari kiamat, dia menggelegak api neraka Jahannam ke perutnya agar siksaan tersebut sepadan dengan apa yang dilakukan di dunia yaitu minum dengan bejana yang diharamkan.
(يُجَرْجِرُ) : Al-Jarjarah (الْجَرْجَرَةُ) adalah suara jatuhnya air ke perut.
(جَهَنَّمَ) : Jahannam. Ia adalah salah satu nama tingkat neraka. Semoga Allah menyelamatkan kita daripadanya. Lafal Jahannam (جَهَنَّمُ) adalah bukan bahasa ‘Arab. Oleh karena itu, ia termasuk isim ghairu munsharif. ‘Illat-nya ‘alamiyyah dan ‘ujmiyyah (Ia suatu nama yang tidak dari bahasa ‘Arab). Atau lafal Jahannam (جَهَنَّمُ) berasal dari kalimat al-Juhūnah (الْجُهُوْنَةُ) artinya keras. Sebab siksaan Jahannam amat keras. Ia termasuk isim ghairu munsharif, ‘illat-nya ta’nits ma‘nawi dan ‘alamiyyah.
Haram minum dengan tempat perak bagi lelaki dan perempuan dan keterangan orang yang menjalankannya.
Ummu Salamah adalah bernama Hindun binti Umayyah al-Qurasyiyah al-Makhzumiyyah. Ia adalah Umm-ul-Mu’minīn yang dikawinkan oleh Nabi s.a.w. pada tahun empat hijriyah. Dia meriwayatkan 378 hadis. Imām Nāfi‘, Sa‘īd bin al-Musayyab dan beberapa orang meriwayatkan darinya. Dia istri Rasūl yang terakhir meninggal dunia. Makamnya di al-Baqi‘.
Ibnu ‘Abbās r.a. berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Bila kulit disamak, maka sungguh telah suci.”
(HR. Muslim).
Dan menurut riwayat empat imam ahli hadits, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Setiap kulit yang di samak….”
Rasūlullāh s.a.w. memberi tahu bahwa kulit bangkai adalah najis, sebab darah yang ditumpahkan masih banyak yang melekat di kulitnya. Darah tersebut mengandung beberapa baksil yang dijelaskan dalam ilmu kedokteran modern, bahwa ia membahayakan kesehatan. Dan sesungguhnya membersihkan kulit tersebut dengan menyamak yang bisa menghilangkan darah yang melekat dalam pori-porinya.
Untuk anjing dan babi, kulitnya tidak bisa suci dengan disamak, walaupun keadaan bagaimanapun. Sebab najisnya adalah najis mughallazhah.
(الْإِهَابُ) : Kulit yang belum di samak, sekalipun dari binatang yang disembelih atau tidak.
Menurut mazhab Ḥanbalī, pendapat yang masyhur di kalangan mereka adalah tidak ada kulit yang bisa disucikan dengan disamak. Pendapat ini adalah salah satu pendapat Imām Mālik yang dikutip daripadanya.
Salamah bin al-Muḥabbiq r.a. berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Kulit bangkai bisa suci bila disamak.”
Ibnu Ḥibbān menyatakan hadits tersebut adalah shaḥīḥ.
Hadits tersebut telah menyatakan bahwa kulit bangkai adalah najis dan cara membersihkannya adalah dengan disamak yang dapat menghilangkan najis-najis yang melekat kepadanya yaitu di pori-pori kulit tersebut.
Kulit bangkai adalah najis yang bisa dibersihkan dengan disamak. Dan telah diterangkan dengan panjang lebar di hadits sebelumnya yaitu pada nomer 16.
Salamah bin al-Muḥabbiq bin Rabī‘ah bin Shakhīr al-Hudzalī Abū Sinān al-Mishrī. Beliau meriwayatkan 12 hadits. Anaknya bernama al-Ḥasan al-Bashrī meriwayatkan hadits daripadanya.
Maimūnah r.a. berkata: Nabi s.a.w. berjalan-jalan bertemu dengan bangkai kambing yang diseret orang banyak, beliau bersabda: “Seandainya kamu mengupas kulitnya?” Mereka menjawab: “Seandainya ia adalah bangkai.” Rasul bersabda: “Ia bisa dibersihkan dengan al-Qarazh (salah satu pohon yang biasanya untuk menyamak kulit).”
(HR. Abū Dāūd dan Nasā’ī).
Rasūlullāh s.a.w. melihat bangkai kambing di atas tanah yang ditarik sebagian orang untuk ditempatkan di tempat yang jauh dari perumahan, agar orang-orang tidak terganggu dengan baunya yang busuk. Lantas Rasūlullāh s.a.w. berkata kepada mereka: “Seandainya kamu mengupas kulitnya lalu kami bisa memanfaatkannya.” Mereka memberi tahu kepada beliau bahwa kambing tersebut adalah bangkai. Rasūl bersabda: “Ia bisa disucikan dengan al-Qarazh.”
(إِهَابَهَا) : Kulit yang belum disamak.
(الْقَرَظُ) : Pohon yang terkenal bijinya untuk menyamak.
Abū Tsa‘labah al-Khusyanī r.a. berkata: Aku berkata: “Wahai Rasūlullāh! Sesungguhnya kami hidup di tanah suatu kaum ahli kitab. Bolehkah kami makan dengan wadah-wadah mereka?” Rasūl menjawab: “Jangan makan dengannya kecuali bila kamu tidak menemukan yang lain. Oleh karena itu, cucilah dan makanlah dengannya.”
(Muttafaq ‘alaih).
Rasūlullāh s.a.w. melarang kami makan dan minum dengan tempat dan wadah kaum Yahudi dan Nasrani. Barangkali rahasia larangan itu adalah kebanyakan tempat dan wadah tersebut adalah najis. Sebab mereka tidak seberapa memperhatikan masalah najis dan kesucian. Adapun dalam keadaan terpaksa, Rasūl memperbolehkannya untuk kita, namun setelah tempat dan wadah tersebut dicuci dengan air agar kita bisa yakin kebersihannya.
(أَهْلِ كِتَابٍ) : Mereka adalah kaum Yahudi, sedang kitab mereka adalah Taurat. Dan kaum Nashrani kitab mereka adalah Injil.
(فَاغْسِلُوْهَا وَ كُلُوْا فِيْهَا) : Perintah mencuci tempat atau wadah mereka sebelum dipakai, sebab dikhawatirkan terdapat najis, sebab mereka tidak menghindari kenajisan seperti khamer dan daging babi.
Abū Tsa‘labah al-Khusyanī (nisbat kepada Khusyain bin an-Namr dari suku bangsa Qudhā‘ah). Namanya Jurstum bin Nasyīr. Dia berbaiat kepada Nabi s.a.w. di bawah pohon ar-Ridhwān – terkenal dengan Bai‘t-ur-Ridhwān. Rasūlullāh s.a.w. pernah memberikan bagian rampasan kepada beliau di perang Khaibar.
Abū Tsa‘labah mengikuti perang Hunain. Beliau meriwayatkan 40 hadits. Ibn-ul-Musayyab meriwayatkan hadits darinya. Beliau meninggal dunia pada tahun 75 H. dalam keadaan bersujud.
‘Imrān bin Ḥushain r.a. berkata: “Sesungguhnya Nabi s.a.w. dan para sahabatnya berwudhu’ dari wadah (rangsel atau bekal musafir) wanita musyrik.”
(Muttafaq ‘alaih).
Hadits di atas adalah sebagian dari hadits yang panjang yaitu: “Sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. dalam suatu perjalanannya mengutus ‘Alī bin Abī Thālib dan seorang lagi bersamanya. Dan para sahabat kehabisan air. Rasūl s.a.w. bersabda kepada mereka berdua: “Pergilah dan carilah air.” Mereka berangkat lalu bertemu dengan seorang perempuan di atas untanya dan duduk di antara dua rangselnya yang berisikan air. Mereka berkata: “Di manakah tempat air?” Dia menjawab: “Saya sejak kemarin mencari air, lalu mendapatkannya dan sampai sekarang saya di sini.”
Mereka berkata: Pergilah kepada Rasūlullāh s.a.w. ….., lalu Rasūl minta agar tempat air didekatkan, lalu beliau menumpahkan air dari mulut dua geriba. Lantas diumumkan kepada orang banyak: “Minumlah dan ambillah untuk memberi minum kepada orang lain.” Akhirnya banyak orang yang meminum dan menyimpannya.
(أَنَّ النَّبِيَّ (ص) وَ أَصْحَابَهُ) : Kalimat tersebut untuk menolak dakwaan bahwa hal itu khusus untuk nabi.
(مَزَادَتَيْنِ) : Tatsniyah lafal mazādah. Wadah tersebut biasanya dari dua kulit, dan agar lebih luas maka di tambah satu kulit lagi di tengahnya.
‘Imrān bin Ḥushain al-Khuzā‘ī Abū Najd. Dia masuk Islam pada tahun perang Khaibar. Dia termasuk ulama di kalangan para sahabat. Beliau menghindarkan diri di waktu terjadi fitnah. Beliau meriwayatkan 130 hadits. Anaknya bernama Muḥammad dan al-Ḥasan meriwayatkan hadits daripadanya. Beliau berusia panjang. Malaikat pun mengucapkan salam kepadanya. Beliau meninggal dunia pada tahun 52 H. di Bashrah.
Anas r.a. berkata: “Sesungguhnya wadah Rasūlullāh s.a.w. pecah, lalu di tambal dengan mata rantai perak di tempat yang pecah itu.”
(HR. Bukhārī).
Perbuatan dan sabda Rasūl adalah sebagai pelajaran syariat kepada umatnya. Jadi beliau meletakkan perak di tempat yang pecah itu sebagai dalil hal itu diperbolehkan.
(قَدَحَ) : Wadah yang bisa menyegarkan dua atau tiga orang yang minum.
(الشَّعْبِ) : Pecah atau belahan.
Hadits-hadits dalam bab di atas menyimpulkan sebagai berikut:
آنِيَةٌ، صِحَافٌ، جَهَنَّمُ، يُجَرْجِرُ، إِهَابٌ، دِبَاغٌ،
قَرَظٌ، مَزَادَةٌ، الْقَدَحُ، الشَّعْبُ.